Belakangan ini, semakin banyak penelitian yang mengungkap bahwa algoritma media sosial telah melahirkan krisis identitas baru.
Fitur “like”, “share”, dan “view” yang dirancang oleh algoritma tak hanya berperan sebagai simbol persetujuan sosial, namun juga berubah menjadi standar untuk menilai harga diri dan keberadaan sosial kita.
Berdasarkan artikel ilmiah “The Impact of Social Media on Self-Esteem and Wellbeing: A Meta Analysis” keterlibatan di platform media sosial secara signifikan berkorelasi dengan self esteem dan kesejahteraan psikologis.
Hal ini menjadikan “like” sebagai pengukur baru bagi penerimaan diri yang sebelumnya mungkin lebih ditentukan oleh hubungan nyata.
“Social media has the potential to bring out the best or the worst in us. We just have to choose.” – Jaron Lanier
(Media sosial memiliki potensi untuk membawa kita pada yang terbaik atau terburuk. Kita hanya perlu memilih.)
Mengapa sistem berbasis algoritma seperti ini begitu kuat dalam mempengaruhi persepsi diri?
Bagaimanapun, algoritma media sosial dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dan menarik agar pengguna terus kembali dan bertahan di platform.
Namun, sistem yang seolah memperlakukan kita sebagai angka di balik layar, ternyata justru memengaruhi diri kita di dunia nyata.
Berdasarkan studi Social Media Algorithms and the Illusion of Popularity: Consequences for Self-Perception algoritma ini tak sekadar menyampaikan apa yang kita sukai, tetapi juga menciptakan ilusi popularitas.
Semakin banyak “like” dan “share” yang didapat, semakin besar tekanan yang muncul untuk selalu menunjukkan sisi yang diinginkan oleh audiens.
Algoritma dan Identitas Digital
Secara tidak langsung, algoritma media sosial telah menjadi pihak ketiga yang mengatur bagaimana identitas kita dilihat oleh publik.
Dalam konteks ini, algoritma bekerja melalui analisis konten yang kita sukai, berikan komentar, atau bagikan, dan selanjutnya menyusun pengalaman digital yang sesuai dengan pola perilaku tersebut.
Hal ini menciptakan dua dampak signifikan: di satu sisi, kita merasa ‘dipahami’, namun di sisi lain, kita menjadi ‘terbentuk’ sesuai apa yang algoritma nilai populer atau layak.
Akibatnya, banyak pengguna merasa terdorong untuk terus menciptakan konten yang sesuai dengan selera algoritma guna mendapatkan pengakuan sosial yang sebenarnya bersifat artifisial.
Kehilangan nilai orisinalitas diri karena keinginan diterima oleh publik adalah realitas baru yang terbentuk di era digital ini.
Dalam The Impact of Social Media on Self Esteem and Wellbeing, disimpulkan juga bahwa ketergantungan pada respons sosial dalam bentuk “like” dan komentar dapat menyebabkan ketidakseimbangan emosional.
Terutama pada kalangan muda.
Efek algoritma ini pada self esteem sangat signifikan, karena setiap “like” yang kita dapatkan menjadi tanda validasi dari orang lain.
Ketika “like” tak kunjung datang atau jumlahnya tak sesuai harapan, kita mudah merasa gagal atau tidak menarik.
Tak ayal, hal inipun memicu perasaan tidak puas dengan diri sendiri, yang berujung pada hilangnya harga diri.
Algoritma yang awalnya diciptakan untuk menghubungkan orang kini malah menciptakan dunia yang berisiko meningkatkan ketidakpuasan diri di kalangan pengguna.
Ilusi Popularitas dan Realita Validasi Sosial
Fenomena ilusi popularitas yang diciptakan oleh algoritma media sosial membuat kita merasa bahwa dunia digital adalah realitas, padahal sering kali apa yang terjadi di media sosial hanyalah sebuah ilusi.
Seseorang bisa meraih ribuan “like” dalam semalam, tapi apakah itu berarti ia benar-benar populer atau disukai?
Studi Social Media Algorithms and the Illusion of Popularity menyebutkan bahwa algoritma memiliki peran besar dalam memperbesar respons tertentu terhadap konten berdasarkan engagement rate yang diukur secara matematis.
Hal ini akan memberikan tekanan bagi pengguna untuk terus memproduksi konten demi mempertahankan apa yang terlihat sebagai popularitas.
Dunia media sosial dengan segala dinamikanya memerlukan batasan agar kita bisa mengatur ekspektasi dan menciptakan harga diri yang sehat.
Salah satu langkah yang bisa kita ambil adalah memahami bahwa “like” bukanlah indikator yang valid tentang nilai kita sebagai manusia.
Penelitian ini juga menyarankan pentingnya self care dan mindfulness dalam menghadapi efek negatif dari algoritma, di mana kita diharapkan mampu memisahkan nilai diri dari ukuran yang dipersepsi secara digital.
Kehadiran algoritma media sosial telah memberikan pengaruh besar terhadap persepsi diri dan harga diri generasi muda, menciptakan ilusi penerimaan yang sering kali menyesatkan.
Dalam rangka menghadapi dampak ini, adalah tugas kita untuk menavigasi diri di dunia digital dengan lebih bijak dan kritis.
Algoritma memang bisa membuat kita merasa diterima atau tidak, namun keputusan untuk tetap menjadi diri sendiri tetap ada di tangan kita.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib
NB : Temukan juga artikel menarik dan cerdas lainnya disini.
Daftar Pustaka
- “The Impact of Social Media on Self-Esteem and Wellbeing: A Meta-Analysis.”
- “Social Media Algorithms and the Illusion of Popularity: Consequences for Self-Perception.”