Archives June 2023

Kesadaran Iklim, Akar Masalah Kepatuhan Pajak dan Kunci Stabilitas Ekonomi

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat populasi kendaraan bermotor tertinggi di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada tahun 2022 terdapat  sekitar 125,3 juta unit sepeda motor; 17,2 juta unit mobil; 241 ribu unit bus; dan 5,5 juta unit truk  melaju di jalanan seluruh Indonesia.

Tingginya kepemilikan kendaraan bermotor tersebut sebenarnya merepresentasikan ekonomi yang bertumbuh. Angka kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi adalah cerminan daya beli masyarakat yang tinggi.

Jikalau ditarik garis lurus kondisi tersebut juga berpotensi meningkatkan pendapatan negara melalui pembayaran pajak kendaraan. Hanya saja masih belum optimal seiring masih rendahnya kepatuhan para pemilik kendaraan bermotor dalam menunaikan kewajiban membayar pajak kendaraan sebagaimana termaktub dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Berdasarkan pantauan Jasa Raharja pada bulan Desember tahun 2022, tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak kendaraan hanya 56,24% saja. Sedangkan 43,76% sisanya masih abai. Hal ini mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan pajak hingga mencapai 120 triliun rupiah.

Padahal, pajak kendaraan memiliki kontribusi signifikan dalam mengerek pendapatan pemerintah daerah yang terlihat dari data Badan Pendapatan Daerah Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia dimana Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)  menyumbang sekitar 67,79 triliun rupiah atau 47,33% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2020, dan 77,91 triliun rupiah atau 47,39% PAD tahun 2021.

Rendahnya kepatuhan dalam membayar pajak ini menurut eks Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi, salah satunya disebabkan oleh ketidaktahuan (kurang tahu) masyarakat terhadap pengelolaan uang pajak akan dipakai untuk apa, dan diarahkan kemana.

Jika merujuk pada penjelasan laman web salah satu pemerintah provinsi, hasil penerimaan dari pajak kendaraan bermotor ini minimal 10% dialokasikan untuk pembangunan, pemeliharaan, dan peningkatan jalan, moda, serta sarana transportasi umum.

Sedangkan selebihnya akan menjadi sumber pendanaan untuk program lain seperti layanan kesehatan, sektor pendidikan, hingga program khusus mengenai pelestarian lingkungan.

Kepemilikan kendaraan bermotor perlu disertai dengan kesadaran iklim | Sumber gambar : pixabay.com / Ri_Ya

Krisis Iklim dan Stabilitas Ekonomi

Realitas sebagai salah satu negara dengan jumlah kendaraan bermotor terbesar di dunia mengharuskan kita sadar bahwa ada konsekuensi yang kita tanggung.

Jumlah volume kendaraan yang cukup tinggi tidak dapat dipungkiri akan membuat jalanan makin padat. Jangankan kondisi macet, dalam situasi normal saja kendaraan bermotor sudah memproduksi emisi dalam jumlah besar mengingat ketergantungan kita yang cukup tinggi pada bahan bakar fosil.

Tahun 2022, emisi karbon global menjadi yang tertinggi sejak 1900-an, menurut International Energy Agency (IEA) jumlahnya sudah mencapai 36,8 gigaton.

Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang 23% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dimana kendaraan bermotor menyumbangkan 80% diantaranya.

Sementara itu, sudah bukan rahasia lagi bahwasanya perubahan iklim telah menjadi ancaman serius yang mengintai kita semua. Bahkan menurut daftar XDI atau Cross Dependency Initiative saat ini Indonesia menempati urutan 4 sebagai negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

Kekhawatiran makin nyata apabila kita melihat rilis data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dimana telah terjadi kenaikan jumlah bencana alam sebesar 82% antara tahun 2010 sampai dengan 2022.

Padahal, perubahan iklim bukan semata tentang alam yang berubah karena hal itu juga berdampak pada sektor ekonomi. Krisis iklim akan menambah beban ekonomi kita. Sektor pertanian kacau, sektor perikanan terpuruk, logistik terganggu, dan lain sebagainya.

Selain itu, bencana kekeringan, banjir, dan sejenisnya juga bisa mengakibatkan kerugian finansial sangat besar sehingga perekonomian menjadi tidak stabil.

Diperkirakan pada tahun 2050 mendatang Indonesia akan kehilangan 30-40% PDB gegara perubahan iklim ini. Bahkan tahun 2023 ini menkeu Sri Mulyani memperkirakan Indonesia mengalami kerugian cukup besar akibat krisis iklim yaitu mencapai 12,2 trilun rupiah.

Dengan kata lain, permasalahan iklim akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi negara kita yang oleh karena itu perlu menjadi perhatian semua pihak.

Kesadaran Iklim Masyarakat

Peran serta masyarakat sangatlah krusial dalam upaya penanggulangan iklim yang belakangan semakin pelik ini. Pemerintah tidak akan mampu berbuat banyak apabila masyarakatnya tidak ikut andil melaksanakan upaya pelestarian lingkungan.

Sayangnya, kesadaran iklim orang Indonesia masih tergolong rendah. Ini terlihat dari hasil survei Remotivi pada Februari 2023 lalu dimana sekitar 63% responden menganggap bahwasanya krisis iklim tidaklah berbahaya. Sementara hanya 29% responden saja yang memiliki pengetahun cukup mengenai perubahan iklim.

Sangat ironis sebenarnya mengingat krisis iklim yang jelas-jelas menjadi kekhawatiran publik dunia ternyata justru kita pandang sebelah mata saja.

Kurangnya kesadaran terkait bahaya perubahan iklim yang berpadu dengan minimnya pengetahuan bahwasanya uang pajak kendaraan memiliki kontribusi terhadap upaya penanggulangan krisis iklim pada akhirnya membuat tingkat penerimaan pajak kendaraan bermotor di Indonesia rendah.

Kesadaran iklim yang rendah memantik minimnya kepatuhan pembayar pajak karena ketidakpahaman mengenai urgensi dari pengalokasian dana pajak tersebut.

Akibatnya, pelaksanaan program kerja seperti perawatan sarana moda transportasi menjadi kurang maksimal. Program-program lain yang berorientasi lingkungan pun jadi ikut dikesampingkan gegara minimnya dukungan anggaran.

Padahal, perbaikan sarana dan prasarana transportasi serta program –program pro lingkungan tersebut adalah bagian dari upaya mereduksi emisi.

Apabila seluruh pemilik kendaraan bermotor menganggap krisis iklim adalah isu yang krusial dan memerlukan partisipasi semua pihak, seharusnya kita sadar bahwa kontribusi tersebut bisa disalurkan melalui ketaatan dalam membayar pajak.

Memang, sudah bukan rahasia lagi bahwasanya penanggulangan krisis iklim masih banyak menemui kendala terkait pendanaan.

Wacana pemerintah untuk memungut pajak iklim secara khusus mungkin ide yang baik tetapi diragukan efektivitasnya. Resistensi masyarakat sangat mungkin terjadi seiring deretan kebutuhan hidup yang sudah menumpuk.

Toh, ketika penerimaan pajak kendaraan bermotor bisa dioptimalkan sebenarnya hal itu sudah cukup memberi kontribusi pengalokasian anggaran pemerintah terhadap pelestarian lingkungan dan lain sebagainya.

Ancaman besar yang mengintai terkait dengan krisis iklim memang begitu menakutkan sehingga segenap pemimpin dunia ikut urun rembuk memikirkan nasib bumi di masa depan. Padahal kita yang sebagian besar adalah rakyat jelata ini sebenarnya juga mampu berkontribusi melalui hal kecil dan sederhana.

Kesadaran dan kepatuhan kita dalam membayar pajak kendaraan bermotor adalah langkah awal untuk ikut membantu merawat bumi yang kita tinggali ini. Dengan begitu bukan hanya bumi bisa diselamatkan, tetapi juga stabilitas ekonomi dapat terjaga.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

Toko Kelontong Naik Kelas

Tidak terasa empat tahun berlalu ibu mertua saya menjalankan usaha jualan nasi uduk di depan rumah. Emak, demikian saya memanggil beliau, sebelumnya berjualan di sebuah warung dekat SMP kampung sebelah. Tapi, terpaksa tutup pada tahun 2019 lalu gegara pandemi korona mengganas.

Toko Kelontong memerlukan strategi pengelolaan yang baik | Sumber gambar : pixabay.com / Tariq786

Setiap hari Emak bangun tidur dan mulai beraktivitas selepas adzan subuh berkumandang. Ba’da sholat subuh, beliau biasanya memasak nasi uduk, membuat gorengan, dan beberapa menu lain untuk dijajakan pada lapak dagangannya. Hingga sekitar jam enam pagi barang dagangan Emak  sudah siap tersaji untuk para pembeli.

Emak biasanya berbelanja semua kebutuhan jualan pada sore atau malam hari sebelumnya. Sehingga keesokan paginya beliau tinggal memasak saja tanpa harus belanja terlebih dahulu.

Namun, adakalanya beliau lupa membeli satu atau dua barang seperti kertas bungkus nasi atau plastik untuk wadah bungkusan nasi uduk. Sehingga terkadang saya mesti bergegas ke toko kelontong di kampung sebelah untuk mencari kertas nasi eceran atau barang-barang lain yang dibutuhkan Emak.

Sebenarnya, ada juga toko kelontong di dekat rumah Emak. Akan tetapi, beliau lebih suka membeli di toko kelontong kampung sebelah karena pemiliknya adalah adik kandungnya sendiri.

Menurut Emak, ketimbang repot-repot dikasihkan ke orang lain, lebih baik ia belanjakan kepada sesama saudara saja.

Toko Kelontong Bu Haji

Bu Haji, begitu biasanya kami memanggil adik Emak, yang tidak lain adalah pemilik toko kelontong di kampung sebelah itu. Dari gelarnya orang-orang mungkin beranggapan bahwa toko beliau pastilah besar. Seorang pedagang sukses yang berhasil mengantarkannya menunaikan ibadah haji.

Dan memang, keluarga Bu Haji tergolong orang terpandang di kampungnya. Mereka ini bisa dibilang sebagai orang paling kaya di kampung tempat mereka tinggal. Tokonya besar dan laris. Punya mobil ketika tetangga yang lain untuk punya sepeda motor saja susah. Tanahnya ada dimana-mana.

Namun, itu dulu. Karena yang tersisa saat ini hanyalah sepetak toko berukuran 2.5 x 2.5 meter saja. Dengan dua etalase membentuk huruf L yang isinya terlihat melompong disana-sini. Lusuh dan berdebu pada beberapa bagian. Sangat identik dengan tempat yang kurang terawat.

Beberapa jenis jajanan terlihat berbaris di atas etalase depan toko yang jumlahnya jelas kalah jauh dibandingkan pajangan retail modern yang terpampang megah di seberang jalan depan rumahnya.

Meskipun terlihat minim barang dagangan, tapi setidaknya beberapa barang yang dibutuhkan Emak masih tersedia disana.

Sebenarnya, beberapa kali istri saya menggerutu karena harga jual barang di toko kelontong Bu Haji ini terkesan lebih mahal dibandingkan toko-toko sekitaran. Namun, sepertinya hal itu tidak sampai membuat Emak keberatan.

Terlebih, bagaimanapun juga Bu Haji tetaplah bagian dari keluarga Emak yang kini mesti hidup menjanda selepas sang suami wafat beberapa tahun silam. Sekarang beliau hanya hidup ditemani dua orang putra yang terkesan cuek untuk mengurusi tetek bengek jualan ibunya.

Saat almarhum sang suami masih sehat, toko kelontong milik Bu Haji tersebut sangatlah ramai oleh pembeli. Dulu, terdapat dua petak toko yang dua-duanya penuh barang dagangan. Bahkan semasa istri saya masih kecil ia sempat bekerja sampingan disana untuk mendapatkan tambahan uang jajan.

Berkat usaha toko kelontong yang maju itulah perekonomian keluarga Bu Haji berjaya. Bisa memberi berhektar-hektar tanah. Juga berhasil mengantarkan Bu Haji dan suaminya ke tanah suci Mekah.

Sesuatu yang tampaknya berbalik 180 derajat dengan kondisinya sekarang. Yang ironisnya, ketika toko kelontong milik Bu Haji tampak mengecil, beberapa toko lain yang terletak tidak jauh dari tokonya justru tumbuh membesar. Roda kehidupan seakan sudah berputar.

Roda kehidupan yang dulunya berada di atas sekarang berputar bawah. Sebaliknya, yang dulu di bawah kini berputar ke atas.

Meskipun ada selentingan kabar bahwa keluarga Bu Haji ini “dikerjain” orang sehingga menjadikan bisnis keluarganya semakin tergerus, saya sendiri tidak mau menerka-nerka perihal keterpurukan usaha keluarga Bu Haji ini.

Apakah memang benar disebabkan oleh hal-hal yang irasional atau bisa jadi karena telah terjadi salah kelola usaha.

Karena pada masa jayanya dulu toko kelontong tersebut memang lebih banyak dikelola oleh almarhum sang suami ketimbang oleh Bu Haji.

Sehingga ketika suaminya wafat sedangkan kecakapan Bu Haji dalam berbisnis masih pas-pasan atau bahkan rendah maka pengelolaan usaha toko kelontong keluarga Bu Haji pun menjadi tidak maksimal.

Dan kalau kita diperhatikan sebenarnya mekanisme pengelolaan toko kelontong pada umumnya memang cenderung hanya mengandalkan feeling  dan ilmu kebiasaan yang tidak ada landasannya sama sekali. Bahkan lebih banyak lagi yang coba-coba bermodalkan melihat orang lain saja.

Prosedur Toko Kelontong

Coba tebak usaha apa kira-kira yang paling mudah terlintas di pikiran saat ingin memulai usaha sendiri di rumah? Iya, membuka toko kelontong.

Di kampung-kampung ataupun di perumahan padat penduduk hampir setiap beberapa meter bisa dengan mudah kita jumpai rumah-rumah yang membuka lapak toko kelontong. Jualan seperti beras, minyak, jajanan, gula, dan beberapa jenis kebutuhan harian menjadi primadona.

Sayangnya, setiaptoko kelontong tersebut umumnya beroperasi sebelas dua belas antara satu dengan yang lain.

Belum tentu ada toko kelontong yang rela repot-repot “meneliti” jenis-jenis barang apa saja yang paling ramai terjual di tokonya. Apalagi sampai mengulik total penjualan untuk semua jenis barang yang terpajang pada kurun waktu tertentu.

Seorang pemilik toko kelontong belum tentu ingat barang-barang apa yang berhasil dijualnya hari ini, kemarin, atau pada waktu-waktu yang lain. Hal ini berbeda dengan retail modern yang memang melakukan pendataan secara terorganisir dari waktu ke waktu. Bahkan sampai pada jam-jam tertentu saja mereka bisa melihat produk apa saja yang terjual.

Memang, tidak adil rasanya apabila kita membandingkan “prosedur” pengelolaan toko kelontong pada umumnya dengan retail-retail modern yang sudah memiliki prosedur operasi jelas.

Namun, apabila toko kelontong tradisional ingin bisa terus eksis dan bisa menikmati sebanyak mungkin remah-remah bisnis retail yang belakangan semakin dikuasi oleh alfamart dan indomart, maka memiliki mekanisme pengelolaan usaha yang jelas harus dilakukan.

Mengatur Skala Prioritas Belanja Barang

Sebenarnya ada cukup banyak aspek yang mesti diperhatikan dalam mengelola toko kelontong agar tidak terkesan asal jalan saja. Salah satunya perihal memilih barang yang hendak dipajang dan kapan harus melakukan aktivitas belanja kembali juga perlu diperhatikan.

Dengan modal yang terbatas, sangatlah tidak bijak apabila toko kelontong sederhana berbelanja barang dagangannya secara acak. Hal itu cuma akan menghabiskan modal tanpa adanya imbal balik yang sepadan.

Skala prioritas perlu ditentukan untuk memilih barang-barang apa saja yang harus dibeli dan mana yang tidak. Apa yang harus dibeli dengan jumlah banyak, mana yang cukup dalam jumlah sedikit, dan apa saja yang tidak perlu dibeli.

Dalam hal ini, biasanya pemilik toko kelontong akan melakukan belanja harian ke grosir untuk mendapatkan sejumlah barang yang menurut mereka anggap perlu untuk mengisi ulang stok barang dagangan di toko.

Dan sangat mungkin aktivitas itu dibarengi dengan aksi membeli barang-barang yang sebenarnya masih bisa dialihkan pada waktu yang lain. Sehingga pada saat itu alokasi belanja bisa diperuntukkan ke produk lainnya yang punya peluang lebih besar untuk cepat terjual.

Menjaga stok beras pada kisaran 20-30 kilogram sehari terbilang masuk akal ketimbang menjaga stok pulpen hingga puluhan kotak. Karena tidak saban hari toko kelontong kedatangan pembeli pulpen dibandingkan pembeli beras.

Bukan tidak mungkin juga antara satu toko kelontong dengan toko kelontong yang lain memiliki tingkat minat pembeli yang berbeda untuk kategori barang tertentu. Misalnya, toko Bu Haji sering menjadi opsi pembeli di sekitar untuk membeli rokok, makanan ringan, atau kopi sachet dibanding toko seberang jalan yang banyak diminati untuk membeli beras kiloan, telor, dan sebagainya.

Setiap pemilik toko kelontong perlu mengetahui “keunggulan” dari toko kelontongnya. Produk mana yang fast moving dan mana yang slow moving. Dengan begitu maka operasional toko bisa berjalan secara lebih efektif dan efisien.

Biarpun modal sedikit dan dagangan terbatas, tapi perputaran uang bisa terus terjadi tanpa terganggu adanya modal macet gegara jenis barang tertentu yang terlanjur dibeli namun sukar terjual.

ROP Toko Kelontong

Toko kelontong mungkin sering dipandang sebagai usaha rumahan biasa. Anggapan itu memang tidak salah, tetapi sebenarnya kurang tepat juga.

Menganggap toko kelontong sebagai usaha rumahan biasa kerapkali menjadikan pengelolaannya mengalir pasrah tanpa arah dan strategi. Padahal, jika sebuah bisnis ingin naik kelas atau setidaknya mempertahankan pencapaian yang sudah ada maka itu memerlukan langkah dan tindakan.

Dalam konteks ini, toko kelontong sederhana seperti milik Bu Haji setidaknya perlu menerapkan konsep Reorder Point (ROP) yang bertujuan untuk mencari tahu timing  yang tepat dalam hal waktu dan kuantitas pengelolaan operasional toko.

Mekanisme ROP ini saya urutkan dalam beberapa langkah berikut :

Pertama, Mengenal tren penjualan produk. Dalam hal ini setiap toko kelontong hendaknya mencari tahu atau mendata pola ketertarikan pembeli terhadap produk atau barang-barang yang mereka jajakan di toko.

Produk A terjual berapa, produk B berapa, dan seterusnya. Pendataan dilakukan setiap hari dalam kurun waktu tertentu, dan diperiksa setiap satu minggu, dua minggu, satu bulan, dan seterusnya.

Ini bertujuan untuk mengetahui tren penjualan produk dari waktu ke waktu sehingga bisa diperoleh kesimpulan terkait kuantitas penjualan untuk masing-masing produk yang kita jual setiap hari, minggu, bulan, atau bahkan tahun.

Kedua, Mendata Posisi Stok Barang dan Rata-rata Penjualan. Bagi pemilik toko kelontong, mengetahui jumlah barang yang mereka jual adalah suatu keharusan. Sedangkan saat ini masih cukup sering menjadi kebiasaan dimana para pemilik toko kelontong baru mengetahui stok barangnya habis ketika sedang ada pembeli yang membutuhkannya.

Kondisi tersebut mengakibatkan hilangnya potensi penjualan (lost sales)yang ironisnya sering diremehkan. Seolah-olah barang dagangan habis adalah wajar-wajar saja. Seolah-olah pembeli gagal memperoleh sesuatu yang hendak dibeli memang lumrah.

Padahal seharusnya, seorang pemilik toko kelontong harus sudah tahu sedari sebelumnya dan sudah bersiap mengisi kembali stok jikalau memang barang tersebut punya potensi penjualan cukup baik.

Ketiga, Menentukan Titik Stok Berbelanja Kembali. Boleh-boleh saja berbelanja stok barang jualan di toko kelontong setiap hari. Tapi, jika kita bisa mengelolanya secara lebih efisien maka akan banyak penghematan yang dilakukan.

Untuk sekali perjalanan berapa biaya bensin yang harus dikeluarkan? Jikalau belanjanya sedikit akan meningkatkan biaya distribusi logistik. Sepintas hal ini tampak remeh. Namun, jika dilakukan berulang-ulang bukan tidak mungkin akan menyita nominal yang lumayan.

Dalam hal inilah kita perlu menentukan titik stok yang menjadi alarm bagi pemilik toko kelontong yang akan menentukan apakah mereka perlu berbelanja atau tidak. Kalaupun berbelanja kira-kira barang apa saja yang diperlukan dengan jumlah berapa.

Misalnya, hari ini ada empat item yang perlu belanja untuk mejaga stok aman selama beberapa waktu ke depan.

Keeseokan hari pun perlu direview kembali apakah kegiatan belanja hari itu masih diperlukan atau tidak. Dan hal ini sangat bergantung pada penjualan yang terjadi di hari kemarin.

***

Ada alasan mendasar terkait mengapa toko retail modern senantiasa mencatat setiap transaksi yang mereka dapat. Bukan sekadar untuk mengetahui jumlah transaksi yang terjadi setiap hari, atau sekadar untuk menghitung untung rugi, melainkan itu juga bagian dari upaya merancang strategi.

Biarpun toko kelontong tradisional kebanyakan dikelola secara konvensional, akan tetapi mulai sekarang mari kita mencobanya dengan taraf pengelolaan yang lebih baik. Lebih memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin selama ini kita pandang remeh dan dianggap tidak memiliki dampak apapun terhadap kemajuan usaha.

Jikalau tujuan kita membuka toko kelontong adalah untuk mendapatkan penghasilan, berbisnis demi keuntungan, maka mulailah peduli dengan strategi. Dengan konsep ROP ini adalah salah satu caranya. 

Maturnuwun.

Agil Septiyan Habib

NB : Apabila ingin membaca tulisan saya yang lain diluar bahasan mengenai perencanaan operasional Anda bisa melihatnya juga disini atau disini.