Archives July 2023

Planmaker, Selangkah Lebih Jauh

Tidak terasa sudah sepuluh tahun berlalu dan kini menjelang tahun kesebelasku menjalankan profesi sebagai Perencana Produksi (Production Planner) dan Pengendali Persediaan (Inventory Controller). Sebuh peran yang dalam dunia industri populer dengan sebutan PPIC (Production Planning & Inventory Control).

Namun, aku tidak ingin banyak menggunakan istilah PPIC itu disini agar yang aku utarakan tidak terkesan kaku dan teoritikal. Aku akan menyebut peranku ini sebagai Planmaker. Iya, memang sedikit mirip dengan istilah Playmaker dalam permainan sepakbola.

Bagiku, menjadi planmaker itu bisa dibilang serupa dengan peran sebagai playmaker permainan. Kebetulan juga, hobiku memang bermain sepakbola. Bahkan semasa SMP dulu aku sempat bercita-cita menjadi pemain sepakbola profesional.

Playmaker mempunya peran yang sangat krusial dalam sebuah tim. Ia bukanlah goal getter yang tugas utamanya mencetak skor, melainkan lebih kepada mengorganisasi permainan. Kreativitas seorang playmaker akan sangat menentukan hasil akhir pertandingan. Ketika ia bermain dalam performa terbaik maka besar kemungkinan timnya akan memperoleh kemenangan. Begitupun sebaliknya.

Bukan hanya mendukung upaya mencetak goal ke gawang lawan, playmaker juga berperan penting untuk mengondisikan lini-lini lain agar sigap menyesuaikan diri terhadap dinamika yang terjadi dalam permainan. ‘Tetap terorganisir’ adalah kata kunci yang pas untuk menggambarkan keseluruhan peran dari seorang playmaker.

Di dalam peranku sebagai planmaker gambaran secara umumnya hampir sama dengan bagaimana playmaker menjalankan tugas di suatu pertandingan. Keterhubungan antar elemen dalam sebuah industri yang didalamnya membutuhkan keberadaan planmaker menjadi suatu hal yang krusial.

Setiap bagian tidak bisa bertindak sesuai kehendakanya masing-masing. Biarpun sesungguhnya mereka sudah memiliki prosedur standar operasional (SOP), planmaker harus mampu mensinkronkan semua pihak yang terlibat agar organisasi bisa berjalan menuju target yang ditentukan.

Dan itulah yang aku jalani selama hampir sebelas tahun ini.

Tiga tahun lebih menjalani peran sebagai inventory controller dan sisanya menjalani perpaduan peran yang lantas saya sebut sebagai planmaker tadi.

Kalau boleh jujur, profesi ini sebenarnya bukanlah bidang yang benar-benar aku harapkan semasa masih kuliah dulu. Biarpun sebenarnya latar belakang pendidikanku adalah Industrial Engineering dan PPIC merupakan salah satu mata kuliah wajib di kuliahku.

Mengapa aku justru menghindar? Gara-garanya yaitu aku punya teman sekamar di kontrakan semasa kuliah dulu yang kebetulan juga kakak angkatan kuliahku yang waktu itu sudah bekerja sebagai planner di sebuah perusahaan. Saat itu hampir tidak pernah aku menjumpainya pulang kerja dibawah jam delapan malam. Seringnya diatas jam sembilan bahkan pernah juga hingga pukul dua belas malam.

Aku beranggapan bahwa tugasnya pasti sangat kompleks. Bukannya malas berpusing-pusing dengan tugas planner, aku cuma tidak ingin menghabiskan waktu hidupnya lebih banyak di tempat kerja. Di pabrik.

Tapi, ketika aku sudah terjun langsung di pekerjaan aku menyadari bahwa menjadi planmaker itu ternyata cukup menyenangkan. Ada keseruan dalam mengutak-atik perencanaan dan membuat sebuah kalkulasi dengan beberapa skenario dalam waktu bersamaan. Singkat kata, menjadi planmaker membuatku terasah untuk berfikir selangkah atau beberapa langkah lebih maju ketimbang rekan seprofesi yang lain.

Dan setahuku, peran planmaker ini sangatlah vital dalam upaya untuk melakukan scale up sebuah usaha. Dan hal inilah yang ingin aku bagikan dalam berbagai kesempatan mendatang.

Maturnuwun,

Planmaker

Catatan Dampak Resesi

Bos besar sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Rupa-rupanya ramalan bahwa tahun 2023 akan terjadi resesi benar-benar membuatnya lebih kritis belakangan ini untuk memelototi setiap potensi pembiayaan di operasional usaha miliknya. Imbas dampak resesi tak ayal segenap jajaran anakbuahnya pun mulai kelimpungan untuk menerjemahkan instruksi dari bos besar kali ini.

Para direktur mulai merasakan tekanan tinggi dari bos besar. Begitupun dengan para General Manager (GM) juga merasakan sensasi serupa. Pengetatan biaya benar-benar sudah menyasar dan menyebar ke segala lini. Saya yang cuma orang biasa di pabrik hanya bisa pasrah menerima keadaan. Dengan kata lain harus bersiap menjalankan instruksi atau penuntasan target kerja yang lebih dari sebelumnya.

Salah satu pos yang tengah viral kali ini adalah perihal pengetatan inventori atau persediaan. Mulai dari stok bahan baku, bahan penunjang, spare part, bahkan sampai dengan produk jadi (Finished Goods) pun dipelototi satu per satu oleh bos besar. Dia memberikan batasan value tertentu untuk masing-masing pos tadi.

Nilai inventori seluruh stok persediaan hanya diizinkan maksimal separuh dari total penjualan produk periode sebelumnya. Jadi, ketika kinerja penjualan produk bulan lalu melempem maka secara otomatis batasan nilai inventori akan semakin ketat. Range-nya akan mengecil bin menyempit.

Kalau sudah begitu maka kelaluasaan bergerak tim operasional akan semakin terbatas.

Seandainya saya berada pada posisi bos besar barangkali saya pun akan melakukan langkah-langkah serupa. Apalagi inventori yang tidak bergerak akan menjadi beban tersendiri bagi operasional perusahaan mengingat model bisnis yang dianut disini adalah Term of Period (TOP) yang mengakibatkan setiap jenis persediaan khususnya bahan baku, bahan penolong,hingga spare part akan terhitung tagihannya sejak terjadi konfirmasi penerimaan barang dari supplier.

Coba bayangkan, ketika penjualan mandeg tapi disisi lain tagihan pembayaran kepada supplier terus berjalan. Hal ini hanya akan membuat kas perusahaan tidak seimbang. Maka tidak heran kalau GM kerapkali mencak-mencak manakala kami tanpa berfikir panjang main mendatangkan barang saja. Main beli-beli saja tanpa melihat sisi yang lain terutama penjualan produk ke konsumen.

Terkait kondisi itulah maka saya pun dipanggil oleh GM untuk membuat strategi pengelolaan inventori yang bisa selaras dan dinamis mengikuti ritme penjualan produk setiap periodenya. Jika penjualan lancar maka kedatangan persediaan material akan turut menyesuaikan. Demikian pula sebaliknya.

Sebenarnya hal ini bisa diatur secara otomatis melalui sistem yang bernama ERP atau Enterprises Resources Planning. Ada cukup banyak varian dari sistem ini, mulai dari Oracle, Dinamix AX, dan lain sebagainya.

Hanya saja ada beberapa hal yang membuat situasi menjadi kurang ideal. Sehingga berakibat terlambatnya pembaruan status stok di sistem. Maka dari itu saya pun mencoba membuat kalkulasi dengan bantuan Microsoft Excel. Program sejuta umat yang menjadi pegangan wajib para planner dimanapun berada.

Dengan mengadopsi pola kerja sistem ERP saya pun membuat model perhitungan atau simulasi yang memungkinkan kami untuk melihat pergerakan fisik barang mulai dari penjualan produk jadi maupun kedatangan material dari waktu ke waktu. Saya melakukan update harian agar supaya tidak sampai terlambat membuat langkah penyesuaian jika diperlukan.

Kunci utama dari strategi ini adalah memantau pergerakan keluar masuk barang jadi. Barang keluar saat terjadi pengiriman ke buyer dan barang masuk yang berasal dari hasil produksi harian. Dalam hal ini level stok produk kami kondisikan dalam jumlah tertentu dengan mengacu pada rata-rata penjualan beberapa bulan terakhir.

Dari situlah kemudian saya tarik ke belakang berapa kira-kira level yang diperlukan untuk menjaga kecukupan stok material agar supaya tidak sampai terjadi kelebihan ataupun kekurangan stok. Kondisi yang seimbang.

Saya pribadi merasa ini cukup seru dilakukan. Terutama pada periode awal membuat simulasi di program Microsoft Excel. Karena setelah “aplikasi” ini siap dioperasikan maka yang perlu dilakukan hanya melakukan pembaruan kecil secara rutin.

Nah, disinilah sebenarnya letak tantangan sebenarnya. Pekerjaan yang rutin dilakukan tidak jarang membuat kita lengah hingga akhirnya terlewatkan. Hanya karena persoalan sepele bisa-bisa dampaknya sangat besar.

Pernah suatu ketika salah satu staff saya harus menerima surat teguran dari HRD gegara terlambat dalam mendatangkan material. Akibatnya aktivitas produksi yang mestinya bisa beroperasi terpaksa harus terhenti.

GM saya pernah mengatakan kalau tidak ada seseorang yang tersandung oleh batu besar. Biasanya tersandung itu disebabkan oleh kerikil atau batu-batu kecil yang seringkali kita anggap remeh.

Maka filosofi inilah yang lantas saya pegang teguh bersama tim meskipun tidak menutup kemungkinan kesalahan minor bisa saja terjadi.

***

Tangerang, 12 Juli 2023

Koreksi Bonus Demografi

Bonus demografi. Sebagaimana telah digaungkan oleh berbagai pihak bahwa Indonesia akan mengalami periode itu. Segera. Sebuah momen yang barangkali hanya terjadi satu kali saja dalam peradaban sebuah negara.

Bonus demografi atau beban demografi yang akan diterima negeri ini? | Sumber gambar : pixabay.com / B_Me

Beragam narasi diucapkan untuk mengingatkan betapa pentingnya momen itu. Apakah sebuah negara akan melesat naik atau sebaliknya terjun bebas menjadi bangsa yang terpuruk?

Selama ini, bonus demografi cenderung lebih sering dielu-elukan perihal potensi usia produktif warga negara yang mendominasi populasi. Dengan begitu maka laju pertumbuhan ekonomi akan ikut terdorong.

Padahal itu semua baru akan terjadi manakala kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) telah memenuhi syarat. Visi Indonesia Emas 2045 benar-benar akan terwujud jika dan hanya jika syarat serta ketentuan yang mengikutinya terpenuhi.

Bonus demografi bukan semata tentang kuantitas penduduk usia produktif, melainkan juga kualitas dari para penduduk itu sendiri.

Perihal kualitas ini secara sederhana bisa kita nilai dari satu aspek krusial, kecerdasan. Bukan sebatas kecerdasan intelektual saja, ada kecerdasan dari sisi emosional, pun kecerdasan dalam kaitannya dengan aspek spiritual mengingat kita sebagai bangsa yang bertuhan.

Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual

Berkaitan dengan tingkat kecerdasan intelektual, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sedang bermasalah dengan hal ini. Indeks IQ penduduk Indonesia hanya sebesar 78,49 menurut rilis data World Population Review.

Jauh sekali dari indeks IQ Singapura yang sudah mencapai 105,89. Padahal Singapura hanyalah setitik kecil jika dibandingkan dari sisi jumlah penduduk, kekayaan alam, kondisi geografis, dan sebagainya.

Satu fakta lain lagi, Singapura  memiliki pendapatan per kapita mencapai 67.200 dollar AS pada tahun 2022 berbanding 4.850 dollar AS pendapatan per kapita Indonesia (katadata, 2022).

Dengan kondisi indeks IQ kita yang memang tertinggal jauh maka tidak mengagetkan manakala pendapatan per kapita Indonesia juga tertinggal.

Sedangkan dari sisi kemampuan minimum untuk memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar, 70% skor penilaian Programme for International Student Assessment  (PISA) siswa berusia dibawah 15 tahun menunjukkan masih berada dibawah standar.

Hal ini semakin menegaskan bahwasanya kualitas kecerdasan intelektual kita rendah. Dan hal ini tentunya bukan kabar baik untuk menopang gembar-gembor bonus demografi Indonesia.

Belum cukup sampai disitu, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menunjukkan bahwa sekitar 2% remaja wanita dan 8% remaja pria usia 15-24 tahun mengaku telah melakukan hubungan seks sebelum menikah.

Sebagai bangsa yang mencap dirinya sebagai bangsa yang beragama, perilaku seks diluar nikah jelas-jelas menyalahi hukum-hukum keagamaan. Menyalahi prinsip spiritualitas yang menjunjung tinggi kepatuhan terhadap titah Sang Pencipta.

Pengabaian aturan-aturan suci agama yang menjadi landasan penting spiritualitas merupakan bukti nyata bahwa kecerdasan spiritualitas anak bangsa kita tengah berada di titik nadir. Sangat menghawatirkan.

Lantas bagaimana kabarnya dengan kecerdasan emosional? Sami ugi sami mawon. Sama saja. Sudah berapa banyak kasus kriminalitas yang melibatkan sisi emosi seseorang? Kekerasan. Pembunuhan. Saya rasa tidak perlu dipublikasikan datanya disini karena hanya akan menambah kegetiran kita saja.

Revolusi Mental atau Revolusi M(e)ntal ?

Boleh dibilang saya adalah salah satu orang yang terbuai dengan gagasan revolusi mental yang dulu sempat digaungkan oleh Presiden Jokowi saat hendak maju dalam kontestasi pilpres tahun 2014. Sepertinya hal itu menjanjikan perubahan besar khususnya terhadap peningkatan kualitas kecerdasan warga negara.

Apadaya, revolusi mental itu justru lebih tepat dikatakan revolusi m(e)ntal. Apa itu revolusi m(e)ntal ? Revolusi yang gagal, tidak berhasil mencapai sasaran. Terpental dari target yang ingin dicapai.

Justru yang terlihat sekarang adalah keterbelahan publik yang semakin kentara, khususnya di media sosial. Pada zaman sebelum Presiden Jokowi berkuasa, sekat perbedaan tidaklah begitu terasa seperti halnya sekarang.

Yang pro SBY, pro Megawati, atau kontra SBY, kontra Megawati tidak sampai beradu label kadrun, kampret, cebong, kodok, bekicot. Coba tengok bagaimana kondisinya sekarang.

Apakah benar revolusi mental telah benar-benar dijalankan, tidak dijalankan sama sekali, atau sudah dijalankan namun hasilnya justru memperburuk keadaan?

Memang ada andil media sosial disana, tapi bagaimanapun juga manusia tetaplah pemegang kendali utama. Dan ironisnya, manusia itu pulalah yang pada waktu-waktu mendatang diharapkan menjadi nahkoda dari kehadiran bonus demografi untuk negeri ini.

Pendidikan di Ruang Publik

Saya sempat berharap bahwa bersatunya Jokowi dan Prabowo sebagai ikon yang merepresentasikan keterbelahan pandangan publik pada masa pilpres 2014 dan 2019 akan mengakhiri polariasasi.

Ternyata hal itu tidak pernah terwujud. Polarisasi masih saja terjadi dan tetap bertahan sampai sekarang. Entah karena keadaan atau memang sengaja dikondisikan seperti itu oleh segelintir orang. Dengan motif dan tujuan.

Ruang publik kita lebih banyak dipenuhi dengan narasi caci maki manakala ada perbedaan sudut pandang persoalan. Bukan adu gagasan yang dilandasi data dan fakta. Argumen dikatakan berdasarkan sentimen cetek  yang mengabaikan nalar kritis manusia yang sebenarnya memiliki anugerah akal sehat.

Media sosial sebagai manifestasi terkini dari ruang publik jarang diisi dengan pertukaran gagasan yang mendidik. Data dan fakta cenderung diabaikan. Kalah oleh argumentasi “pokoknya” yang entah menjadikan apa sebagai dalilnya.

Minim sekali kalau tidak bisa dibilang nihil pendidikan yang bisa kita serap dari “diskusi” ruang publik. Karena yang ada hanyalah perkataan kering kerontang berisi caci maki dan bully. Padahal, ruang publik telah menjadi ruang pendidikan kita yang masuk dalam kategori bonus demografi.

Apabila ruang pendidikannya sudah carut marut maka manusia yang digadang-gadang sebagai bonus demografi tersebut telah memperoleh pendidikan jauh dari kata layak.

Jika sudah seperti itu maka masihkah kita bisa berharap bahwa bonus demografi kita benar-benar akan membuahkan hasil bahagia? Perlukah kita koreksi narasi optimsime berkaitan dengan bonus demografi itu?

Maturnuwun.

Agil Septiyan Habib