All posts by Agil Septiyan Habib

Ngemis Flexing

Pamer kekayaan atau flexing tidak merepresentasikan status sebagai orang kaya | Sumber gambar : pixabay.com / sick-street-photography

Pagi itu di sebuah sudut lampu merah saya melihat sepasang suami istri lanjut usia yang sedang berjalan sembari menengadahkan tangannya kepada para pengguna jalan.

Dilihat dari raut mukanya, saya perkirakan mereka berusia sekitar 65 tahunan.

Sang suami yang terlihat lemah secara fisik berjalan dengan susah payah melewati celah-celah kendaraan di perhentian lampu merah.

Sementara si istri yang terlihat lebih bugar secara teratur menyodorkan wadah mangkuk kecil dengan sorot mata penuh harap kepada para pengendara yang sedang berhenti agar berkenan membagi sebagian uang receh.

Satu kilometer berselang dari pertigaan lampu merah tersebut saya juga menjumpai sesosok lelaki dengan kondisi kaki yang tidak sempurna sedang duduk bersimpuh sambil menjulurkan tangannya dari pinggir trotoar.

Ia mengharap iba dari orang-orang yang berlalu lalang, mulai dari para pengendara sepeda motor, pengguna mobil, hingga pejalan kaki yang menyebrang jalan di sekitar tempatnya memaku diri.

Pemandangan semacam itu bukan sekali dua kali saya temui. Hampir setiap hari ketika melakukan perjalanan ke tempat kerja saya selalu mendapati keadaan serupa.

Hal itu mengaduk-aduk perasaan iba dalam diri saya.

Pun terkadang memancing gerutu dan protes terhadap tanggung jawab pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai penyelamat.

Meskipun terkadang muncul pertanyaan tentang mengapa seseorang sampai harus mengemis untuk mempertahankan hidupnya.

Motivasi Mengemis

Bagaimanapun juga, para pengemis itu menjual kelemahan dirinya untuk memantik iba orang-orang di sekitar sehingga dari itu mereka memperoleh sejumlah “imbalan”.

Dengan memelas secara tidak langsung mereka meminta agar orang-orang peduli serta menaruh belas kasihan.

Mengemis memang bukan suatu hal mulia untuk dilakukan.

Namun, dorongan menjadi pengemis itu sebagian diantaranya terkadang merupakan upaya mencukupi kebutuhan fisiologis yang paling mendasar dalam mempertahankan hidup seorang manusia.

Dan jika ditelisik lebih jauh ternyata mentalitas pengemis itu sudah menjangkit pada kalangan yang secara kemampuan ekonomi lebih tinggi ketimbang para pengemis jalanan itu sendiri.

Bukan dalam arti mengemis secara harfiah, melainkan perilaku orang kaya yang tidak menggambarkan bahwa mereka kaya.

Justru sebaliknya mereka sebenarnya masih miskin secara tindakan dan perilakunya.

Pamer Kekayaan

Apabila pengemis di jalanan mendalihkan aktivitas mengemisnya sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis atas makanan, minuman, pakaian, serta hal-hal lain yang  sifatnya krusial, lain halnya dengan pengemis “kelas atas”.

Mereka justru mendasarkan tindakannya guna memenuhi kebutuhan terhadap pengakuan, aktualisasi diri, hingga penghargaan.

Sebenarnya kedua strata pengemis tersebut berorientasi pada satu hal yang sama yaitu memenuhi kebutuhan diri.

Perbedaannya terletak pada tingkatan kebutuhan yang dimiliki oleh masing-masing pihak sebagaimana digambarkan dalam piramida kebutuhan Abraham Maslow.

Ironisnya, pengemis kelas atas ini belakangan tengah menyita atensi kita semua.

Mulai dari para aparat berdandan modis, kendaraan mewah abdi negara, sultan antah berantah, hingga gaya hidup anggota keluarga mereka yang berpenampilan jauh diatas rata-rata.

Pameran kekayaan terjadi dimana-mana. Entah hal itu mereka lakukan secara sadar atau tidak.

Namun, ketika seseorang dengan niatan sadar memamerkan harta yang ia punya demi mengundang hadirnya pujian, sanjungan, dan kepuasan atas aksinya itu maka bisa dibilang bahwa ia sebenarnya sedang mengemis.

Orang-orang semacam ini menjajakan kemewahan yang mereka miliki kepada orang lain karena mengharapkan sesuatu yang menurut mereka mampu menghapus dahaganya terhadap pengakuan.

Mengemis adalah Kebutuhan?

Seperti halnya pengemis jalanan yang mengharap iba orang lain agar supaya mereka bisa menghapus lapar dan dahaga atas makanan dan minuman.

Orang-orang semacam ini kerapkali mencari pelampiasan mengumbar hasratnya untuk pamer kekayaan. Flexing.

Diantaranya melalui unggahan konten pamer status ekonomi mereka melalui barang-brang mahal yang mereka “miliki”.

Kata “miliki” sengaja saya beri tanda petik karena belum tentu barang-barang tersebut benar-benar milik mereka yang dibeli secara layak ataukah sekedar barang pinjaman, cicilan, atau sejenisnya yang memang dengan sengaja dipamerkan.

Dengan demikian mereka akan menjadi perbincangan dan ditanya ini itu perihal apa gerangan rahasia dibalik pencapaian kekayaannya.

Padahal, orang kaya yang sebenarnya tidak akan berbuat demikian. Biarpun harta mereka berlimpah dan kekayaan tersebar dimana-mana, orang kaya sejati cenderung memilih cara yang lebih mendidik dari itu.

Mereka akan memilih untuk membuat narasi tentang kiat, tips, strategi, dan kisah-kisah menginspirasi yang mampu membawa mereka pada titik kehidupan mereka sekarang.

Bukan kekayaan yang mereka tonjolkan, melainkan kerja keras, etos, serta upaya yang dilakukan untuk mendapatkan kekayaannya saat ini.

Ketika pamer kekayaan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya kaya, sebenarnya itu hanyalah ngemis flexing yang berharap iba dari pameran kekayaan.

Kasihan.!

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

Solusi Rumah Modular untuk Perumahan Subsidi

Papan, rumah, atau tempat tinggal merupakan kebutuhan primer manusia disamping kebutuhan atas sandang dan pangan. Kehadirannya sangat diperlukan oleh setiap orang karena terkait erat dengan perlindungan terhadap diri sendiri serta segenap anggota keluarga yang dicintai.

Meskipun begitu, ternyata berdasarkan data Housing and Real Estate Information System 2022, pada tahun 2021 lalu setidaknya sekitar 12.715.297 penduduk Indonesia masih belum memiliki rumah.

Beberapa permasalahan seperti cepatnya pertumbuhan penduduk Indonesia, kesenjangan sosial yang masih terjadi, sengitnya persaingan kepemilikan lahan, dan tingginya harga perumahan turut mempengaruhi banyaknya penduduk Indonesia yang belum memiliki rumah.

Menurut Mulya Amri, Panel Ahli Katadata Insight Center, terdapat korelasi antara harga rumah dengan kepemilikan rumah. Semakin mahal harga rumah maka semakin banyak masyarakat yang tidak memiliki rumah.

Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Republik Indonesia (RI) pun mencanangkan program sejuta rumah yang sudah berjalan sejak tahun 2015. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat bisa mengakses rumah hunian dengan harga yang relatif terjangkau.

Tahun 2022 lalu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berhasil mencatat capaian 1.117.491 unit rumah yang mayoritas diantaranya (835.597 unit) diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah atau MBR.

Masalah Perumahan Subsidi

Perumahan MBR pada dasarnya sama dengan perumahan subsidi yang mengusung konsep hunian terjangkau bagi masyarakat.

Selama ini perumahan subsidi memang telah menjadi jalan penyelesaian masalah dari masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah untuk memiliki rumah huniannya sendiri dengan kisaran harga yang masih bisa mereka jangkau.

Hanya saja permasalahan klasik mengenai kualitas rumah yang buruk dari perumahan subsidi juga masih terus membayangi.

Sudah menjadi rahasia umum manakala kita membeli rumah subsidi maka harus bersiap menerima risikonya seperti konstruksi bangunan buruk (misal: dinding tipis, atap bocor, lantai tidak rata), keterbatasan fasilitas umum (misal: akses terhadap transportasi publik), dan sebagainya.

Keterbatasan biaya seringkali menjadi alasan mengapa beberapa hal tersebut terjadi. Khususnya yang berkaitan dengan konstruksi buruk bangunan.

Ditambah lagi kurangnya pengawasan dari pihak terkait serta kemungkinan adanya praktik korupsi sehingga mengakibatkan pengerjaan proyek tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Menurut firma konsultan global, McKinsey & Company, selama ini industri konstruksi memang tergolong kurang efisien dan tidak inovatif dibandingkan industri-industri yang lain.

Bukan tidak mungkin hal inilah yang turut mengakibatkankan para pemegang proyek perumahan subsidi rela menghalalkan segala cara untuk menutupi keterbatasan dana yang mereka alami.

Ilustrasi rumah subsidi | Sumber gambar : rumah123.com

Rumah Modular untuk Perumahan Subsidi

Rumah dengan harga terjangkau secara ekonomi sangatlah diperlukan. Hanya saja hal itu seharusnya tidak lantas mengorbankan aspek kualitasnya begitu saja.

Apalagi alam Indonesia tergolong rawan bencana seperti banjir dan gempa. Kualitas bangunan rumah yang buruk hanya akan memperburuk situasi manakala ancaman bencana itu benar-benar terjadi.

Rumah harus dibangun dengan tetap mengutamakan aspek keamanan bagi penghuninya. Lantas mungkinkah rumah berharga murah bisa dibangun tanpa mengabaikan aspek kualitas?

Perkembangan teknologi konstruksi terkini memungkinkan hal itu terjadi, yakni seiring munculnya teknologi rumah modular yang sudah semakin banyak dipergunakan dalam berbagai proyek konstruksi.

Meskipun belum ada perhitungan pasti terkait berapa banyak reduksi biaya yang berhasil dilakukan dari mengalihkan pembangunan rumah konvensional ke rumah modular, National Association of Home Builders (NAHB) memperkirakan prosentase penghematannya mencapai 15-20%.

Seiring dengan progres teknologi rumah modular ini yang terus berkembang, McKinsey & Company menyatakan bahwa kehadiran konstruksi modular berpotensi mendistrupsi konstruksi real estate di berbagai negara pada waktu-waktu mendatang.

Rumah modular merupakan jenis rumah yang dibangun menggunakan modul atau bagian-bagian yang dibuat melalui proses fabrikasi, yang kemudian diangkut ke lokasi pembangunan, serta menjalani proses perakitan di sana.

Keberadaan proses fabrikasi inilah yang memungkinkan beberapa aspek penting seperti reduksi biaya dan kontrol kualitas lebih bisa dilakukan secara optimal.

Merangkum dari beberapa sumber, rumah modular menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan rumah konvensional pada umumnya, antara lain :

#1. Meningkatkan Output Produksi, Menghemat Waktu, serta Mereduksi Biaya.

Produksi modul yang terfabrikasi memudahkan aktivitas cetak dalam skala besar atau produksi masal. Seiring dengan hal itu maka output produksi pun akan meningkat jika dibandingkan proses konvensional pada umumnya.

Dengan demikian maka akan semakin banyak waktu yang ditekan, terutama terkait waktu proses konstruksi proyeknya sendiri. Unit modul yang dikirim ke lokasi proyek umumnya sudah 95% selesai sehingga akan mereduksi waktu secara signifikan.

Makin cepatnya produksi modul ini juga akan mempercepat pembangunan rumah-rumah yang mempergunakan modul tersebut. Sehingga dalam kurun waktu yang relatif singkat akan menghasilkan jumlah bangunan rumah lebih banyak.

Di sisi lain, proses yang terfabrikasi ini juga menunjang optimasi sumber daya yang dipergunakan. Mulai dari bahan bangunan sampai dengan tenaga kerja manusia yang terlibat di dalam proyek konstruksi dapat direduksi secara signifikan.

Beberapa optimasi dan reduksi sumber daya yang berhasil ditekan tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada pengurangan biaya keseluruhan proyek konstruksi.

#2. Proses Produksi Lebih Terstandarisasi

Selayaknya proses fabrikasi pada umumnya, keberadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) memungkinkan keseluruhan proses yang dilakukan disana lebih terstandarisasi. Dan untuk pengawasannya sendiri lebih mudah dilakukan karena luas area pemrosesan lebih kecil ketimbang saat melakukan pengawasan pada gedung atau rumah yang dibangun secara konvensional.

Standarisasi proses ini akan membuat kualitas modul hasil produksi lebih terjaga dan konsisten yang pada akhirnya akan menciptakan bangunan dengan ketahanan lebih baik.

Selain itu, penggunaan bahan untuk produksi lebih mudah dievaluasi dari waktu ke waktu sehingga memberikan kesempatan perbaikan bahan yang lebih baik kedepannya.

#3. Optimasi Desain dan Hasil Presisi Tinggi

Rumah modular terdiri atas modul-modul yang diproduksi dengan teknologi modern sangatlah mendukung dilakukannya produksi skala besar dalam periode waktu yang berulang,

Teknologi manufaktur modern juga memungkinkan hasil proses berpresisi tinggi karena hal itu akan berpengaruh besar terhadap proses perakitan modul-modul di lokasi proyek.

#4. Lebih Adaptif dan Fleksibel Terhadap Kebutuhan

Pasar industri konstruksi bisa dibilang memiliki kecenderungan yang sama dengan pasar pada umumnya. Yakni memiliki preferensi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu.

Adakalanya produk bertipe A menarik di pasaran. Namun, beberapa waktu berselang giliran tipe B yang digandrungi. Selanjutnya tipe C. Begitu seterusnya.

Sehingga perlu adanya fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang tinggi agar bisa mengikuti tuntutan pasar tersebut.

Fabrikasi modul yang ditunjang oleh teknologi modern akan sangat membantu setiap transisi cepat yang diperlukan untuk merespon permintaan konsumen. Dengan demikian risiko finansial bisa ditekan seminimal mungkin sekaligus potensi profit juga bisa dimaksimalkan.

#5. Lebih Ramah Lingkungan

Sampah konstruksi seringkali menjadi salah satu permasalahan pelik dalam pengerjaan proyek-proyek konstruksi dimana saja. Debu-debu semen yang beterbangan mengganggu pernafasan. Pecahan bata dan kerikil juga memerlukan penanganan.

Material yang terbuang adalah sesuatu yang jamak ditemui dari proyek-proyek konstruksi konvensional. Padahal itu semua diambil dari alam yang sangat mungkin jumlahnya terbatas.

Lain halnya dengan modul-modul fabrikasi yang lebih terkontrol keseluruhan prosesnya. Material lebih bisa dihemat karena sudah dibuatkan komposisi sesuai takaran. Melalui penerapan lean manufacturing yang handal maka zero waste bisa diwujudkan.

Selain itu, sampah produksi bisa segera didaur ulang tanpa harus terbengkalai dulu dalam waktu lama. Dengan demikian material yang ada lebih bisa dihemat.

Rise of Rumah Modular

Menilik beberapa keunggulan yang dimiliki oleh rumah modular tersebut tidak berlebihan rasanya untuk mengatakan kalau permasalahan kualitas pada perumahan subsidi ini sudah bisa ditanggulangi.

Dalam talkshow “Rumah Modular Sebagai Alternatif Perumahan Masa Kini yang Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan oleh Tempo Institute beberapa waktu lalu, narasumber Tri Resandi selaku Design Planning Manager PT Panasonic Home Deltamas  juga menyatakan bahwa pembangunan rumah modular dalam proyek perumahan terhitung masih menguntungkan.

Dengan demikian, menghadirkan perumahan subsidi dengan harga terjangkau namun dengan tetap menjaga kualitas dari bangunan yang dihasilkan adalah suatu keniscayaan yang sangat mungkin bisa diwujudkan.

Rumah modular mungkin masih memiliki beberapa kekurangan seperti permasalahan regulasi yang mungkin berbelit-belit, biaya transportasi pengiriman yang terhitung tinggi, dan juga mengenai keterbatasan desain bangunan yang berpotensi mengurangi minat calon pembeli.

Berkaitan dengan aspek keterbatasan desain bangunan memang tidak bisa dipungkiri hal ini adalah suatu kelemahan dari upaya untuk menciptakan efisiensi dari produksi masal modul perumahan. Akan tetapi, bukan berarti masalah ini bersifat final dan tidak bisa dicari solusinya.

Industri konstruksi pasti akan terus berkembang mencari jalan yang lebih efektif dan efisien. Termasuk mengenai keterbatasan desain yang saat ini dipermasalahkan. Lagi pula, generasi milenial dan Z selaku kandidat utama pembeli rumah saat ini tergolong lebih mengedepankan fungsi daripada aspek yang lain.

Hal ini disampaikan oleh Novriansyah Yakub selaku arsitek rumah modular dalam talkshow “Rumah Modular Sebagai Alternatif Perumahan Masa Kini yang Ramah Lingkungan” hasil penyelenggaraan tempo Institute, beliau mengatakan bahwa generasi milenial dan Z cenderung mencari rumah berdasarkan aspek fungsionalnya.

Sehingga rumah modular masih sangat relevan untuk menjawab kebutuhan permintaan atas perumahan saat ini.

Sedangkan untuk keterbatasan-keterbatasan yang lain diperlukan adanya kolaborasi antara pemain industri, pemerintah, dan juga lembaga keuangan agar bisa menumbuhkembangkan industri konstruksi modular sehingga menjadi lebih ramah dalam berbagai aspek.

Utamanya mengenai regulasi dan optimasi biaya transportasi sehingga menjadi lebih murah dibandingkan sebelumnya.

Misalnya jalinan kerjasama antara para developer perumahan dengan produsen penyedia modul yang memiliki jaringan rantai pasok mumpuni seperti Waskita Beton yang memang memiliki kapasitas mumpuni di bidangnya.

Dukungan optimal dari pihak-pihak yang kompeten ini akan menjadi solusi atas tingginya biaya transportasi yang mesti ditanggung oleh para developer.

Bagaimanapun, sumber daya yang dimiliki Waskita Beton memang telah terspesialisasi disini sehingga akan menjadi nilai tambah tersendiri manakala tanggung jawab ini diserahkan pada ahlinya.

Rumah Ramah Lingkungan

Apabila rumah merupakan tempat berlindung bagi sebuah keluarga, maka bumi adalah tempat bernaung bagi semuanya. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa tahun belakangan ini bumi kita sedang menghadapi permasalahan pelik perubahan iklim.

Emisi karbon dan polutan lain yang tak henti-hentinya kita produksi perlahan tapi pasti telah menciptakan ancaman luar biasa besar. Bukan cuma terhadap kehidupan kita saat ini, melainkan juga bagi eksistensi anak cucu kita kelak.

Hasrat untuk mendapatkan hidup yang nyaman ternyata menimbulkan efek samping yang mungkin akan disesali sepanjang zaman jikalau kita tidak bergegas memperbaikinya.

Memang ada begitu banyak sektor yang terlibat didalamnya, mulai dari aktivitas menebang hutan di pedalaman sampai dengan membangun rumah-rumah yang tidak ramah lingkungan.

Membangun sebuah rumah memang bertujuan untuk menghadirkan suasana yang nyaman bagi para penghuninya. Di sisi lain, hal itu sebenarnya juga turut memberikan kontribusi emisi yang tidak baik bagi alam, seperti :

  • Emisi dari pembangunan dan produksi material. Pembuatan bahan bangunan seperti beton, hebel, logam, dan sejenisnya dalam produksinya membutuhkan energi yang menghasilkan emisi karbon.
  • Emisi dari transportasi. Transportasi bahan bangunan dan pengiriman alat kontruksi ke lokasi mengakibatkan pemakaian bahan bakar yang berdampak emisi.
  • Emisi dari pemanfaatan energi.  Pemakaian alat-alat elektronik pasca rumah dihuni juga mengakibatkan emisi. Terutama ketika sumber energinya dari bahan bakar fosil.
  • Emisi dari pengolahan limbah.

Dengan situasi semacam itu maka kita yang berencana memiliki rumah hunian sendiri memiliki tanggung jawab besar untuk ikut peduli terhadap nasib bumi yang kita tinggali ini.

Kita tidak bisa menutup mata bahwasanya rumah yang hendak kita bangun dan tempati nanti ternyata punya andil memperburuk situasi iklim di bumi.

Organisasi hijau seperti Greenpeace, WWF, dan United States Green Building Council (USGBC) secara umum menentukan kriteria perumahan ramah lingkungan yang meliputi :

  • Efisiensi energi, rumah harus dirancang mengurangi konsumsi energi sebanyak mungkin. Termasuk selama proses pembangunannya.
  • Kualitas udara dalam ruangan, dapat didukung melalui penggunaan material tidak mengandung bahan kimia berbahaya, serta pembuatan ventilasi memadai.
  • Penggunaan sumber daya bisa dikurangi, misalnya penggunaan air (untuk membuat adukan konstruksi) dan transportasi (mengurangi penggunaan bahan bakar fosil untuk pengiriman bahan bangunan yang masif).
  • Material bangunan yang ramah lingkungan.
  • Pengelolaan limbah, termasuk limbah konstruksi.
  • Kualitas hidup, rumah hunian dirancang dengan desain yang ergonomis dan fungsional, pencahayaan yang memadai, serta material yang aman.

Melalui penerapan rumah modular maka upaya penyelamatan iklim bisa dilakukan seiring dengan penggunaan bahan yang lebih efisien (produksi skala besar) dan dukungan proses fabrikasi yang memungkinkan penggunaan bahan baku lebih optimal.

Selain itu, rumah modular banyak yang mempergunakan bahan-bahan ramah lingkungan seperti penggunaan bahan daur ulang, material tidak beracun, cat ramah lingkungan, dan lain-lain.

Rumah modular ini juga lebih hemat energi karena dukungan proses fabrikasi yang memungkinkan adanya teknologi penunjang, menghemat penggunaan air yang lebih sedikit karena dukungan proses fabrikasi yang bisa langsung memproses dalam jumlah besar.

Terakhir, limbah konstruksi berkurang seiring produksi modul yang bisa langsung dirakit secara tepat dan akurat.

***

Dengan segala hal yang dimilikinya, rumah modular bisa dibilang sebagai jawaban atas persoalan rumah subsidi yang kerapkali bermasalah secara kualitas bangunan perumahan ditengah fenomena harganya yang memang lebih terjangkau.

Dan yang tidak kalah penting, rumah modular ternyata memiliki dampak yang cukup besar terhadap upaya proteksi dan pelestarian lingkungan melalui beberapa hal yang terkait dengan prosesnya.

Harapannya di masa-masa mendatang akan semakin banyak yang melirik rumah modular sebagai alternatif untuk pembangunan perumahan khususnya rumah subsidi sehingga semua orang bisa menikmati rumah hunian yang layak, terjangkau, dan ramah lingkungan.

Salam hangat.

Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang