Archives February 2024

Selidik Tingginya Harga Beras dari Perspektif ‘Inventory Control’

Pemilu berlalu, harga beras terus melaju. Harga beras naik gila-gilaan. Bahkan tidak sedikit pedagang yang megeluhkan bahwa harga beras kali ini sudah melampaui rekor tertingginya. Rakyat kecil menjerit. Sebagian sampai harus rela antre super panjang dan berdesak-desakan demi mendapat beras dibawah harga pasaran.

Padahal, beberapa waktu lalu pemerintahan Presiden Jokowi dengan gagahnya bagi-bagi beras bansos ke hampir segala penjuru negeri. Konon kabarnya pembagian bansos beberapa bulan ke belakang jumlahnya hampir menyamai masa-masa puncak pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu. Sehingga sebagian pihak menganggap bahwa melejitnya harga beras adalah imbas dari masifnya kucuran beras bansos tersebut.

Harga beras melonjak tinggi karena pengelolaan persediaan yang tidak tepat | Ilustrasi gambar : kompas.com

Dugaan tersebut memang cukup masuk akal. Gelontoran beras yang luar biasa besar pastilah akan menguras sejumlah persediaan yang sebenarnya disiapkan untuk kebutuhan beberapa bulan kedepan sampai datangnya pasokan berikutnya.

Inilah yang sering disebut dengan ketahanan persediaan atau ketahanan stok. Jadi, jumlah persediaan tidak ditentukan jumlahnya secara sembarangan, melainkan harus memperhatikan jumlah konsumsi setiap periode waktu tertentu berikut estimasi waktu kapan pasokan berikutnya datang.

Ketika ritme ketahanan stok yang sudah dirancang sebelumnya tiba-tiba dikacaukan, maka terjadilah seperti yang ada sekarang.

Ketahanan Stok Beras

Ketika otoritas pemerintah mengatakan bahwa stok beras bisa bertahan untuk sekian bulan mendatang, itu artinya pemerintah (seharusnya) mengetahui besaran dari kebutuhan konsumsi beras selama rentang waktu tersebut.

Untuk memudahkan pembahasan, mari kita ambil data konsumsi beras masyarakat Indonesia tahun 2022 yakni sebesar 35,3 juta metrik ton (katadata.co.id). Tergolong besar memang. Apalagi Indonesia memang menempati peringkat keempat dunia sebagai negara dengan konsumsi beras paling banyak.

Nah, katakanlan 35,3 juta metrik ton besar itu adalah konsumsi selama satu tahun maka per bulan rata-ratanya sekitar 2,9 juta metrik ton. Meskipun sebenarnya hal itu tidak bisa dipukul rata mengingat pada periode tertentu konsumsi beras menjadi lebih tinggi ketimbang bulan-bulan yang lain, misalnya ketika lebaran, akan tetapi setidaknya kita sudah memiliki cukup gambaran untuk memprediksi kebutuhan beras dalam negeri setiap bulannya.

Dalam pengelolaan persediaan (inventory control), beberapa aspek penting yang perlu kita tengok antara lain jumlah stok, jumlah konsumsi (usage), jumlah pasokan pengadaan (purchase), dan lead time.

Jumlah stok bisa terkait posisi stok awalnya serta perkiraan jumlah stok di akhir periode waktu tertentu. Estimasi stok akhir diperoleh dari jumlah stok awal ditambah pasokan pengadaan yang masuk pada periode tersebut dan dikurangi jumlah konsumsi pada periode yang sama.

Stok akhir suatu periode akan menjadi stok awal pada periode berikutnya dan berlaku rumusan serupa.

Dalam hal ini, jumlah antara stok awal dan pasokan pengadaan juga bisa diperkirakan akan mampu bertahan berapa lama. Misalnya, stok awal beras yang dimiliki negara sebesar 8,7 juta metrik ton. Dengan jumlah konsumsi bulanan beras sebesar 2,9 juta metrik ton maka diperkirakan stok itu akan habis dalam jangka waktu 3 bulan ke depan.

Dalam hal ini, pasokan beras harus kembali tersedia selambat-lambatnya 3 bulan lagi atau stok akan tergerus habis. Permasalahannya adalah, apakah lead time pengadaan beras mampu dilakukan dalam kurun waktu tersebut?

Merujuk dari beberapa referensi, masa panen padi adalah sekitar 75-90 dari pasca proses tanam. Sehingga (seharusnya) ketika stok beras habis maka sudah bisa diamankan oleh pasokan baru hasil panen 3 bulan mendatang.

Apabila jumlah stok beras yang tadi diperkirakan mampu mencukupi kebutuhan 3 bulan ternyata ditarik maju penggunannya ke bulan pertama atau kedua, maka secara otomatis bulan ketiga akan mengalami kekosongan.

Situasi inilah yang kemungkinan terjadi pada kasus tingginya harga beras belakangan ini. Bansos yang ditarik maju dari jatah bulan-bulan mendatang ke masa sebelum pemilu dilakukan adalah langkah yang sama dengan menarik maju jatah alokasi beras untuk ketahanan stok di masa pasca pemilu.

Proses Berkelanjutan

Mengelola persediaan beras ataupun jenis barang-barang kebutuhan lainnya tidak bisa dikerjakan sambil lalu. Ia adalah proses yang berkelanjutan, karena aktivitas konsumsi terus berjalan setiap hari. Disisi lain, pasokan pengadaan adakalanya mengalami kendala satu dan lain hal.

Situasi ini mengharuskan adanya evaluasi secara berkala. Baik itu dari sisi jumlah stoknya, jumlah konsumsinya, hingga keadaan pasokannya.

Akan tetapi, yang paling awal dan paling penting diperhatikan adalah perihal akurasi data. Apakah jumlah stok beras memang sudah kondisi riil di lapangan atau terjadi bias yang cukup jauh. Begitupun dengan konsumsi beras juga mesti dievaluasi secara berkala.

Berkaitan dengan pasokan juga mesti memperhatikan berbagai faktor seperti kondisi lingkungan, kebijakan luar negeri terkait impor, dan sejenisnya.

Inventory control menghendaki kejelasan situasi bahkan kepastian untuk mendapatkan pengelolaan persediaan yang terbaik. Terbaik disini adalah tidak menumpuk stok berlebihan karena berisiko menurunkan kualitas barang, pun juga tidak sampai kekurangan barang yang menyebabkan kelangkaan dan berujung harga yang melambung.

Agar situasi tersebut bisa terwujud maka otoritas terkait perlu memastikan status dari para pemasok apakah mampu memenuhi target yang ditetapkan semisal harus memenuhi jumlah tertentu pada periode tertentu. Perlu adanya opsi alternatif agar di kemudian hari tidak sampai mempersalahkan satu dan lain hal karena kegagalan memenuhi pasokan.

Kalau saja kemarin pemerintah mengatur ulang pengadaan pasokan agar supaya siap lebih cepat dari estimasi waktu sebelumnya, barangkali masyarakat tidak akan mengalami kejadian seperti sekarang. Tapi dengan catatan lead time-nya mencukupi. Atau jangan-jangan aspek ini yang mereka abaikan. Buru-buru menggenjot penyaluran beras tapi lupa antisipasi kesiapan waktu pasokan berikutnya.

Entahlah.

Mmmhh… Lantas bagaimana kaitannya dengan inventory control dan harga beras melambung tinggi? Iya, inilah hukum ekonomi. Kelangkaan membuat harga melambung. Stok beras terbatas sedangkan permintaan tetap tinggi maka efeknya adalah harga turut menyesuaikan diri. Sayangnya, itu bukan makin murah tapi justru sebaliknya.

Jika sudah seperti ini lantas bagaimana? Berdoa saja biar situasi kembali normal? Rasa-rasanya ditengah situasi politik yang mulai menghangat sulit diharapkan keadaan segera kembali normal. Karena konsentrasi para pemilik otoritas masih terfokus di seputaran kekuasaan.

Memang kita cuma bisa berserah pada Tuhan, atau sekadar menguatkan diri untuk hanya mengonsumsi mie instan?

Maturnuwun.

Agil Septiyan Habib

NB : Artikel ini sudah dipublikasikan juga di kompasiana.com

Kapan Kita Bisa Menikmati Transportasi Umum Berkualitas?

Jujur saya iri dengan JakLinko. Transportasi umum terintegrasi yang diwujudkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tersebut tidak bisa dipungkiri menjadi iming-iming yang menarik bagi daerah lain agar turut  serta menjalankan program serupa. Khususnya untuk daerah-daerah yang bermasalah dengan akses transportasi.

Berkaitan dengan transportasi ini saya mengalami langsung bahwasanya ketiadaan sarana transportasi publik berkualitas nyatanya memang sangat mengganggu aktivitas.

Transportasi umum berkualitas sangat diperlukan masyarakat I lustrasi gambar : www.nuansapondokkelapa.com

Sebagai seorang yang merantau dari kampung halaman di daerah dekat pesisir, sebuah kawasan di Jawa Timur, hampir setiap tahun saya menyempatkan diri untuk mudik ke kampung halaman.

Biasanya saya mudik menggunakan bus menuju terminal bus terdekat di kampung halaman sana. Namun, perlu diketahui bahwa untuk ukuran terdekat itu jaraknya masih sekitar 40-an kilometer untuk sampai ke rumah di kampung.

Sekitar tahun 2000-an awal,  akses kesana sebenarnya masih terbilang mudah. Transportasi umum masih kerap wara-wiri melintas. Hanya saja situasi selama beberapa tahun terkahir ini sangat jauh berbeda.

Transportasi umum sangat langka. Penampakannya hanya terlihat sesekali saja di terminal. Kalaupun ada, biasanya penumpang harus menunggu cukup lama karena sopir angkutan masih berharap adanya penumpang tambahan.

Sebenarnya bisa saja angkutan tersebut lekas berangkat, namun si penumpang harus membayar mahal berkali lipat.

Mungkin membanjirnya kendaraan pribadi menjadi alasan mengapa transportasi umum disana menjadi sepi penumpang. Karena bagaimanapun aktivitas sehari-hari masyarakat lebih banyak mengandalkan kendaraan milik sendiri.

Masyarakat sekitar, khususnya yang dulu sering menggunakan angkutan umum, barangkali tidak merasa kehilangan ataupun kesulitan mendapati situasi tersebut. Akan tetapi, bagi kami yang tinggal di perantauan dan hendak menjenguk kampung halaman terpaksa harus mengahadapi kenyataan pahit. Sulit memperoleh akses transportasi yang memadai.

Menggunakan layanan ojek biayanya lumayan mahal. Bisa berkali lipat dibandingkan saat menggunakan angkutan umum. Minta dijemput kerabat pastilah merepotkan juga untuk jarak sejauh itu.

Sayangnya, situasi semacam ini sepertinya kurang menarik perhatian pemerintah setempat. Terlebih pemerintah pusat. Transportasi publik seakan bukan menjadi program prioritas. Padahal di negara-negara maju pastilah sarana transportasi publiknya berkualitas.

Kampung halaman saya memang bukan kota metropolitan, tapi apakah salah untuk mengharapkan punya sarana transportasi umum yang nyaman?

Belantara Transportasi Umum

Wajarlah kayak gitu, namanya juga daerah pinggiran.” Pernyataan seperti itu sepertinya berada di benak banyak orang. Pemakluman yang menjadikan kemajuan hanya dinikmati segelintir kawasan.

Oke, kita tidak perlu berdebat. Karena di sekitar tempat tinggal saya di wilayah Tangerang pun belum bisa dibilang kondisi angkutan umumnya memadai. Bahkan tidak ada transportasi umum yang melewati jalan raya di sekitar tempat tinggal saya.

Entah karena kebijakan pemerintah daerah setempat atau bisa jadi tuntutan dari tukang ojek pangkalan yang menginginkan wilayah khusus operasi guna mendapatkan penghasilan.

Tapi yang jelas semua sarana transportasi itu berjalan sendiri-sendiri. Semacam tidak ada koordinasi sama sekali. Belum lagi kebiasaan berhenti semena-mena di jalanan. Menunggu lama penumpang. Atau sembarangan menurunkan penumpang karena jarak lokasi tempuh masih jauh sedangkan kapastias kendaraan masih lengang.

Sungguh sangat-sangat tidak nyaman untuk mengendari angkutan dengan segala tantangan semacam itu.

Sikut-sikutan antar pemilik kendaraan yang berebut penumpang seringkali membuat macet jalanan. Transportasi umum kita dianggap seperti sekumpulan hewan liar di hutan belantara yang tidak jelas pengelolanya.

Terkadang saya bingung antara sedih atau tertawa saat berkendara di belakang angkutan umum kita. “Hati-hati berhenti mendadak. Karena hanya Tuhan dan sopir yang tahu kapan mobil ini berhenti.”. Sebuah gambaran ironi sebenarnya tatkala hal semacam itu terjadi. Sebuah bukti bahwa angkutan umum kita memang beroperasi tanpa arah dan tujuan yang jelas kecuali sekadar mengejar setoran.

Mimpi Transportasi Nyaman

Kapan kita bisa menikmati transportasi umum berkualitas? Barangkali pertanyaan itu timbul di benak kita. Memang, menggunakan kendaraan pribadi saat ini bisa dibilang lebih aman dan menenangkan. Setidaknya di daerah tempat saya tinggal.

Namun, penilaian tersebut karena perbandingannya adalah ketiadaan sarana transportasi umum yang berkualitas. Andaikan kondisi transportasi umum kita menyerupai JakLingko di Jakarta sana barangkali situasinya akan berbeda.

Saya tidak menyebut JakLingko sempurna, hanya saja mereka jauh lebih baik ketimbang kondisi transportasi umum kita kebanyakan.

Apakah presiden terpilih pada pemilu 2024 ini benar-benar memiliki visi untuk menghadirkan transportasi umum yang aman bagi masyrakatnya? Atau justru sudut pandang yang sama kembali dipakai untuk beberapa tahun mendatang?

Sayangnya, saya pesimis melihat situasi yang berkembang belakangan. Sepertinya kita masih harus bersabar untuk bisa merasakan transportasi umum berkelas untuk segenap wilayah di Indonesia. Karena belum terlihat tanda-tanda bahwasanya upaya itu akan dilakukan.

Mungkin kita harus terus merawat harapan kita agar terwujudnya hal itu. Semoga.

Maturnuwun.

Agil Septiyan Habib

NB : Artikel ini sudah dipublikasikan juga di kompasiana.com

“Ordal” di Industri Manufaktur dan Perencanaan Sumber Daya Sustainable

Pemandangan apik terlihat dari sebuah sungai penuh tumpukan sampah yang secara bertahap kondisinya berubah menjadi bersih dan benar-benar terbebas dari sampah. Dalam mode video dipercepat (fast motion), aksi sekelompok aktivis pecinta lingkungan sungaiwatch menyerbu dan membersihkan setiap jengkal sampah yang menutup permukaan air sungai seakan ingin mengatakan pada kita bahwa hanya dengan kesigapan dan gerak cepatlah maka problematika lingkungan dapat teratasi.

Industri manufaktur kertas melibatkan penggunaan sumber daya yang sangat besar | Sumber gambar : industri.kontan.co.id by Cheppy A. Muchlis

Gerakan bersih-bersih sungai sebagaimana dilakukan oleh sungaiwatch, atau gaya hidup zero waste yang dijalankan sebagian orang sepertinya perlu kita apresiasi karena telah memberi keteladanan akan arti penting lingkungan berkelanjutan bagi masyarakat luas.

Kesadaran sejenis juga turut menular ke publik. Misalnya, kebijakan meniadakan plastik untuk kantong belanja di minimarket, penggunaan air secara bijak, membuat bank sampah, hingga gerakan menghemat listrik rumah tangga.  

Meskipun beberapa tindakan tersebut tampak berkontribusi terhadap penciptaan kondisi lingkungan yang sustainable, tapi pada kenyataannya hal itu masih belum cukup.

Dibutuhkan lebih banyak lagi kesadaran dari masyarakat terhadap aksi pelestarian lingkungan ini, atau bisa jadi sebenarnya kita memerlukan tindakan yang sanggup menyasar langsung “pos-pos strategis” dimana sumber daya alam dikelola dan diberdayakan dalam jumlah besar di sana.

Nah, di era jejaring seperti sekarang, kita sebagai pribadi bisa dibilang lebih banyak berperan sebagai end user, atau ujung dari rantai pasokan dimana ada begitu banyak pihak terlibat namun terpisah-pisah satu dengan yang lain.

Sebesar-besarnya seorang konsumen yang mempergunakan jenis produk industri tertentu untuk kebutuhan rumah tangga, jumlahnya tidak akan bisa melampaui kemampuan sang produsen dalam menghasilkan produk tersebut.

Sederhananya begini, sumber daya yang dimiliki oleh industri manufaktur pastilah jauh lebih besar ketimbang kemampuan yang dimiliki setiap rumah tangga dalam mempergunakan produk dari industri tersebut.

Misalnya, pabrik mie instan bisa memproduksi jutaan bungkus mie instan setiap bulannya. Sementara itu kita selaku konsumen paling banyak hanya menghabiskan puluhan bungkus saja dalam kurun waktu yang sama.

 Sehingga akan jauh lebih powerful dampaknya manakala prinsip-prinsip sustainable tersebut diarahkan langsung kepada pengelolaan operasional dari industri manufaktur daripada sekadar tindakan parsial yang dilakukan secara perorangan di lingkup rumah tangga atau pada tataran end user  tersebut.

Andil Industri Manufaktur

Penggunaan sumber daya alam yang oleh industri pastilah jauh lebih besar dibanding kelas rumah tangga. Konsumsi air yang dipergunakan untuk skala industri tentu berlipat ganda. Demikian halnya dengan konsumsi listrik, pemakaian bahan baku, dan lain sebagainya.

Menilik kondisi tersebut maka hampir bisa dipastikan bahwa emisi yang dihasilkan oleh industri pun jauh melebihi kontribusi emisi rumah tangga kita.

Merujuk pada laporan Climate Transparancy yang dipublikasikan katadata[1] nih, emisi dari sektor industri pada tahun 2021 lalu berada pada posisi ketiga dengan kontribusi 23%. Atau hanya kalah dari sektor ketenagalistrikan (43%) dan transportasi (25%) saja.

Bahkan dari kedua sektor tersebut sebenarnya ada andil sektor industri juga, khususnya berkaitan dengan konsumsi listrik industri dan kegiatan transportasi menyangkut aktivitas rantai pasok industri.

Dengan kata lain, industri manufaktur memang memiliki peranan besar yang tidak boleh dikesampingkan demi upaya mewujudkan lingkungan sustainable. Yakni melalui tata kelola operasional industri manufaktur yang baik sehingga memberi dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap perbaikan lingkungan di sekitarnya.

Oleh karenanya, agar upaya tersebut bisa terlaksana maka kita membutuhkan peran orang dalam (ordal) untuk turut terlibat dalam gerakan atau aksi lingkungan ini.

Peran ‘Ordal’ di Industri Manufaktur

Sepuluh tahun lebih saya habiskan untuk menjalani karir sebagai pekerja di industri manufaktur. Sekitar 3,5 tahun saya bertugas sebagai inventory controller di perusahaan manufaktur kertas di Surabaya, dan selebihnya (sampai sekarang) saya jalani sebagai production planner di perusahaan manufaktur detergen di kawasan Tangerang.

Di dua perusahaan tersebut peran saya sebenarnya serupa. Inventory controller merupakan bagian dari fungsi production planner juga. Pada lingkungan industri peran ini biasanya masuk ke dalam divisi PPIC (Production Planning & Inventory Control).

Waktu sepuluh tahun yang saya untuk menjadi ordal di industri manufaktur ini membuat saya lebih memahami bahwa ada cukup banyak hal yang sekadar dpandang sebagai rutinitas dan prosedur formal namun sebenarnya memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan.

Ketika saya mulai bertugas sebagai inventory controller hampir sedekade lalu, salah satu tugas saya adalah melakukan pengondisian stok untuk “Pallet” kayu. Pallet kayu ini merupakan bahan pendukung untuk pengemasan produk di perusahaan kertas. Terbuat dari lembaran kayu yang dirakit sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk papan.

Contoh pallet kayu untuk pengemasan produk kertas duplex | Sumber gambar : sukamajumedan.web.indotrading.com

Jumlahnya bisa mencapai ratusan papan setiap bulannya. Dengan variasi ukuran yang beragam. Seiring jumlah permintaan produk yang sangat banyak dan bervariasi, terkadang ada produk ukuran tertentu yang tidak tersedia palletnya. Sehingga perlu melakukan pembelian. Di sisi lain, produksi terkadang tidak bisa ditunda sehingga pallet seadanya dipergunakan.

Tidak sinkronnya waktu antara kesanggupan vendor penyuplai pallet dengan kebutuhan pengiriman barang pada akhirnya melahirkan permasalahan baru dimana terdapat cukup banyak pallet yang nganggur, yang semakin menumpuk dan akhirnya berstatus slow moving atau death stock.

Bagi sebuah industri manufaktur, status slow moving atau death stock ini sangat dihindari karena hanya mengakibatkan berhentinya aliran modal. Apabila sampai hal itu terjadi maka sebenarnya ada modal yang mengendap. Uang yang tidak berputar.

Sehingga pada waktu itu saya membuat semacam rumusan perhitungan kombinasi ukuran yang paling mendekati untuk setiap kebutuhan produksi disandingkan dengan data stok pallet kayu slow moving / death stock yang tersedia di gudang. Misalnya, ketika ada produk yang membutuhkan pallet berukuran 80 x 120 cm, maka akan dilakukan search data stok dengan kombinasi ukuran +/- beberapa centimeter dari ukurang tersebut.

Biasanya saya membatasinya dengan ukuran sekitar 3 cm dari ukuran asli. Sehingga ada kombinasi ukuran pallet mulai dari (77 cm – 83 cm) x (117 – 123 cm) yang bisa dicari dari data stok yang tersimpan di gudang. Apabila dalam rentang toleransi 3 cm tersebut tidak ditemukan atau jumlah unitnya masih kurang, biasanya saya memberikan kelonggaran toleransi tambahan namun dengan melalui pertimbangan dengan tim di lapangan.

Alhamdulillah, berkat metode kombinasi ukuran pallet tersebut rencana pengadaan pallet baru kayu bisa ditekan seiring terjadi substitusi dengan stok yang tersedia di gudang. Dengan begitu maka kami bisa mengurasi pengadaan pallet kayu untuk setiap periodenya sehingga secara tidak langsung jumlah pohon yang ditebang pun bisa dikurangi.

Green Planning

Seorang production planner mampu memberikan pengaruh cukup besar dalam operasional sebuah industri. Saya mendapat kewenangan menginstruksikan sebuah produksi harus running atau berhenti. Tentu dalam beberapa kasus tertentu perlu konfirmasi dan persetujuan atasan.

Namun, input-an informasi selalu bermula dari saya selaku planner terkait urgensitas sebuah jadwal produksi.

Fungsi sebagai production planner  sekaligus sebagai inventory controller yang saya jalani di perusahaan manufaktur detergen saat ini memberi saya keleluasaan untuk melakukan pengaturan jadwal produksi.

Secara umum, pertimbangan dalam menyusun perencanaan produksi ini adalah deadline atau tenggat waktu pengiriman atas order yang masuk ke perusahaan. Namun, terlepas dari hal itu sebenarnya setiap perencaan produksi yang dibuat memiliki konsekuensi terhadap produktivitas dan efisiensi sumber daya yang tersedia. Hal itu bisa terkait dengan energi ataupun material penunjang proses.

Apabila perencanaan dibuat serampangan maka beberapa risiko seperti defect produk, overproduction, waiting,  inventory,  loss transportation, motion, dan overprocessing akan terjadi. Beberapa jenis pemborosan tersebut biasanya dikenal dengan istilah 7 (seven) waste didalam konsep lean manufacturing .

Suatu ketika, saya sudah membuat rencana produksi untuk running dua hari kedepan. Sedangkan untuk hari ketiga seharusnya akan saya review keesokan harinya. Akan tetapi, ternyata esoknya saya jatuh sakit sehingga tidak bisa melakukan review.

Akibatnya, terdapat lini produksi yang menganggur dan harus menunggu selama beberapa waktu karena peran tersebut harus saya wakilkan pengelolaannya.

Contoh perencanaan produksi detergen harian | Sumber gambar : dokpri

Padahal, mesin dalam kondisi stand by dan mengonsumsi listrik. Karena jikalau dimatikan risikonya lebih besar terkait waktu set up dan proses setting ulang. Sehingga, dengan keterlambatan perencaan produksi akan menimbulkan listrik terbuang percuma selama beberapa waktu.

Bayangkan jika hal ini terjadi berulang, maka pemborosanakan semakin besar.

Disamping itu, penyusunan jadwal produksi dengan frekuensi change over produk cukup tinggi juga akan meningkatkan potensi waste. Baik itu dari sisi waktu terbuang ataupun bertambahnya produk defect.

Meningkatnya pemborosan sama artinya dengan makin banyaknya sumber daya yang tersia-sia. Dalam hal inilah green planning menjadi sesuatu yang penting untuk mengefisiensikan sumber daya perusahaan.

Mekanisme Kontrol

Saya membuat alat bantu khusus dalam menjalankan mekanisme kontrol seluruh aspek perencanaan produksi dan pengendalian persediaan. Sebuah perencanaan produksi yang dibuat secara berkelanjutan untuk satu periode tertentu serta mekanisme evaluasi per jam, harian, dan seterusnya.

Contoh kontrol hasil produksi tiap shift | Sumber gambar : dokpri

Pergerakan stok barang dipantau secara rutin untuk melihat tren pemakaian. Setiap penyimpangan akan segera ditndaklanjuti sehingga pada penghujung waktu tetap terkendali.

Contoh kontrol persediaan material | Sumber gambar : dokpri

Beberapa perusahaan umumnya sudah mempergunakan pemrograman sistem berbasis ERP atau Enterprises Reasources Planning untuk mengakomodasi penyusunan rencana produksi. Tapi ada juga yang masih menggunakan cara semi manual dengan Ms. Excel.

Seiring mampu berjalannya peran PPIC secara optimal maka penggunaan sumber daya dalam tataran industri manufaktur akan lebih terkendali. Ketika langkah serupa juga dijalankan oleh perusahaan manufaktur lainnya maka hal itu akan memberi dampak signifikan terhadap upaya sustainable yang kita canangkan.

By the way, setidaknya itulah yang bisa saya lakukan sebagai orang dalam di industri manufaktur ini sekarang.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

NB : Artikel ini sudah dipublikasikan juga di platform kompasiana.com sebagai materi blog competition