Archives September 2024

Apakah AI Telah Mengubah Cara Kita Bermedia Sosial?

Kita mungkin belum sepenuhnya menyadari, tetapi Artificial Intelligence (AI) telah menyusup ke hampir semua aspek kehidupan kita, termasuk bagaimana kita berinteraksi di media sosial (medsos). Platform seperti TikTok, Facebook, hingga Twitter (baca: X) sekarang telah menggunakan AI untuk membuat pengalaman penggunanya menjadi lebih personal dan menyenangkan. Namun, apakah ini benar-benar memberi keuntungan, atau justru mempersempit cara kita berpikir dan berinteraksi?

Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita memulainya dengan sedikit konteks. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan algoritma berbasis AI di media sosial telah meroket tajam. Algoritma telah secara otomatis belajar dari perilaku pengguna, memilihkan konten yang relevan, dan menyesuaikannya dengan preferensi individu. Inilah keajaiban di balik ‘For You Page‘ TikTok atau rekomendasi ‘Teman yang Mungkin Anda Kenal‘ di Facebook.

Tanpa kita sadari, AI telah menciptakan ‘gelembung’ personal yang memfilter konten yang kita lihat dan interaksi yang kita lakukan. Terdengar canggih, bukan? Tetapi, apakah hal ini benar-benar membawa kita lebih dekat atau justru menjauhkan kita dari keanekaragaman perspektif?

Dalam artikel Applications of Artificial Intelligence on Social Media yang dipublikasikan oleh Applied Sciences Journal, disana dibahas perihal bagaimana AI mengubah cara konten direkomendasikan dan dikonsumsi. Bukan hanya mengenai hiburan, tetapi juga bagaimana interaksi sosial dibentuk.

TikTok, misalnya, menggunakan algoritma AI untuk menganalisis perilaku pengguna dan menyesuaikan konten berdasarkan preferensi mereka. Di satu sisi, ini membuat pengalaman kita lebih kaya dan personal. Namun, di sisi lain, algoritma tersebut bisa mempersempit pandangan kita terhadap dunia luar.

Lantas seperti apa dampaknya terhadap pemikiran kritis kita? Apakah kita akan kehilangan kemampuan untuk mengeksplorasi ide-ide baru yang berada di luar preferensi yang sudah ‘dikurasi’ untuk diri kita?

AI dan Algoritma Mengubah Media Sosial Menjadi Cermin Diri

Ketika algoritma di balik layar bekerja, kita seringkali hanya menikmati hasilnya tanpa banyak bertanya. Namun, bagaimana sebenarnya algoritma ini memengaruhi kita secara mendalam? Salah satu efek yang secara tidak langsung kita sadari adalah bahwa algoritma ini sebenarnya sedang mencerminkan diri kita sendiri. Apa yang kita sukai, klik, dan tonton di media sosial semakin mempertegas siapa kita, bukan siapa yang kita bisa menjadi.

Algoritma AI di media sosial, seperti yang dibahas dalam penelitian AI-Driven Information Systems for Social Media di jurnal IJSCIA, menciptakan “lingkaran umpan balik” yang kuat. Sistem ini terus belajar dari perilaku kita dan semakin menyesuaikan konten yang disajikan. Akibatnya, kita secara tidak langsung membentuk ulang diri kita sendiri melalui konten yang kita konsumsi. Bayangkan algoritma ini seperti cermin yang hanya menunjukkan kepada kita versi diri kita yang kita harapkan untuk dilihat—dan bukan realitas yang lebih luas dan kompleks.

Dampaknya memang tidak sepenuhnya negatif. Dalam beberapa kasus, algoritma ini dapat meningkatkan keterlibatan pengguna dalam pemasaran digital. Strategi berbasis AI memungkinkan pengiklan untuk lebih efektif menargetkan audiens yang relevan, meningkatkan konversi, dan menciptakan hubungan yang lebih personal dengan pelanggan. Tapi tentu saja, ada batasannya. Bagaimana jika semua konten yang kita lihat hanya memperkuat keyakinan dan sudut pandang kita sendiri, tanpa pernah memberi ruang bagi pertentangan atau pemikiran kritis?

Algoritma AI bekerja di balik layar media sosial, menampilkan bagaimana konten dikurasi secara otomatis sesuai preferensi pengguna | Ilustrasi gambar: freepik.com /freepik

Media Sosial sebagai Jembatan atau Dinding?

Pertanyaan besar lainnya adalah, apakah media sosial dengan bantuan AI berfungsi sebagai jembatan untuk menyatukan orang atau justru menjadi dinding yang memisahkan kita semua?

Algoritma yang memprioritaskan konten yang ‘sesuai’ dengan preferensi kita cenderung membuat kita terjebak dalam ruang gema. Ruang gema ini mengarahkan kita untuk melihat lebih banyak konten yang setuju dengan pandangan kita, mempersempit kesempatan kita untuk menemukan ide-ide yang berbeda. This is the post-truth era.

Seorang pengamat media sosial, Ethan Zuckerman, pernah berkata, “What algorithms can do is bring us together based on our preferences, but what they can’t do is foster serendipity or true diversity of thought.” (Algoritma dapat menyatukan kita berdasarkan preferensi, tetapi mereka tidak bisa memupuk kebetulan atau keberagaman pemikiran yang sejati). Apakah kita akan kehilangan kemampuan untuk terbuka terhadap hal-hal baru hanya karena media sosial kita telah dikurasi sedemikian rupa?

Di balik ini semua, media sosial yang seharusnya menjadi alat untuk menjembatani perbedaan seringkali justru memperkuat sekat-sekat. Kita cenderung lebih suka ‘berteman’ dengan orang yang sejalan dengan kita dan mengabaikan perspektif lain. Hal ini tentu menjadi dilema besar di era digital ini, di mana AI mengambil peran lebih besar dalam menentukan apa yang kita lihat dan dengan siapa kita berserikat.

Ruang gema di media sosial, menyoroti bagaimana konten yang disaring oleh algoritma dapat mempersempit perspektif kita | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

AI, Alat atau Ancaman?

Jadi, apakah AI di media sosial adalah alat yang bermanfaat atau ancaman bagi kebebasan berpikir kita? Pada kenyataannya, jawabannya tidak hitam putih. AI memberi kita kemudahan dan efisiensi dalam menggunakan media sosial, tetapi pada saat yang sama, kita harus sadar bahwa ada harga yang harus dibayar. Satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa AI di media sosial bukan sekadar alat yang pasif; ia memiliki potensi untuk membentuk kembali cara kita berpikir dan berinteraksi dengan dunia.

Seperti halnya semua teknologi, kuncinya ada pada bagaimana kita menggunakannya. Algoritma AI dapat dimanfaatkan untuk memperluas wawasan kita, tetapi kita juga harus aktif mencari variasi dan perspektif yang lebih luas di luar apa yang ‘ditawarkan’ oleh algoritma tersebut. Inilah tantangan terbesar kita: menggunakan AI untuk memberdayakan diri, bukan mengandalkannya secara buta.

Kontras antara manusia dan AI, menyoroti potensi AI sebagai alat yang dapat memberdayakan atau melemahkan kita | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Mengatasi Bias Algoritma dengan Kesadaran Diri

Salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan kesadaran diri saat menggunakan media sosial. Setiap kali kita melihat konten, kita bisa bertanya: Apakah ini benar-benar sesuatu yang saya minati atau hanya karena algoritma mengira saya suka? Kesadaran ini adalah langkah pertama untuk keluar dari ‘gelembung filter’ yang diciptakan oleh AI.

Menariknya, AI sendiri terus berkembang. Di masa depan, kita bisa membayangkan adanya AI yang lebih etis dan lebih inklusif, yang tidak hanya menyesuaikan konten berdasarkan preferensi kita, tetapi juga memperkenalkan kita pada ide-ide baru yang menantang pemikiran kita. Tetapi ini hanya akan terjadi jika ada keinginan kolektif dari pengguna dan platform untuk mendorong inovasi tersebut.

Dalam dunia media sosial yang semakin didominasi oleh AI, kita dihadapkan pada dua pilihan: membiarkan diri kita dikendalikan oleh algoritma atau menggunakannya untuk memperluas wawasan dan memberdayakan diri kita. AI telah mengubah cara kita bermedia sosial, tetapi keputusan akhir tetaplah berada di tangan kita.

Jadi, mau pilih mana?

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

Siapa yang Lebih Kuat dalam Mengatasi Stres, Logika atau Emosi ?

Setiap kali kita merasa stres, ada dua suara dalam kepala kita. Satu berkata, “Tenang, kamu bisa mengatasi ini.” Ini adalah logika yang berbicara. Di sisi lain, ada suara kedua yang berteriak, “Aduh! Gimana nih? Semuanya berantakan!” Nah, itulah si emosi.

Konflik antara logika dan emosi ini terjadi setiap hari, terutama saat menghadapi tekanan seperti deadline yang mendesak, pertengkaran dengan orang terdekat, atau situasi mendadak yang bikin terdesak.

Menurut Daniel Kahneman, seorang ahli psikologi peraih Nobel, otak manusia mempunyai dua “mode” pemrosesan informasi yang disebut dual-process theory. Mode pertama disebut “sistem 1”, yang cepat dan otomatis, beroperasi dengan emosi dan insting. Di sisi lain, ada mode kedua yang disebut “sistem 2”, yang lebih lambat dan penuh perhitungan, bekerja dengan logika dan analisis mendalam.

Saat stres datang, biasanya Sistem 1-lah yang langsung aktif lebih dulu, membuat kita bereaksi tanpa berpikir panjang. Ibaratnya, ketika kamu melihat cicilan kartu kredit sudah jatuh tempo, Sistem 1 mungkin bilang, “Aduh, aku bangkrut!” Padahal, kalau Sistem 2 diberi waktu untuk berpikir, jawabannya mungkin lebih kalem: “Oke, ayo atur ulang keuangan.”

Tapi, meski seringkali dianggap bertolak belakang, logika dan emosi sebenarnya bisa bekerja sama. Bagaimana caranya? Disini kita akan mengupas tuntas sinergi antara keduanya dengan pendekatan ilmiah dari teori dual-process. Jadi, siap-siap menemukan cara unik mengatasi stres yang nggak cuma rasional, tapi juga bisa bikin hati lebih tenang.

Emosi, Si Reaksi Kilat yang Kadang Berlebihan

Ketika berhadapan dengan situasi mendadak—misalnya ketika atasan tiba-tiba minta laporan dalam waktu satu jam—Sistem 1 akan langsung aktif. Tanpa berpikir panjang, tubuh kita bereaksi dengan lonjakan adrenalin: jantung berdetak lebih kencang, napas semakin cepat, dan tangan mungkin mulai berkeringat. Ini adalah bentuk reaksi emosional, yang bisa membantu kita bertindak cepat dalam situasi darurat.

Di zaman purba, reaksi cepat seperti ini sangat berguna ketika manusia menghadapi ancaman nyata, seperti predator atau musuh. Sistem 1 memacu kita untuk lari atau melawan. Namun, di zaman modern, ancaman seperti ini berubah bentuk menjadi hal-hal seperti email urgent atau pesan dari bos di luar jam kerja. Meski situasinya tidak terlalu mengancam secara fisik, otak kita tetap bereaksi seperti sedang dikejar singa. Ini yang membuat emosi seringkali terpicu stres berlebihan.

Sistem 1: Reaksi cepat tak selalu tepat. Kadang email saja bikin deg-degan seperti ketemu singa! | Ilustrasi gambar : creativemarket.com

Uniknya, dalam beberapa situasi, emosi ini bisa memberi keuntungan juga. Ketika dihadapkan pada keputusan cepat, Sistem 1 membantu kita untuk langsung bertindak tanpa harus menganalisis terlalu lama. Tapi, karena cepatnya proses ini, sering kali kita terlalu bergantung pada emosi. Hasilnya? Keputusan yang impulsif, seperti membalas email marah dari klien tanpa berpikir dua kali.

Logika, Si Pemikir Lamban yang Bikin Hidup Lebih Tenang

Setelah Sistem 1 bereaksi, biasanya Sistem 2 muncul sebagai “si penyelamat”. Saat situasi sedikit tenang, otak kita mulai bekerja lebih logis. Sistem 2 meminta kita untuk berhenti sejenak dan menganalisis keadaan: “Apakah email tadi benar-benar mendesak?” atau “Apakah perlu langsung panik hanya karena satu pesan dari atasan?

Kelebihan Sistem 2 adalah kemampuan berpikir jangka panjang. Di saat Sistem 1 cenderung hanya memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah dalam waktu singkat, Sistem 2 memberi ruang bagi kita untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan solusi. Ini seperti perbedaan antara lari marathon dan sprint—yang satu lebih membutuhkan ketahanan dan strategi, yang lain fokus pada kecepatan.

Namun, jangan salah. Sistem 2 juga bisa bikin kita stres kalau terlalu lama berpikir. Pernah merasa overthinking? Itu karena Sistem 2 mengambil alih terlalu lama, menganalisis setiap detil sampai akhirnya kita bingung sendiri. Misalnya ketika mendebat diri sendiri tentang apakah harus makan malam jam 6 atau 6:15. Di sinilah dibutuhkan keseimbangan antara emosi dan logika. Jangan biarkan satu sistem bekerja terlalu lama tanpa melibatkan yang lain.

Sinergi Emosi dan Logika: Kuncinya Bukan Salah Satu, Tapi Keduanya

Bayangkan kalau kamu bisa memanfaatkan kecepatan emosi sekaligus kejernihan logika. Ini mungkin terdengar sulit, tapi sebenarnya dengan latihan, kamu bisa melatih otak untuk lebih sering menggunakan kedua sistem tersebut secara bersamaan.

Ketika Sistem 2 mulai bekerja, stres lebih mudah dikelola. | Ilustrasi gambar : scientificamerican.com

Sebagai contoh, ketika dihadapkan dengan situasi yang menegangkan, alih-alih langsung bereaksi secara emosional, kamu bisa melatih diri untuk berhenti sejenak dan mengaktifkan Sistem 2. Misalnya, saat membaca pesan WhatsApp dari pasangan yang bilang, “Kita harus bicara,” emosi mungkin langsung menyuruhmu panik. Tapi, jika kamu mencoba menenangkan diri dan berpikir secara logis, kamu bisa menyadari bahwa “kita harus bicara” mungkin saja artinya hal positif.

Stres sebenarnya adalah sinyal dari tubuh bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan. Emosi adalah alarm, sedangkan logika adalah strategi penanggulangan. Jika kamu bisa menyelaraskan keduanya, maka solusi yang dihasilkan akan lebih efektif dan membuatmu lebih tenang.

***

Kahneman telah menunjukkan kepada kita bahwa emosi dan logika adalah dua sisi dari koin yang sama. Alih-alih mencoba memisahkan keduanya, sinergi antara Sistem 1 dan Sistem 2 justru bisa menjadi solusi paling efektif dalam mengatasi stres. Saat emosi memberikan peringatan dini, logika membantu kita merespons dengan cara yang tepat.

Jadi, jangan remehkan emosi, tapi jangan pula terlalu mengandalkan logika. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan yang pas di antara keduanya.

Jadi, kalau kamu sedang panik karena bos kirim pesan di tengah malam, coba ingat-ingat: Barangkali itu cuma ajakan untuk main bulu tangkis saja.

Sudah saatnya berhenti membiarkan stres menguasai hidupmu. Dengan RISAUNAL, kamu bisa memahami sinergi antara logika dan emosi, serta menemukan cara praktis mengatasi kerisauan sehari-hari. Jangan biarkan pikiranmu terus terjebak! Klik link ini dan jadilah versi terbaik dirimu yang lebih tenang, fokus, dan siap menghadapi tantangan hidup!

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib