Archives June 2024

Sinergi Pajak, Beasiswa, dan Pendidikan Gratis : Mewujudkan Akses Pendidikan untuk Semua

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 2 Tentang Hak Warga Negara menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Seiring ketentuan wajib belajar 12 tahun sebagaimana ditetapkan sejak 2015, maka kini setiap warga negara Indonesia (seharusnya) bisa merasakan pendidikan setidak-tidaknya hingga jenjang SMA secara gratis.

Beasiswa Memberikan Kesempatan Pendidikan Terjangkau | Ilustrasi gambar : ubl.ac.id

Akan tetapi, dalam praktiknya kita tahu bahwa situasinya masih belum ideal. Persentase tamatan sekolah di jenjang wajib belajar bahkan masih belum mencapai separuh jumlah penduduk kita. Menurut laporan Statistik Kesejahteraan Rakyat 2023 Badan Pusat Statistik (BPS), pemegang ijazah SMA di tahun lalu baru mencapai 30,22%, diikuti tamatan SD (24,62%), SMP (22,74%), lulusan perguruan tinggi (10,15%), tidak tamat SD (9,01%), dan yang tidak/belum sekolah (3,25%)[1].

Seandainya persentase pemegang ijazah pendidikan tinggi dan tamatan SMA digabungkan sekalipun, jumlahnya masih belum sampai 50%. Jika dibandingkan dengan negara Kanada yang pada tahun 2023 lalu 60% penduduknya berhasil menamatkan pendidikan tinggi, kita terlihat masih belum ada apa-apanya.

 Terkait hal ini, biaya pendidikan memang masih menjadi persoalan. Meskipun anggaran pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun, jumlahnya masih jauh dari cukup.

Pada tahun 2023, anggaran pendidikan Indonesia sebesar 612,2 triliun rupiah (+/- USD 40 miliar, kurs 15.000 rupiah per dollar), yang jika dibagi per kapita hanya sekitar USD 147. Bandingkan dengan Kanada, yang mana anggaran pendidikan negara tersebut kabarnya mencapai USD 51 miliar dengan jumlah penduduk 39 juta jiwa. Dengan demikian anggaran pendidikan per kapita Kanada mencapai USD 1.309 , atau hampir sembilan kali lipat anggaran pendidikan per kapita kita.

Dengan kondisi seperti ini, sulit mengharapkan pendidikan gratis akan dapat terealisasi di republik ini. Setidaknya dalam waktu dekat.

Meskipun situasinya tampak jauh sekali dari yang kita harapkan, program pendidikan gratis sebenarnya tetap berhasil direalisasikan hanya saja dalam lingkup terbatas melalui beasiswa.

Pemerintah memberikan berbagai beasiswa melalui kementerian dan lembaga, seperti Beasiswa Kemendikbudristek, Beasiswa Kemenag, hingga Beasiswa LPDP. Menurut Data BPS, pemberian beasiswa meningkat pesat dari 3,89% pada 2009 menjadi 20,14% pada 2021[2] . Jika tren ini terus berlanjut, maka akan semakin banyak warga Indonesia yang bisa menempuh pendidikan secara gratis atau dengan biaya ringan.

Pajak sebagai Sumber Dana Pendidikan

Pendanaan pendidikan, sangat bergantung pada penerimaan pajak. Menurut OCBC, 80% pendapatan negara diperoleh dari pajak. Mulai dari Pajak Penghasilan (PPH), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Bea dan Cukai, Pajak Bea Masuk dan Keluar, serta beberapa jenis pajak lainnya[3]. Ini berarti besaran beasiswa sangatlah dipengaruhi oleh penerimaan pajak.

Namun, sayangnya, penerimaan pajak di Indonesia masih belum maksimal. Salah satunya karena masih rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak[4]. Apabila kita menginginkan pendapatan yang lebih besar dari sektor pajak, maka tingkat kepatuhan inilah yang mesti diperbaiki.

Studi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkorelasi positif terhadap kepatuhan wajib pajak[5].  Ini menunjukkan bahwa meningkatkan pendidikan akan dapat membantu mengerek penerimaan negara dari pajak.

Siklus Positif antara Pajak dan Pendidikan

Pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar kesempatan kerja dan pendapatannya, yang pada akhirnya meningkatkan taraf ekonominya. Meski mungkin tidak bisa dipukul rata, akan tetapi orang-orang berpendidikan lebih baik umumnya akan berhasil menggapai kondisi ekonomi yang lebih baik pula dibanding mereka yang tidak atau kurang terdidik.

Misalnya, buruh kasar, kuli angkut, dan pekerja berat lainnya seringkali hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar. Jangankan untuk membeli rumah, sekadar untuk makan saja susah. Apalagi memikirkan bayar pajak ke negara.

Sementara itu, mereka yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki pekerjaan lebih baik dan pendapatan yang lebih tinggi. Seperti, pegawai negeri, karyawan kantoran, atau pemilik profesi lain dengan latar belakang pendidikan mumpuni.

Kelompok terdidik ini juga berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Setiap bulan mereka membayar Pajak Penghasilan (PPH) dari gaji. Ketika kondisi mereka semakin mapan, mereka membeli rumah yang setiap tahun harus dibayar PBB-nya. Ketika memiliki kendaraan, mereka membayar pajak kendaraannya. Bahkan saat berbelanja dan makan di restoran pun mereka dikenakan PPN.

Pajak yang diterima negara tersebut kemudian digunakan untuk menyokong pendidikan. Kemudian, pendidikan yang baik akan mendorong perbaikan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya akan menstimulus pendapatan negara melalui pajak, sehingga menciptakan siklus positif menuju kemajuan bangsa.

Sinergi antara pajak, beasiswa, dan pendidikan gratis sangat penting untuk meningkatkan akses pendidikan di Indonesia. Dengan meningkatkan penerimaan pajak dan alokasi anggaran yang lebih baik, diharapkan lebih banyak warga negara Indonesia dapat menikmati pendidikan berkualitas tanpa harus terbebani biaya tinggi.

Jadi, yuk lebih taat membayar pajak.!

Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib

Referensi:
[1] Data BPS 2023 – Tamatan Tingkat Pendidikan Warga Indonesia
[2] Data BPS 2022 – Penerima Beasiswa Berdasarkan Jenjang Pendidikan
[3] OCBC – Sumber Pendapatan Negara
[4] Pajakku – Alasan Rendahnya Penerimaan Pajak Indonesia
[5] Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi (JIMAT) Universitas Pendidikan Ganesha, “Pengaruh Tingkat Pendidikan, Kewajiban Moral dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor”, Vol: 11 No: 1 Tahun 2020, e-ISSN: 2614-1930

JNE 33 Tahun (Lagi) : Mengarungi Tantangan dengan Kreativitas

Emak, demikian saya memanggil Ibu mertua saya, sudah berjualan nasi uduk sejak lama. Yakni sekitar pertengahan tahun 90-an, atau pasca beliau memutuskan keluar dari profesi lamanya sebagai buruh pabrik.

Bertahun-tahun beliau jualan nasi uduk dengan beberapa kali pindah lokasi. Mulai di dekat perempatan jalan besar, sampai di pinggiran sekolahan. Baru pada tahun 2020 kemarin beliau menggelar lapak dagangan di depan rumah seiring dihentikannya kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah akibat pandemi Covid-19.

Lapak Jualan Nasi Uduk Emak di Depan Rumah | Sumber gambar : Dokumentasi Pribadi

Hampir sepanjang tahun beliau menjalankan aktivitas berjualan nasi uduk, kecuali saat momen Ramadan datang ketika beliau mengganti lapak dagangannya dengan berjualan bakso.

Itu beliau lakukan karena jumlah peminat nasi uduk selama bulan puasa sangat jauh berkurang dibanding hari-hari biasa.

Disisi lain, tuntutan memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan harian masih tetap ada. Apalagi ketika mendekati momen lebaran. Biaya hidup juga semakin tinggi. Belum lagi adanya “tuntutan” dari cucu-cucu kecil beliau yang setiap kali datang hampir selalu minta jajan tanpa kompromi.

Namun, pada momen Bulan Ramadan kemarin situasinya bisa dibilang tidak mudah. Jika pada tahun-tahun sebelumnya Emak hampir selalu mengantongi penghasilan diatas seratus ribu rupiah setiap malamnya dari berjualan bakso, Ramadan tahun ini beliau hanya memperoleh penghasilan paling banyak sekitar tiga puluh ribu rupiah saja.

Bahkan pernah beberapa hari tidak ada pembeli yang datang samasekali.

Mungkin inilah yang sering disebut dengan penurunan daya beli. Tapi itulah yang terjadi dan mesti Emak hadapi.

Emak Berjualan Bakso di Malam Bulan Ramadan | Sumber gambar : Dokumentasi Pribadi

Emak pun memutar otak untuk mencari jalur pemasukan lain. “Kebon” dekat rumah yang beliau tanami dengan beberapa jenis buah dan sayur seperti pisang, durian, dukuh, melinjo, nangka, hingga rambutan pun dipelototi.

Meskipun jumlahnya tidak seberapa, paling tidak, ketika tanaman itu berbuah akan bisa memberi sedikit sumbangsih penghasilan.

Kebetulan, waktu itu buah dukuh dan rambutan Emak sedang berbuah. Bapak dan adik ipar laki-laki saya bertugas mengunduh buah dukuh dan rambutan dari pohon. Sementara saya dan istri membantu memasarkannya. Alhamdulillah, hasilnya cukup bisa menggantikan penghasilan dari jualan bakso yang sedang sepi.

Buah Dukuh dan Rambutan Siap untuk Dipasarkan | Sumber gambar : Dokumentasi Pribadi

Barangkali situasinya akan sangat berbeda manakala Emak tidak berupaya adaptif dan fleksibel menghadapi perubahan yang tidak disangka-sangka itu. Terlepas dari adanya dampak pandemi, pengaruh situasi ekonomi, ataupun yang lainnya, tetap saja perlu keuletan agar bisa bertahan melalui situasi semacam itu.

Teresa Amabile, seorang akademisi asal Amerika Serikat pencetus model Componential of Creativity, menyebutkan bahwa kemampuan individu untuk beradaptasi dan fleksibel dalam menghadapi tantangan serta situasi yang berubah-ubah merupakan bentuk kreativitas.

Kreativitas diperlukan untuk mengarungi tantangan dan masa-masa sulit. Juga untuk mencari celah kesempatan dari setiap dinamika perubahan zaman.

Seperti halnya Emak, faktor kreativitas ini jugalah yang menjadi kekuatan utama JNE dalam mengarungi tantangan dari masa ke masa sehingga bisa bertahan 33 tahun lamanya semenjak didirikan oleh Bapak Soeprapto Suparno pada 26 November 1990 silam.

Pembuktian Kreativitas JNE

Ujian merupakan bagian dari kehidupan. Siapapun pasti akan mengalaminya. Cuma, yang membedakan adalah jenis ujian tersebut dan bagaimana kita meresponnya.

Sama halnya dengan dinamika ujian hidup yang dialami oleh Emak, JNE pun menghadapi situasi serupa. Meski tentu dalam konteks yang berbeda.

Eksistensi JNE semenjak didirikan 33 tahun lalu pastilah bukan tanpa hambatan samasekali. Ada lika-liku zaman yang menguji seberapa kuat tekad organisasi tersebut untuk bertahan serta bangkit dari keterpurukan.

Apalagi kita semua tahu bahwa semenjak awal tahun 90-an, saat JNE didirikan, sampai dengan tahun 2024 ini telah terjadi setidaknya tiga peristiwa besar yang sangat menguji ketangguhan para pelaku bisnis. Mulai dari krisis moneter (krismon) 1998, krisis ekonomi global 2008, hingga pandemi Covid-19 tahun 2020.

Namun, justru pada momen-momen krusial itulah segenap elemen JNE berhasil mencapai milestone mengesankan yang sangat menentukan eksistensi organisasi tersebut sampai sekarang.

Misalnya,  layanan JNE YES (Yakin Esok Sampai) yang diperkenalkan pada sekitaran tahun 1999 atau tidak berselang lama pasca masa krismon 1998 terjadi.

Begitupun dengan tahun 2008 saat krisis ekonomi global melanda. JNE malah meluncurkan aplikasi mobile pertamanya, yang ditujukan untuk memberi kemudahan layanan kepada para pelanggan melalui perangkat mobile mereka.

Bisa dibilang, peluncuran aplikasi tersebut merupakan langkah revolusioner seiring era digital yang kala itu baru memasuki fase-fase awal perkembangannya di Indonesia. Menjadi pioner dari sebuah era baru tentu bukan pencapaian sembarangan.

Demikian halnya ketika pandemi Covid-19 melanda. JNE bergegas melakukan transformasi digital demi memperkuat pelayananannya ke publik. Kemunculan JNE cashless menjadi jawaban atas kebutuhan transaksi non tunai yang makin meningkat seiring adanya kebutuhan transaksi lebih cepat dan aman semasa pendemi.

Kerja sama JNE dan Lazada Hadirkan Layanan Cashless untuk Menjawab Tantangan Pasca Pandemi| Sumber gambar : industri.kontan.co.id

Beberapa upaya mengarungi periode krisis besar tersebut bisa dibilang berhasil. Buktinya, JNE bisa terus eksis hingga kini. Membuatnya bertahan hingga 33 tahun lamanya. Hal ini sekaligus merupakan pembuktian kreativitas JNE bahwasanya mereka sanggup menghadapi segala bentuk tantangan yang datang.

Akan tetapi, harus diingat bahwa tantangan besar berikutnya masih menanti. Masa depan lebih banyak menyisakan ketidakpastian dan misteri. Entah akan ada krisis macam apa lagi suatu hari nanti. Hanya sebatas prediksi samar tentang masa depanlah yang bisa kita amati dan cermati.

Meskipun begitu, sepertinya JNE tidak akan mau ketinggalan start. Apalagi kini sudah semakin mengemuka perihal pemanfaatan Artificial Intelligence (AI), Internet of Thing (IoT), teknologi drone, dan lain sebagainya untuk bisnis. Khususnya di bidang logistik dan pengiriman.

Belum lagi menggalaknya isu-isu kepedulian lingkungan, sustainability, green economy, dan sejenisnya dalam pengelolaan sebuah industri.

Era baru sudah menjelang di depan mata. Pertanyaannya sekarang, siapa yang sudah siap untuk menyambutnya?

3 Visi 3 Teknologi

Semua bidang industri akan senantiasa dituntut kreatif menangkap peluang yang ditawarkan zaman. Perkembangan teknologi adalah salah satu hal yang mesti diberdayakan dengan tepat dan bijak agar mampu bersaing mengikuti perubahan.

Dalam hal ini, setidaknya ada tiga hal penting yang bisa kita pandang sebagai cikal bakal masa depan dari dunia logsitik dan pengiriman.

1- Green Economy dan Kendaraan Listrik

    Hampir semua orang tahu bahwa kondisi bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Seruan peduli lingkungan sudah menjadi sesuatu yang masif dilakukan. Bahkan beberapa pihak tidak segan memberlakukan sanksi tegas manakala ada pihak lain yang dinilai abai terhadap hal ini.

    Wacana tentang ekonomi sirkular, green economy atau praktik ekonomi yang berbasis pada upaya penyelamatan lingkungan semakin menjadi landasan perkembangan industri ke depan. Beberapa perjanjian bahkan sudah disepakati.

    Praktik bisnis ramah lingkungan akan menjadi pilihan utama. Kendaraan listrik yang meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil akan dipandang sebagai solusi.

    Para pelaku industri logistik seperti JNE tentu harus menyadari hal ini serta menangkap peluang didalamnya. Misalnya dengan menawarkan layanan pengiriman khusus “paket hijau” kepada konsumen untuk mengajak serta masyarakat menyelamatkan lingkungan.

    2- Layanan 24 Jam Pengiriman dan Kendaraan Pintar

    Era digital memungkinkan terpangkasnya batasan ruang dan waktu, sehingga interaksi bisa dilakukan 24 jam penuh. Dalam industri logistik dan pengiriman, pada umumnya aktivitas pengiriman hanya dilakukan pada jam-jam kerja saja. Atau mungkin sedikit diatas jam kerja yang berlaku karena keterbatasan tenaga manusia tidak bisa diforsir bekerja 24 jam penuh.

    Kalaupun memberlakukan sistem kerja shift tentu ada biaya tambahan yang harus ditanggung. Sementara itu semakin kesini kebutuhan kita cenderung tidak mengenal waktu.

    Kehadiran teknologi cerdas seperti AI, IoT, dan Internet berkecepatan tinggi semakin memungkinkan hadirnya kendaraan swakemudi (smart vehicle) yang tidak membutuhkan kendali dari manusia.

    Dengan adanya teknologi pintar tersebut maka tidak menutup kemungkinan aktivitas logistik dan pengiriman bisa dilakukan 24 jam tanpa henti. Meski mungkin untuk saat ini regulasinya belum siap, tetapi siapa tahu dalam beberapa tahun ke depan hal itu bisa terjadi.

    Sepuluh tahun lagi mungkin ? Atau 33 tahun lagi?

    3- Full Connected dan Drone Last-Mile

    Negara Indonesia diberkahi dengan wilayah yang unik dengan ribuan kepulauan dan juga pegunungan serta perbukitan. Disatu sisi, hal itu membuat negeri kita terlihat indah. Namun, disisi lain kondisi tersebut sebenarnya mengahdirkan tantangan yang tidak mudah.

    Khususnya ketika mengirimkan barang menuju tempat-tempat yang sukar dijangkau oleh transportasi konvensional pada umumnya.

    Akan tetapi, perkembangan teknologi drone yang semakin pesat seharusnya bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Semua tempat akan lebih mungkin dijangkau dengan lebih mudah berkat teknologi itu.

    Drone memungkinkan kita menjangkau area-area sulit sehingga meningkatkan kecepatan waktu pengiriman. Disamping itu, drone cenderung lebih ramah lingkungan karena umumnya sudah memberdayakan energi matahari sebagai sumber tenaganya.

    Memang masih ada hambatan mengenai beberapa hal seperti regulasi, keterbatasan muatan, atau biaya investasi yang cukup mahal. Hanya saja seiring berjalannya waktu sepertinya kendala tersebut akan teratasi.

    Penggunaan Drone untuk Pengiriman ke Wilayah Sulit Dijangkau | Sumber gambar : Freepik.com / user6702323 / futuramo.com

    JNE sebagai pemain utama dalam industri logistik dan pengiriman pasti melihat dan menyadari situasi ini. Terlebih di usianya yang sudah 33 tahun tentu ada kematangan dalam melihat masa depan.

    Kreativitas yang dimiliki JNE sudah teruji selama ini. Dan hal itu mesti dibuktikan kembali agar JNE tetap eksis (setidaknya) dalam waktu 33 tahun lagi.

    Dirgahayu JNE.

    #JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya

    Maturnuwun,

    Agil Septiyan Habib