Kepunahan massal selanjutnya berawal dari lautan. Ini bukan gurauan, melainkan sebuah kekhawatiran yang selama beberapa tahun belakangan semakin mendekati kenyataan. Terlepas kita menyadarinya atau tidak, pada kenyataannya situasi iklim memang terus memburuk dari waktu ke waktu. Emisi karbon dan polutan berbahaya lainnya terus mengepung penjuru bumi tanpa adanya penyeimbang sepadan yang mampu menangkal.
Jikalau selama ini kita sering hanya berbicara perihal kemungkinan suhu bumi yang memanas, bongkahan es kutub mencair, permukaan air laut meninggi, dan tenggelamnya daratan oleh luberan air laut maka sebenarnya ancaman yang muncul dari lautan lebih daripada itu.
Lautan sedang menuju “pengasaman” yang semakin tidak bersahabat bagi kehidupan. Karbon yang menumpuk perlahan bereaksi dengan air laut sehingga menjadikan tingkat keasaman (pH) semakin rendah.
Sejak revolusi industri bergulir hingga saat ini, pH lautan global telah turun menjadi sekitar 8,07 dari idealnya 8,1 – 8,4 (dw.com). Diperkirakan pada tahun 2100 mendatang akan terus turun hingga mencapai pH 7,67 (mongabay.co.id).
Situasi tersebut menjadikan terumbu karang terancam rusak sehingga keanekaragaman hayati yang hidup dan tinggal bergantung padanya pasti akan turut terdampak. Para penghuni lautan perlahan tapi pasti mengalami ancaman kepunahan.
Disamping itu, paparan luberan air laut dengan keasaman rendah pada lahan pertanian di pinggir lautan akan menurunkan kualitas tanah hingga akhirnya tidak bisa dipergunakan samasekali untuk bercocok tanam. Semakin banyak tanah yang terendam maka situasi pangan akan semakin terancam.
Untuk kelanjutan ceritanya saya kira Anda sudah bisa menebak akan seperti apa jikalau situasi yang ada saat ini tidak segera diperbaiki.
Butuh lebih dari sekadar doa untuk memulihkan situasi. Emisi karbon harus sesegera mungkin direduksi pasokannya. Bukan menunggu tahun 2060 mendatang, tapi harus mulai dari sekarang.
Dalih ekonomi seringkali dijadikan alasan untuk menunda langkah antisipasi. Tidak jarang komitmen yang sudah dibuat berulang kali dilanggar dengan alasan situasi genting dan mendesak. Padahal adakah yang lebih mendesak ketimbang ancaman kepunahan terhadap seluruh makhluk hidup penghuni bumi itu sendiri?
Peran Industri
Sektor Industri berkontribusi cukup besar dalam memasok emisi karbon di bumi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekitar 60,2 juta ton karbon dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2019 yang lalu. Untuk kontributor tertinggi masih ditempati oleh sektor energi dengan 638,8 juta ton emisi karbon pada tahun yang sama (katadata.co.id).
Sedangkan hampir semua sektor industri juga sangat bergantung pada energi, yang artinya industri memiliki pengaruh cukup besar terhadap jumlah emisi karbon saat ini.
Oleh karena itu, segenap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan industri hendaknya turut mengambil peran dalam upaya reduksi emisi. Mulai dari pucuk pimpinan perusahaan sampai dengan karyawan pelaksana di lini paling depan.
Kalau boleh dibilang sebenarnya setiap aktivitas pada proses bisnis suatu industri memiliki pengaruh terhadap jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Hanya saja jumlahnya beragam antara satu dengan yang lain. Ada yang secara langsung menjadi penyebab dihasilkannya emisi karbon, ada juga yang menjadi sebab tidak langsung.
Di industri manufaktur misalnya, aktivitas operasional dimana mesin-mesin beroperasi untuk menghasilkan produk tertentu biasanya akan bersentuhan langsung sebagai produsen emisi. Apalagi ketika mesin tersebut menggunakan bahan bakar fosil dan menghasilkan gas buang sebagai imbas aktivitasnya. Ataupun ketika mesin dijalankan oleh tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil semisal PLTU Batubara.
Aktivitas pendukung lain seperti perencanaan produksi sepintas mungkin tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pasokan emisi. Padahal, kekacauan dalam menentukan jadwal produksi bisa sangat merugikan secara efisiensi dan produktivitas sebuah industri. Sumber daya yang dipergunakan bisa jadi melebihi taksiran yang seharusnya.
Waktu produksi bisa menjadi lebih panjang. Potensi produk rusak pun meningkat. Aktivitas produksi ulang bisa bertambah intensitasnya seiring tuntutan pasar yang selalu harus bisa dipenuhi terlepas apapun masalah yang melanda lini produksi. Limbah produksi pun semakin besar.
Hal ini mungkin terlupakan. Atau sebatas dinilai sebagai penyebab tingginya ongkos produksi saja. Atau sekadar sebagai penyebab berkurangnya nilai keuntungan sebuah korporasi saja. Padahal efek yang ditimbulkannya juga menyangkut nasib bumi.
Semakin bermasalah perencanaan produksi (production planning) yang dirancang maka semakin besar pula efek emisi yang ditimbulkan.
Dengan kata lain, membuat perencanaan produksi yang seoptimal mungkin untuk mendukung proses yang efektif dan efisien akan sangat berperan dalam menekan laju emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas industri secara keseluruhan.
Menyusun perencanaan produksi hendaknya tidak sekadar berorientasi terhadap pemenuhan permintaan pelanggan, akan tetapi juga harus mengedepankan kepentingan lingkungan yang berkelanjutan. Dengan kata lain green production planning atau perencanaan produksi hijau atau perencanaan produksi yang berwawasan lingkungan harus menjadi acuan sebuah industri dalam beroperasi.
Selama ini mungkin kita menganggap kepentingan pelanggan adalah segalanya. Tapi untuk sekarang kita memiliki batasan lain yang juga penting untuk diperhatikan. Yakni bagaimana caranya agar kegiatan industri yang dilakukan itu juga mesti mengutamakan reduksi konsumsi energi agar tidak berlebihan.
Perencanaan produksi hijau mengemban peran strategis dalam mengupayakan keuntungan bagi pelaku industri sekaligus mengakomodasi upaya penyelamatan lingkungan melalui efisiensi sumber daya. Dengan kata lain, aspek lingkungan memiliki prioritas yang sama pentingnya dengan tujuan mengeruk profit bisnis.
Sepanjang pengalaman saya menggeluti profesi sebagai perencana produksi, deadline waktu pemenuhan permintaan merupakan prioritas utama. Dalam situasi yang sangat mendesak, tidak jarang pemborosan energi dikorbankan. Situasi semacam ini perlu dipertimbangkan ulang manakala prinsip perencanaan produksi hijau diimplementasikan.
Biasanya seorang perencana produksi akan mempertimbangkan beberapa aspek seperti Earliest Due Date atau tenggat waktu terpendek, Shortest Processing Time atau waktu proses terpendek, dan First Come First Serve atau yang pertama datang pertama dilayani.
Akan tetapi, faktor dampak lingkungan sangat mungkin mempengaruhi penentuan rencana produksi sehingga menjadikan hasil perencanaan produksi hijau sedikit berbeda dibandingkan perencanaan produksi pada umumnya.
Selama itu baik untuk keduanya, bisnis dan lingkungan, mengapa tidak?
“Wah.. Keren kamu gil udah bisa nerbitin tulisan di Jawa Pos.” Bunyi sebuah SMS yang dikirim oleh seorang sahabat pada tahun 2010 lalu ketika untuk pertama kalinya saya berhasil menulis artikel yang diterbitkan oleh salah satu media cetak ternama di Jawa Timur itu.
Pada momen sekitaran semester 5 sewaktu kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Surabaya, saya memang mulai tertarik untuk menulis artikel dan mengirimkannya ke media. Hal itu mungkin terdorong oleh kebiasaan saya membaca koran setiap hari, karena kebetulan tempat kos saya waktu itu memang berlangganan surat kabar harian Jawa Pos.
Pada saat itu, umumnya berita olah raga menjadi favorit bacaan utama kami para penghuni kos yang kebanyakan mahasiswa, diikuti berita politik dan kemudian berita hiburan. Para penghuni kos biasa membacanya saling bergantian. Namun, ada satu rubrik lain yang cukup menarik perhatian saya waktu itu, yakni rubrik ‘Gagasan’.
Rubrik ini bersebelahan dengan rubrik ‘Opini’ dimana para akademisi, praktisi, politisi, dan pakar-pakar dari berbagai bidang biasanya muncul untuk menuangkan pikirannya disana. Sedangkan rubrik ‘Gagasan’ adalah sebuah tulisan artikel 250 kata berisi curahan ide dan gagasan singkat mengenai berbagai hal yang dibuat oleh orang-orang dari berbagai latar belakang.
Bagi saya yang masih sangat-sangat baru dalam kegiatan tulis-menulis kala itu rasanya cukup berat untuk bisa membuat tulisan opini sepanjang 500 kata sebagaimana disyaratkan oleh redaksi media. Terlebih tulisan pada rubrik opini tidak serta merta bisa ditulis ala kadarnya. Perlu dukungan sumber referensi akademik yang kuat sebagai dasar penulisan. Sesuatu yang bagi penulis pemula macam saya terasa cukup mengintimidasi.
Jangankan untuk membuat tulisan opini bernas sepanjang 500 kata, untuk membuat tulisan pendek dan diksi yang lebih longgar saja rasanya sudah sangat memeras otak.
Akhirnya, pilihan untuk membuat rangkaian tulisan 250 kata pada rubrik ‘Gagasan’ tersebutlah yang saya anggap lebih realistis dilakukan pada saat itu ketimbang harus menulis untuk rubrik opini. Meski sebenarnya tidak bisa dibilang mudah juga dalam merampungkan tulisan ‘Gagasan’, akan tetapi dengan kriteria penulisan lebih ringan hal itu bisa membuat saya lebih percaya diri untuk merampungkan setidaknya satu topik tulisan pada rubrik tersebut.
Dan ketika artikel ‘Gagasan’ pertama saya yang berjudul ‘Tim Patroli Tabung Elpiji” berhasil terbit, hal itu cukup memantik rasa bahagia yang luar biasa. Sensasi kebanggaan bertebaran di dalam benak saya tatkala membaca koran pagi langganan dan melihat nama sendiri terpampang diantara sekian banyak tulisan di halaman koran.
Kalau boleh jujur, suasananya kala itu terasa jauh lebih berharga ketimbang upah menulis yang saya dapatkan kemudian.
Tulisan pertama itu seakan menjadi kran pembuka bagi tulisan-tulisan berikutnya. Karena beberapa kali kemudian tulisan ‘Gagasan’ saya ternyata berhasil terbit lagi di koran serupa.
Pada umumnya setiap penulis hanya berkesempatan untuk diterbitkan tulisannya sekali saja dalam satu bulan. Mungkin karena alasan pemerataan dan lain sebagainya.
Pernah beberapa kali saya mengirimkan tulisan artikel ‘Gagasan’ pada satu bulan yang sama, akan tetapi paling banter hanya terbit satu kali saja. Sehingga saya pun mencoba peruntungan untuk membuat tulisan artikel dengan mengatasnamakan saudara saya. Alhamdulillah berhasil terbit. Di kesempatan yang lainnya lagi saya membuat tulisan dengan mengatasnamakan teman kos, alhamdulillah terbit juga. He-he-he.
Tapi memang dasar bukan rezeki, upah tulisan yang terbit atas nama orang lain tersebut karena satu dan lain hal ternyata tidak berhasil saya nikmati. Sedihnya..
Meskipun begitu, berkat tulisan 250 kata itu saya justru menjadi semakin percaya diri untuk menghidupkan budaya literasi dalam keseharian sebagai mahasiswa pada masa itu dan untuk periode-periode berikutnya pasca lulus kuliah.
Menerbitkan Buku
Menulis dan membaca adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Saya merasakan betul hal itu. Terutama ketika tulisan yang saya hasilkan semakin banyak sampai membuat otak seakan kering ide. Mau menulis apa, hendak membahas hal apa, atau membicarakan sesuatu tentang apa rasanya semua buntu.
Sehingga ketika saya sudah mulai bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, sebagian dari gaji pekerjaan tadi saya sisihkan untuk membeli buku. Toko buku Gramedia menjadi taman bermain yang menyenangkan untuk saya singgahi. Berjam-jam waktu bisa saya habiskan untuk berselancar melihat satu demi satu judul buku yang bertebaran di setiap rak.
Bukan hanya menambah cakrawala bacaan, melihat pampangan buku karya para penulis semakin meneguhkan niat saya untuk bisa menghasilkan karya serupa. Menuliskan buku yang kelak bisa dibaca semua orang. Menghasilkan sebuah karya tulis yang bisa bersanding dengan karya-karya penulis lainnya.
Kurang lebih dua tahun saya habiskan untuk merangkai kata demi kata dari sebuah buku yang pada tahun 2017 lalu berhasil saya publikasikan dengan judul “Powerful Life”. Meskipun baru bisa menerbitkannya secara indie, setidaknya hal itu sudah menjadi perwujudkan harapan saya sebelumnya yang memang ingin menerbitkan buku karya sendiri.
Selama prosesi penulisan dua tahun tersebut saya merasakan betul bahwasanya untuk menghasilkan sebuah tulisan tidak cukup hanya dengan mengamati sekitar. Perlu adanya referensi bacaan yang bisa meluaskan khasanah pemahaman. Disisi lain, untuk mendapatkan banyak buku bacaan tersebut tentu butuh biaya. Apalagi jika untuk memperolehnya harus melalui toko buku mentereng seperti Gramedia dan semacamnya.
Sehingga pada waktu itu saya lebih banyak mendatangi toko buku bekas. Kebetulan, tidak begitu jauh dari tempat saya bekerja terdapat sebuah kawasan khusus buku bekas bernama “Kampung Ilmu” yang terletak di sekitar Jalan Semarang, Surabaya. Sebuah surga buku bekas dari berbagai genre yang jumlahnya bejibun dengan harga murah bisa ditemukan disana.
Jelajah toko buku bekas juga sempat saya lakukan tatkala mengunjungi Kwitang, Jakarta Pusat, menjelang penghujung tahun 2016 lalu saat saya baru pertama kali hijrah ke Tangerang. Meskipun merantaunya ke Tangerang, tapi kenapa cari buku bekasnya di Kwitang? Iya, hitung-hitung mengunjungi ibukota sebelum pindah. He-he-he.
Materi dan Kepuasan Hati
Selama proses merampungkan buku “Powerful Life” tersebut saya seperti meninggalkan rutinitas menulis lainnya. Terutama menulis di blog komunitas yang sedari September 2015 saya ikuti.
Mungkin ada yang sudah tidak asing dengan platform Kompasiana? Disanalah saya mengasah diri untuk menelurkan tulisan demi tulisan karena setelah lulus kuliah saya tidak berlangganan koran Jawa Pos lagi.
Situasi tersebut pula yang mempersulit saya untuk memantau setiap artikel yang terbit manakala mengirimkan tulisan ke media. Karena belum tentu ketika suatu hari mengirimnkan tulisan maka keesokan harinya tulisan tersebut akan langsung dipublikasikan.
Terkadang ada jeda waktu beberapa hari pasca tulisan dikirim hingga terbit. Bahkan untuk melihat tulisan kita gagal terbit juga mesti melihat fisik koran terbitan baru. Padahal saya tidak lagi membaca koran setiap hari layaknya dulu untuk memantau progres terbitnya artikel.
Tak ayal situasi tersebut lambat laun membuat saya berhenti mengirimkan artikel ‘Gagasan’ ke Jawa Pos. Terlebih tidak lama berselang rubrik tersebut juga hilang seiring makin menurunnya oplah penjualan koran karena tergerus oleh media online.
Mungkin salah saya juga karena tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi dan kurang aktif dalam melebarkan sayap kepenulisan melalui media online sementara disisi lain penetrasi internet semakin masif terjadi waktu itu. Ditambah fokus pada penuntasan buku sehingga seolah-olah menjauhkan saya dari ingar bingar literasi dunia maya.
Pasca tuntasnya penulisan buku saya hal itu pun seperti membuka kembali jendela literasi yang tengah menggeliat pesat di jagad digital. Platform Kompasiana yang dulu tidak memberikan fee apapun kepada penulis sudah berubah memberikan reward finansial kepada para penulis yang memenuhi kriteria page view tertentu.
Bahkan pada masa pandemi Covid-19 dalam sebulan saya berhasil meraup finasial hingga jutaan rupiah hasil dari mempublikasikan artikel di platform tersebut. Ditambah juga mengikuti ajang blog competition yang sebagian diantaranya juga memberikan keuntungan serupa.
Belakangan, intensitas saya menulis di blog tersebut tidak lagi seaktif dulu. Dalam sebulan mungkin hanya membuat tiga sampai empat judul artikel berbanding dahulu yang hampir setiap hari melakukannya. Meskipun begitu, saya masih tetap aktif mengirimkan tulisan ke beberapa media lain seperti di Kumparan, Retizen, hingga detik.com.
Terkhusus untuk menulis di kolom detik.com saya merasakan adanya tantangan tersendiri karena tidak setiap tulisan yang dikirimkan ke redaksi pasti akan dipublikasikan. Saya cukup sering mengalami penolakan dari redaksi. Tapi justru disitulah letak kesenangan utamanya. Yakni ketika tulisan kita berhasil diterbitkan oleh redaksi. Rasanya semenyenangkan dulu saat tulisan saya pertama kali terbit di Jawa Pos.
Biarpun kali ini tidak ada fee atau upah yang saya dapat dari menulis di detik.com, akan tetapi justru banyak kepuasan yang saya peroleh disana. Karena mungkin perihal literasi ini tidaklah selalu berorientasi pada materi. Ada kepuasan hati yang lebih utama untuk dipenuhi.
Barangkali itu dulu ya kisah pengalaman saya terkait dengan literasi dan bagaimana saya sekarang cukup intens menggeluti bidang ini. Ada suatu hal menyenangkan yang sukar untuk diutarakan dan barangkali untuk memahaminya seseorang harus ikut terjun menekuninya secara langsung.
Adakalanya untuk memberitahukan manisnya rasa gula kepada orang lain tidaklah cukup hanya dengan menceritakan bagaimana definisi dari rasa manis itu, melainkan seseorang harus mencicipinya secara langsung untuk mengetahui secara pasti sensasinya.
***
Wah, tidak dinyana ternyata sudah seribu kata lebih saya menulis disini. Tapi, sebelum mengakhirinya saya ingin terlebih dahulu berbagi tips terkait bagaimana menghidupkan dan menumbuhkan budaya literasi untuk diri kita sendiri dan juga lingkungan sekitar.
3 Tips Menumbuhkan Budaya Literasi
Budaya literasi merupakan salah satu tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Bangsa yang memiliki kadar literasi tinggi akan ikut terdorong maju dalam segala hal, mulai dari perekonomian, demokrasi, kehidupan sosial, dan lain sebagainya.
Tapi, sayangnya, budaya literasi kita harus diakui masih belum terlalu menggembirakan. Sehingga diperlukan berbagai upaya untuk terus menumbuhkannya menjadi lebih baik lagi pada masa yang akan datang.
Berikut ini adalah tiga tips untuk menumbuhkan budaya literasi berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami sedari awal mengenal dan semakin terbiasa dengan budaya literasi tersebut. Barangkali ini bisa menjadi referensi rujukan untuk mendekatkan literasi kepada semua orang.
1. Menyediakan dan Mendekatkan Ruang Literasi Kepada Semua
Saya merasa cukup beruntung karena saat kuliah dulu mendapat tempat kos yang berlangganan koran harian. Sehingga mau tidak mau, rutin ataupun jarang, sengaja atau tidak sengaja membuat saya terbiasa membaca berita. Mulai dari perkara yang ringan seperti olah raga sampai dengan politik penguasa.
Bahkan dari sekian aktivitas baca yang kita lakukan akan tercipta suatu momen dimana kita tertarik pada sesuatu hal diantaranya dan kemudian memutuskan untuk menggali lebih jauh seperti halnya ketertarikan saya menulis di rubrik ‘Gagasan’ dan berlanjut dengan kegiatan menulis lain hingga sekarang.
Andaikan dulu saya tidak tinggal di tempat kos tersebut barangkali saya tidak akan terlalu dekat dengan budaya literasi ini.
Sehingga inilah yang perlu dilakukan oleh segenap kalangan pegiat literasi, yakni menyediakan serta mendekatkan ruang berikut fasilitas yang memungkinkan siapapun untuk bersentuhan dengan dunia literasi. Mungkin dengan menghadirkan ruang baca berisi bacaan lengkap di depan pusat perbelanjaan secara gratis atau di tempat-tempat umum lain dimana banyak khalayak berkumpul.
Dengan begitu maka setiap orang mau tidak mau, sadar tidak sadar, dan langsung maupun tidak langsung telah melibatkan dirinya dengan budaya literasi.
2. Memberi Stimulus Penggugah Minat
Sebenarnya tidak serta merta saya dulu langsung ingin menulis di rubrik ‘Gagasan’ pasca melihat keberadaan rubrik tersebut di koran. Hal itu hadir ketika melihat ‘undangan’ dari redaksi yang mengajak para pembacanya untuk mengirimkan tulisan pada rubrik tersebut dimana untuk setiap tulisan yang berhasil terbit akan mendapatkan fee lumayan.
Bagi anak kos yang tinggal jauh dari keluarga, kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan jelas tidak boleh saya sia-siakan. Terlebih di kos-kosan waktu itu kami juga mulai berlangganan internet. Sehingga jika dapat honor menulis maka hal itu cukup membantu untuk membayar iulan bulanannya. He-he-he.
Stimulus tersebut ternyata cukup ampuh untuk menggugah minat saya menulis. Bahkan beberapa teman di kampus waktu itu juga tidak sedikit yang ikut serta melakukan langkah serupa. Menulis sesuatu di rubrik ‘Gagasan’ guna menyampaikan isi pikirannya masing-masing.
Barangkali stimulus bisa berwujud banyak hal. Tapi, pada prinsipnya hal itu harus cukup mampu menggugah hasrat seseorang untuk bergerak menuliskan karyanya. Minat setiap orang harus disentuh pada titik pusatnya sehingga semangat berliterasi akan hidup dengan sendirinya.
3. Menghadirkan Ruang Tumbuh Kembang Budaya Literasi
Di dalam syair lagu “Tombo Ati” Opick mengatakan bahwa obat hati yang ketiga adalah “Berkumpul dengan Orang Shaleh”. Dalam sebuah ungkapan kita juga pernah mendengar bahwa seseorang yang berbaur dengan tukang minyak wangi akan tertular wanginya.
Dengan kata lain, budaya literasi pun membutuhkan keberadaan komunitas yang bisa merawat dan menjaga euforia literasi agar senantiasa berada pada level tinggi. Berbaur dengan para penulis lain sedikit banyak akan menjadikan kita tergerak untuk terus menghidupkan budaya literasi. Entah itu dalam konteks persaingan kompetisi ataupun bertukar gagasan dalam narasi tulisan.
Bergabungnya saya pada platform Kompasiana saya akui merupakan bagian dari upaya ini. Bersua dengan penulis lain yang memiliki kesamaan visi misi di dunia literasi.
Dan dewasa ini komunitas semacam ini sudah semakin banyak jumlahnya dan tersebar dimana-mana. Bukan hanya Kompasiana, ada juga kumparan, retizen, mojok, IDN, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Semakin kita berbaur dengan komunitas yang tepat maka hal itu akan membawa kita menuju situasi tumbuh kembang yang positif.
Melalui ketiga hal tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi untuk semakin membumikan budaya literasi kepada semakin banyak orang sehingga semua pihak bisa memetik buah manis dari budaya literasi yang makin membumi dan dekat dengan gaya hidup kita sehari-hari.
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat populasi kendaraan bermotor tertinggi di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada tahun 2022 terdapat sekitar 125,3 juta unit sepeda motor; 17,2 juta unit mobil; 241 ribu unit bus; dan 5,5 juta unit truk melaju di jalanan seluruh Indonesia.
Tingginya kepemilikan kendaraan bermotor tersebut sebenarnya merepresentasikan ekonomi yang bertumbuh. Angka kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi adalah cerminan daya beli masyarakat yang tinggi.
Jikalau ditarik garis lurus kondisi tersebut juga berpotensi meningkatkan pendapatan negara melalui pembayaran pajak kendaraan. Hanya saja masih belum optimal seiring masih rendahnya kepatuhan para pemilik kendaraan bermotor dalam menunaikan kewajiban membayar pajak kendaraan sebagaimana termaktub dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan pantauan Jasa Raharja pada bulan Desember tahun 2022, tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak kendaraan hanya 56,24% saja. Sedangkan 43,76% sisanya masih abai. Hal ini mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan pajak hingga mencapai 120 triliun rupiah.
Padahal, pajak kendaraan memiliki kontribusi signifikan dalam mengerek pendapatan pemerintah daerah yang terlihat dari data Badan Pendapatan Daerah Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia dimana Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) menyumbang sekitar 67,79 triliun rupiah atau 47,33% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2020, dan 77,91 triliun rupiah atau 47,39% PAD tahun 2021.
Rendahnya kepatuhan dalam membayar pajak ini menurut eks Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi, salah satunya disebabkan oleh ketidaktahuan (kurang tahu) masyarakat terhadap pengelolaan uang pajak akan dipakai untuk apa, dan diarahkan kemana.
Jika merujuk pada penjelasan laman web salah satu pemerintah provinsi, hasil penerimaan dari pajak kendaraan bermotor ini minimal 10% dialokasikan untuk pembangunan, pemeliharaan, dan peningkatan jalan, moda, serta sarana transportasi umum.
Sedangkan selebihnya akan menjadi sumber pendanaan untuk program lain seperti layanan kesehatan, sektor pendidikan, hingga program khusus mengenai pelestarian lingkungan.
Krisis Iklim dan Stabilitas Ekonomi
Realitas sebagai salah satu negara dengan jumlah kendaraan bermotor terbesar di dunia mengharuskan kita sadar bahwa ada konsekuensi yang kita tanggung.
Jumlah volume kendaraan yang cukup tinggi tidak dapat dipungkiri akan membuat jalanan makin padat. Jangankan kondisi macet, dalam situasi normal saja kendaraan bermotor sudah memproduksi emisi dalam jumlah besar mengingat ketergantungan kita yang cukup tinggi pada bahan bakar fosil.
Tahun 2022, emisi karbon global menjadi yang tertinggi sejak 1900-an, menurut International Energy Agency (IEA) jumlahnya sudah mencapai 36,8 gigaton.
Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang 23% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dimana kendaraan bermotor menyumbangkan 80% diantaranya.
Sementara itu, sudah bukan rahasia lagi bahwasanya perubahan iklim telah menjadi ancaman serius yang mengintai kita semua. Bahkan menurut daftar XDI atau Cross Dependency Initiative saat ini Indonesia menempati urutan 4 sebagai negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Kekhawatiran makin nyata apabila kita melihat rilis data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dimana telah terjadi kenaikan jumlah bencana alam sebesar 82% antara tahun 2010 sampai dengan 2022.
Padahal, perubahan iklim bukan semata tentang alam yang berubah karena hal itu juga berdampak pada sektor ekonomi. Krisis iklim akan menambah beban ekonomi kita. Sektor pertanian kacau, sektor perikanan terpuruk, logistik terganggu, dan lain sebagainya.
Selain itu, bencana kekeringan, banjir, dan sejenisnya juga bisa mengakibatkan kerugian finansial sangat besar sehingga perekonomian menjadi tidak stabil.
Diperkirakan pada tahun 2050 mendatang Indonesia akan kehilangan 30-40% PDB gegara perubahan iklim ini. Bahkan tahun 2023 ini menkeu Sri Mulyani memperkirakan Indonesia mengalami kerugian cukup besar akibat krisis iklim yaitu mencapai 12,2 trilun rupiah.
Dengan kata lain, permasalahan iklim akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi negara kita yang oleh karena itu perlu menjadi perhatian semua pihak.
Kesadaran Iklim Masyarakat
Peran serta masyarakat sangatlah krusial dalam upaya penanggulangan iklim yang belakangan semakin pelik ini. Pemerintah tidak akan mampu berbuat banyak apabila masyarakatnya tidak ikut andil melaksanakan upaya pelestarian lingkungan.
Sayangnya, kesadaran iklim orang Indonesia masih tergolong rendah. Ini terlihat dari hasil survei Remotivi pada Februari 2023 lalu dimana sekitar 63% responden menganggap bahwasanya krisis iklim tidaklah berbahaya. Sementara hanya 29% responden saja yang memiliki pengetahun cukup mengenai perubahan iklim.
Sangat ironis sebenarnya mengingat krisis iklim yang jelas-jelas menjadi kekhawatiran publik dunia ternyata justru kita pandang sebelah mata saja.
Kurangnya kesadaran terkait bahaya perubahan iklim yang berpadu dengan minimnya pengetahuan bahwasanya uang pajak kendaraan memiliki kontribusi terhadap upaya penanggulangan krisis iklim pada akhirnya membuat tingkat penerimaan pajak kendaraan bermotor di Indonesia rendah.
Kesadaran iklim yang rendah memantik minimnya kepatuhan pembayar pajak karena ketidakpahaman mengenai urgensi dari pengalokasian dana pajak tersebut.
Akibatnya, pelaksanaan program kerja seperti perawatan sarana moda transportasi menjadi kurang maksimal. Program-program lain yang berorientasi lingkungan pun jadi ikut dikesampingkan gegara minimnya dukungan anggaran.
Padahal, perbaikan sarana dan prasarana transportasi serta program –program pro lingkungan tersebut adalah bagian dari upaya mereduksi emisi.
Apabila seluruh pemilik kendaraan bermotor menganggap krisis iklim adalah isu yang krusial dan memerlukan partisipasi semua pihak, seharusnya kita sadar bahwa kontribusi tersebut bisa disalurkan melalui ketaatan dalam membayar pajak.
Memang, sudah bukan rahasia lagi bahwasanya penanggulangan krisis iklim masih banyak menemui kendala terkait pendanaan.
Wacana pemerintah untuk memungut pajak iklim secara khusus mungkin ide yang baik tetapi diragukan efektivitasnya. Resistensi masyarakat sangat mungkin terjadi seiring deretan kebutuhan hidup yang sudah menumpuk.
Toh, ketika penerimaan pajak kendaraan bermotor bisa dioptimalkan sebenarnya hal itu sudah cukup memberi kontribusi pengalokasian anggaran pemerintah terhadap pelestarian lingkungan dan lain sebagainya.
Ancaman besar yang mengintai terkait dengan krisis iklim memang begitu menakutkan sehingga segenap pemimpin dunia ikut urun rembuk memikirkan nasib bumi di masa depan. Padahal kita yang sebagian besar adalah rakyat jelata ini sebenarnya juga mampu berkontribusi melalui hal kecil dan sederhana.
Kesadaran dan kepatuhan kita dalam membayar pajak kendaraan bermotor adalah langkah awal untuk ikut membantu merawat bumi yang kita tinggali ini. Dengan begitu bukan hanya bumi bisa diselamatkan, tetapi juga stabilitas ekonomi dapat terjaga.
Tahun 2045 akan menjadi momen penting bagi Bangsa Indonesia karena kita akan merayakan seratus tahun masa kemerdekaan. Periode panjang tersebut seharusnya memberikan cukup waktu kepada bangsa ini untuk mewujudkan visi Indonesia Maju sebagaimana dicita-citakan oleh para pemimpin bangsa terdahulu, terutama dalam hal kemajuan perekonomian.
Namun, kita harus mengakui bahwa realisasi dari konsep tata tentrem kerta raharja atau negara yang tertib, damai, sejahtera, dan berkecukupan dalam segala hal ternyata masih jauh dari harapan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022 mencatat bahwa sekitar 9,57% atau 26,36 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, dengan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp 535.547 per bulan[1].
Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada tahun 2022 telah mencapai Rp 71 juta atau US$ 4.783,9, ternyata angka tersebut masih jauh dari standar PDB per kapita negara maju[2].
Menurut Bank Dunia, untuk dikategorikan sebagai negara maju atau negara berpendapatan tinggi, PDB per kapita suatu negara harus di atas US$ 12.235[3]. Dengan kata lain, saat ini kita masih tertinggal hampir tiga kali lipat dari standar tersebut.
Dalam situasi semacam ini, muncul pertanyaan apakah visi Indonesia Maju masih bisa tercapai pada tahun 2045 mendatang?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu memeriksa antara realitas yang terjadi dan target yang sudah dicanangkan.
Pertama, mari kita melihat target yang realistis antara waktu sekarang hingga menjelang tahun 2045.
Melalui perhitungan pertumbuhan ekonomi tahunan berdasarkan PDB per kapita dari tahun ke tahun, kita dapat memperkirakan persentase pertumbuhan ekonomi yang diperlukan oleh Indonesia agar dapat mencapai target PDB per kapita pada tahun 2045.
Rumusannya yaitu :
Persentase Pertumbuhan Ekonomi Tahunan = [(Pendapatan per Kapita Tahun 2045 / Pendapatan per Kapita Tahun 2022)^(1/Jumlah Tahun)] – 1
Dengan menggunakan rumus ini, kita dapat menghitung persentase pertumbuhan ekonomi tahunan yang diperlukan:
Jumlah Tahun = 2045 – 2022 = 23.
PDB per kapita 2022 = US$ 4.783,9
Target PDB per kapita 2045 = US$ 12.235
= [(US$ 12.235 / US$ 4.783,9)^(1/23)] – 1
= [(2,5564)^(0,04348)] – 1
= 1,0585 – 1
= 0,0585
Jadi, persentase pertumbuhan ekonomi tahunan yang diperlukan adalah sebesar 5,85% agar target PDB per kapita negara maju pada tahun 2045 tercapai.
Persentase ini juga sejalan dengan pernyataan Direktur Lingkungan Hidup dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Bappenas, Bapak Medrilzam, dalam seminar “Transisi Ekonomi Hijau” di awal tahun 2022.
Beliau menyatakan bahwa untuk mencapai PDB per kapita sebesar US$ 12.000 – US$ 13.000, Indonesia harus mencapai pertumbuhan ekonomi 6% per tahun[4].
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menurut BPS adalah sebesar 5,31%[2]. Meskipun angka ini lebih tinggi daripada tahun 2021 (3,70%), pencapaian tersebut masih belum memenuhi target 6% atau bahkan 5,85%.
Dan untuk selanjutnya, kita perlu menaruh harapan tinggi pada sektor ekonomi keuangan hijau agar mampu mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari sekarang.
Potensi Ekonomi Hijau
Saat ini, ekonomi keuangan hijau semakin menjadi acuan dalam praktik keuangan negara-negara di seluruh dunia, terutama yang terlibat dalam kesepakatan Paris (Paris Agreement).
Pemerintah Indonesia sendiri telah meluncurkan berbagai inisiatif dan stimulus ekonomi keuangan hijau, seperti program pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, pengurangan emisi karbon, dan penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam industri.
Selain itu, pemerintah juga terus memperkuat peraturan dan kebijakan yang mendukung sektor ekonomi hijau, memberikan insentif fiskal bagi investasi dalam sektor tersebut, dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan lingkungan kepada semua pihak.
Indonesia memiliki potensi besar di sektor ekonomi hijau, seperti energi baru terbarukan (EBT) dengan potensi kelistrikan dari matahari mencapai 207,8 Giga Watt (GW), sumber daya air (75 GW), angin (60,6 GW), bioenergi (32,6 GW), panas bumi (23,9 GW), dan arus laut (17,9 GW)[5].
Selain itu, potensi kredit karbon Indonesia mencapai 113,18 gigaton CO2e, yang dapat menghasilkan pendapatan sekitar US$ 565,9 miliar atau sekitar Rp 8.000 triliun melalui perdagangan karbon[6].
Belum lagi sektor pertanian dan pariwisata ekologi yang juga memiliki potensi besar.
Jika potensi ini dikelola dengan optimal akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 6% per tahun, menciptakan jutaan lapangan kerja baru, dan mengurangi miliaran ton emisi gas rumah kaca.
Namun, potensi besar tersebut masih belum terberdayakan secara optimal karena adanya ketimpangan aliran investasi antara negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara maju.
Menurut Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, hanya satu per lima saja investasi energi hijau yang masuk ke negara berkembang. Selebihnya, masih dinikmati oleh negara-negara maju[7].
Jika situasi ini dibiarkan berlanjut maka negara maju akan semakin maju sementara negara berkembang seperti Indonesia hanya akan jalan ditempat atau bahkan terpuruk pada suatu saat.
Padahal, optimalisasi investasi di sektor ekonomi hijau inilah harapan terbesar kita untuk terus mengerek pertumbuhan ekonomi nasional sehingga mencapai target yang diinginkan.
Maka, kegetolan pemerintah Indonesia dalam menarik minat investor memang cukup bisa dimaklumi.
Misalnya rangkaian kunjungan dari beberapa elit negeri beberapa waktu lalu yang rela jauh-jauh mendatangi Elon Musk di Amerika Serikat dengan misi agar sang triliuner mau berinvestasi pabrik batreai dan atau mobil listrik di Indonesia.
Barangkali keberadaan undang-undang cipta kerja yang kontroversial juga menjadi salah satu regulasi andalan untuk mengupayakan masuknya aliran investasi pemodal asing ke dalam negeri.
Bagaimanapun, faktor investasi ini bisa dibilang sangat krusial karena berperan besar membantu peningkatan lapangan kerja, mendorong produktivitas, dan memantik inovasi. Terutama investasi yang ditanam pada sektor-sektor strategis dan potensial.
Dengan begitu maka pertumbuhan ekonomi yang dicita-citakan akan lebih mungkin terlaksana.
Stabilitas Ekonomi
Aktivitas-aktivitas yang bertujuan memutar roda perekonomian atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara apapun bentuknya tentu tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa kendali.
Stabilitas ekonomi juga perlu menjadi fokus utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung oleh ekonomi hijau. Dalam hal ini, kebijakan makroprudensial memainkan peran strategis untuk meminimalkan risiko keuangan, menjaga stabilitas sistemik, dan mengendalikan risiko makro lainnya.
Nicholas Stern dalam bukunya “The Economics of Climate Change: The Stern Review” menyatakan bahwa risiko finansial perlu dikelola oleh otoritas keuangan melalui kebijakan makroprudensial yang tepat.
Saat ini, selama proses transisi dari ekonomi konvensional menuju ekonomi hijau, akan muncul tantangan dan risiko terkait dengan perubahan tersebut. Perubahan regulasi dari pro konvensional ke pro lingkungan dapat melahirkan risiko keuangan, mempengaruhi nilai aset dan kredit yang dimiliki oleh lembaga keuangan, serta menantang kredibilitas korporasi dan kesesuaian teknologi.
Oleh karena itu, kerjasama antar lembaga keuangan, regulator, dan pemerintah diperlukan untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan risiko lingkungan yang mungkin timbul.
Sehingga proses transisi menuju kemajuan ekonomi sekaligus aktivitas ekonomi yang ramah emisi (net zero emission) bisa berjalan secara smooth dan nyaman bagi semua pihak.
Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Maju tahun 2045, penting bagi pemerintah Indonesia untuk mendorong sektor ekonomi hijau, mengurangi risiko lingkungan, dan memperkuat kerjasama antara lembaga keuangan serta regulator.
Upaya-upaya ini akan membantu mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, serta mewujudkan visi Indonesia sebagai negara yang tertib, damai, sejahtera, dan makmur bagi seluruh rakyatnya.
Sementara disisi lain kita juga turut menyelamatkan nasib bumi beserta penghuninya seiring cara hidup yang menjadi lebih ramah lingkungan melalui praktik ekonomi hijau.
“Halah… Paling-paling kerjaannya planner cuma bikin hitung-hitungan di depan komputer doang. Enak, gak perlu capek-capek ngeluarin keringat. Kerjaan santai, cuma duduk aja. Kerja jadi planner risikonya kecil, tidak seberapa dibandingkan orang lapangan.”
Kalau ada yang menganggap profesi planner tidak punya risiko berarti maka saya siap untuk beradu debat membantah hal itu. Karena sependek yang pernah saya alami semasa menggeluti profesi ini sudah beberapa kali saya merasakan situasi was-was dan penuh kekhawatiran.
Salah perencanaan merupakan risiko menjadi planner yang bisa sangat menjatuhkan psikis | Ilustrasi gambar : pixabay.com / geralt
Memang, risikonya tidak menyasar fisik secara langsung. Melainkan menginvasi psikis atau psikologis seorang planner manakala dalam menjalankan perannya secara langsung atau tidak langsung telah membuat rencana produksi yang salah.
Dalam situasi yang cukup ringan mungkin berhadapan dengan teguran dan amarah bos merupakan hal yang lumrah. Namun, bagaimana jika sudah berhadapan dengan ancaman harus membayar ganti rugi yang nominalnya mencapai jutaan rupiah?
Inilah yang pernah saya alami beberapa tahun lalu. Yakni ketika rencana produksi yang saya buat ternyata mengalami cacat informasi sehingga terpaksa menghasilkan eksekusi yang salah juga. Pada akhirnya, produk yang diselesaikan tidak sesuai dengan permintaan karena mengalami perbedaan spesifikasi dari yang seharusnya disiapkan.
Terjerumus Asumsi
Kepercayaan memang mahal harganya. Meskipun dalam pekerjaan menaruh kepercayaan kepada rekan kerja bisa jadi sangat membantu jalinan kerjasama kedua belah pihak yang terlibat.
Sayangnya, waktu itu kepercayaan yang saya gantungkan kepada rekan kerja di bagian lain justru membuat saya salah langkah. Saya yang kadung berasumsi bahwa informasi yang disajikan telah memenuhi syarat meskipun belum dibakukan dalam bentuk dokumen resmi, harus membayar mahal asumsi tersebut.
Dalam sebuah komunikasi lisan via telepon saya sempat mengonfirmasi bahwasanya jenis material tertentu akan dipergunakan untuk memproduksi suatu jenis produk. Sialnya, apa yang ada di benak saya terkait kriteria material tersebut sebenarnya berbeda dengan yang ada di benak rekan kerja saya (bagian marketing) tadi. Hanya saja ketika komunikasi itu dilakukan kami sama-sama belum menyadari.
Pada alur penciptaan sebuah produk, urut-urutannya adalah marketing berkomunikasi dengan RnD, untuk selanjutnya merilis requirement dari material apa saja yang diperlukan. Nah, di dalam list requirement tersebut sebenarnya sudah terjadi kesalahan data yang ironisnya tidak kami sadari satu sama lain. Karena kebetulan produk yang hendak diproduksi 90% mirip dengan produk sebelumnya. Sekadar berbeda isi saja.
Pada saat saya membuat rencana produksi dan menginformasikannya kepada tim lapangan untuk mengeksekusi ternyata baru disadari bahwasanya terdapat “keanehan” pada produk yang dihasilkan.
Kemasannya tampak lebih besar. Bahkan kemasan yang lainnya sudah memiliki identitas khusus yang mengarah spesifik untuk buyer tertentu. Alhasil, ketika jumlah yang diminta telah siap sesuai pesanandan hendak dimuat menuju container ternyata kubikasinya berlebih. Padahal secara teori harusnya jumlah pesanan tersebut muat untuk mengisi container.
Disinilah kemudian baru disadari bahwa kemasan yang dipakai ternyata salah. Mengetahui hal itu, tim pemasaran pun langsung menganulir pengiriman demi menghindari dampak yang lebih besar.
Namun, pembatalan itu sendiri juga sudah memicu kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Kalau diperkirakan jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta.
Siapa yang harus menanggung kerugian besar tersebut? Besar kemungkinan kamilah yang harus menerima akibatnya.
Pentingnya Berpedoman pada Informasi Resmi
Pada waktu itu akhirnya diketahui bahwa kesalahan memang terjadi secara berjamaah. Ada ketidaksinkronan informasi antara beberapa bagian yang terlibat untuk membidani sebuah produk.
Terlebih, sebagian atau semua pihak yang terlibat sama-sama terjebak asumsinya masing-masing. Saling menyepakati padahal memiliki interpretasi yang berbeda satu dengan yang lain.
Disinilah saya menyadari peran dokumentasi resmi begitu krusial. Adanya rujukan bersama yang dikeluarkan oleh satu bagian tertentu akan menjadi panduan untuk melangkah bagi bagian yang lain.
Saya tidak bisa membayangkan andaikata kesalahan waktu itu benar-benar hanya terjadi oleh peran saya sebagai planner seorang diri. Pasti akan sangat berat untuk menanggung akibat dari kesalahan perencanaan tersebut. Pemotongan gaji. Tercorengnya rekam kinerja.
Namun, saya bersyukur waktu itu perusahaan masih berkenan memberikan solusi yang lebih bersahabat. Kesalahan ditanggung bersama-sama dan tidak perlu membayar ganti rugi. Cukup dengan membantu menjadi “tim pemasar dadakan” untuk menjual “produk gagal” tersebut sehingga bisa meminimalisir kerugian yang ditimbulkan.
Padahal, pekerjaan planner hanya mengutak-atik data di depan layar komputer. Melakukan perhitungan tambah kurang bagi kali. Tapi, siapa sangka. Kesalahan informasi kecil bisa menjadi sebab kerugian yang sangat besar.