Kita mungkin belum sepenuhnya menyadari, tetapi Artificial Intelligence (AI) telah menyusup ke hampir semua aspek kehidupan kita, termasuk bagaimana kita berinteraksi di media sosial (medsos). Platform seperti TikTok, Facebook, hingga Twitter (baca: X) sekarang telah menggunakan AI untuk membuat pengalaman penggunanya menjadi lebih personal dan menyenangkan. Namun, apakah ini benar-benar memberi keuntungan, atau justru mempersempit cara kita berpikir dan berinteraksi?
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita memulainya dengan sedikit konteks. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan algoritma berbasis AI di media sosial telah meroket tajam. Algoritma telah secara otomatis belajar dari perilaku pengguna, memilihkan konten yang relevan, dan menyesuaikannya dengan preferensi individu. Inilah keajaiban di balik ‘For You Page‘ TikTok atau rekomendasi ‘Teman yang Mungkin Anda Kenal‘ di Facebook.
Tanpa kita sadari, AI telah menciptakan ‘gelembung’ personal yang memfilter konten yang kita lihat dan interaksi yang kita lakukan. Terdengar canggih, bukan? Tetapi, apakah hal ini benar-benar membawa kita lebih dekat atau justru menjauhkan kita dari keanekaragaman perspektif?
Dalam artikel Applications of Artificial Intelligence on Social Media yang dipublikasikan oleh Applied Sciences Journal, disana dibahas perihal bagaimana AI mengubah cara konten direkomendasikan dan dikonsumsi. Bukan hanya mengenai hiburan, tetapi juga bagaimana interaksi sosial dibentuk.
TikTok, misalnya, menggunakan algoritma AI untuk menganalisis perilaku pengguna dan menyesuaikan konten berdasarkan preferensi mereka. Di satu sisi, ini membuat pengalaman kita lebih kaya dan personal. Namun, di sisi lain, algoritma tersebut bisa mempersempit pandangan kita terhadap dunia luar.
Lantas seperti apa dampaknya terhadap pemikiran kritis kita? Apakah kita akan kehilangan kemampuan untuk mengeksplorasi ide-ide baru yang berada di luar preferensi yang sudah ‘dikurasi’ untuk diri kita?
AI dan Algoritma Mengubah Media Sosial Menjadi Cermin Diri
Ketika algoritma di balik layar bekerja, kita seringkali hanya menikmati hasilnya tanpa banyak bertanya. Namun, bagaimana sebenarnya algoritma ini memengaruhi kita secara mendalam? Salah satu efek yang secara tidak langsung kita sadari adalah bahwa algoritma ini sebenarnya sedang mencerminkan diri kita sendiri. Apa yang kita sukai, klik, dan tonton di media sosial semakin mempertegas siapa kita, bukan siapa yang kita bisa menjadi.
Algoritma AI di media sosial, seperti yang dibahas dalam penelitian AI-Driven Information Systems for Social Media di jurnal IJSCIA, menciptakan “lingkaran umpan balik” yang kuat. Sistem ini terus belajar dari perilaku kita dan semakin menyesuaikan konten yang disajikan. Akibatnya, kita secara tidak langsung membentuk ulang diri kita sendiri melalui konten yang kita konsumsi. Bayangkan algoritma ini seperti cermin yang hanya menunjukkan kepada kita versi diri kita yang kita harapkan untuk dilihat—dan bukan realitas yang lebih luas dan kompleks.
Dampaknya memang tidak sepenuhnya negatif. Dalam beberapa kasus, algoritma ini dapat meningkatkan keterlibatan pengguna dalam pemasaran digital. Strategi berbasis AI memungkinkan pengiklan untuk lebih efektif menargetkan audiens yang relevan, meningkatkan konversi, dan menciptakan hubungan yang lebih personal dengan pelanggan. Tapi tentu saja, ada batasannya. Bagaimana jika semua konten yang kita lihat hanya memperkuat keyakinan dan sudut pandang kita sendiri, tanpa pernah memberi ruang bagi pertentangan atau pemikiran kritis?
Media Sosial sebagai Jembatan atau Dinding?
Pertanyaan besar lainnya adalah, apakah media sosial dengan bantuan AI berfungsi sebagai jembatan untuk menyatukan orang atau justru menjadi dinding yang memisahkan kita semua?
Algoritma yang memprioritaskan konten yang ‘sesuai’ dengan preferensi kita cenderung membuat kita terjebak dalam ruang gema. Ruang gema ini mengarahkan kita untuk melihat lebih banyak konten yang setuju dengan pandangan kita, mempersempit kesempatan kita untuk menemukan ide-ide yang berbeda. This is the post-truth era.
Seorang pengamat media sosial, Ethan Zuckerman, pernah berkata, “What algorithms can do is bring us together based on our preferences, but what they can’t do is foster serendipity or true diversity of thought.” (Algoritma dapat menyatukan kita berdasarkan preferensi, tetapi mereka tidak bisa memupuk kebetulan atau keberagaman pemikiran yang sejati). Apakah kita akan kehilangan kemampuan untuk terbuka terhadap hal-hal baru hanya karena media sosial kita telah dikurasi sedemikian rupa?
Di balik ini semua, media sosial yang seharusnya menjadi alat untuk menjembatani perbedaan seringkali justru memperkuat sekat-sekat. Kita cenderung lebih suka ‘berteman’ dengan orang yang sejalan dengan kita dan mengabaikan perspektif lain. Hal ini tentu menjadi dilema besar di era digital ini, di mana AI mengambil peran lebih besar dalam menentukan apa yang kita lihat dan dengan siapa kita berserikat.
AI, Alat atau Ancaman?
Jadi, apakah AI di media sosial adalah alat yang bermanfaat atau ancaman bagi kebebasan berpikir kita? Pada kenyataannya, jawabannya tidak hitam putih. AI memberi kita kemudahan dan efisiensi dalam menggunakan media sosial, tetapi pada saat yang sama, kita harus sadar bahwa ada harga yang harus dibayar. Satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa AI di media sosial bukan sekadar alat yang pasif; ia memiliki potensi untuk membentuk kembali cara kita berpikir dan berinteraksi dengan dunia.
Seperti halnya semua teknologi, kuncinya ada pada bagaimana kita menggunakannya. Algoritma AI dapat dimanfaatkan untuk memperluas wawasan kita, tetapi kita juga harus aktif mencari variasi dan perspektif yang lebih luas di luar apa yang ‘ditawarkan’ oleh algoritma tersebut. Inilah tantangan terbesar kita: menggunakan AI untuk memberdayakan diri, bukan mengandalkannya secara buta.
Mengatasi Bias Algoritma dengan Kesadaran Diri
Salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan kesadaran diri saat menggunakan media sosial. Setiap kali kita melihat konten, kita bisa bertanya: Apakah ini benar-benar sesuatu yang saya minati atau hanya karena algoritma mengira saya suka? Kesadaran ini adalah langkah pertama untuk keluar dari ‘gelembung filter’ yang diciptakan oleh AI.
Menariknya, AI sendiri terus berkembang. Di masa depan, kita bisa membayangkan adanya AI yang lebih etis dan lebih inklusif, yang tidak hanya menyesuaikan konten berdasarkan preferensi kita, tetapi juga memperkenalkan kita pada ide-ide baru yang menantang pemikiran kita. Tetapi ini hanya akan terjadi jika ada keinginan kolektif dari pengguna dan platform untuk mendorong inovasi tersebut.
Dalam dunia media sosial yang semakin didominasi oleh AI, kita dihadapkan pada dua pilihan: membiarkan diri kita dikendalikan oleh algoritma atau menggunakannya untuk memperluas wawasan dan memberdayakan diri kita. AI telah mengubah cara kita bermedia sosial, tetapi keputusan akhir tetaplah berada di tangan kita.
Jadi, mau pilih mana?
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib