Kepunahan massal selanjutnya berawal dari lautan. Ini bukan gurauan, melainkan sebuah kekhawatiran yang selama beberapa tahun belakangan semakin mendekati kenyataan. Terlepas kita menyadarinya atau tidak, pada kenyataannya situasi iklim memang terus memburuk dari waktu ke waktu. Emisi karbon dan polutan berbahaya lainnya terus mengepung penjuru bumi tanpa adanya penyeimbang sepadan yang mampu menangkal.
Jikalau selama ini kita sering hanya berbicara perihal kemungkinan suhu bumi yang memanas, bongkahan es kutub mencair, permukaan air laut meninggi, dan tenggelamnya daratan oleh luberan air laut maka sebenarnya ancaman yang muncul dari lautan lebih daripada itu.
Lautan sedang menuju “pengasaman” yang semakin tidak bersahabat bagi kehidupan. Karbon yang menumpuk perlahan bereaksi dengan air laut sehingga menjadikan tingkat keasaman (pH) semakin rendah.
Sejak revolusi industri bergulir hingga saat ini, pH lautan global telah turun menjadi sekitar 8,07 dari idealnya 8,1 – 8,4 (dw.com). Diperkirakan pada tahun 2100 mendatang akan terus turun hingga mencapai pH 7,67 (mongabay.co.id).
Situasi tersebut menjadikan terumbu karang terancam rusak sehingga keanekaragaman hayati yang hidup dan tinggal bergantung padanya pasti akan turut terdampak. Para penghuni lautan perlahan tapi pasti mengalami ancaman kepunahan.
Disamping itu, paparan luberan air laut dengan keasaman rendah pada lahan pertanian di pinggir lautan akan menurunkan kualitas tanah hingga akhirnya tidak bisa dipergunakan samasekali untuk bercocok tanam. Semakin banyak tanah yang terendam maka situasi pangan akan semakin terancam.
Untuk kelanjutan ceritanya saya kira Anda sudah bisa menebak akan seperti apa jikalau situasi yang ada saat ini tidak segera diperbaiki.
Butuh lebih dari sekadar doa untuk memulihkan situasi. Emisi karbon harus sesegera mungkin direduksi pasokannya. Bukan menunggu tahun 2060 mendatang, tapi harus mulai dari sekarang.
Dalih ekonomi seringkali dijadikan alasan untuk menunda langkah antisipasi. Tidak jarang komitmen yang sudah dibuat berulang kali dilanggar dengan alasan situasi genting dan mendesak. Padahal adakah yang lebih mendesak ketimbang ancaman kepunahan terhadap seluruh makhluk hidup penghuni bumi itu sendiri?
Peran Industri
Sektor Industri berkontribusi cukup besar dalam memasok emisi karbon di bumi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekitar 60,2 juta ton karbon dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2019 yang lalu. Untuk kontributor tertinggi masih ditempati oleh sektor energi dengan 638,8 juta ton emisi karbon pada tahun yang sama (katadata.co.id).
Sedangkan hampir semua sektor industri juga sangat bergantung pada energi, yang artinya industri memiliki pengaruh cukup besar terhadap jumlah emisi karbon saat ini.
Oleh karena itu, segenap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan industri hendaknya turut mengambil peran dalam upaya reduksi emisi. Mulai dari pucuk pimpinan perusahaan sampai dengan karyawan pelaksana di lini paling depan.
Kalau boleh dibilang sebenarnya setiap aktivitas pada proses bisnis suatu industri memiliki pengaruh terhadap jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Hanya saja jumlahnya beragam antara satu dengan yang lain. Ada yang secara langsung menjadi penyebab dihasilkannya emisi karbon, ada juga yang menjadi sebab tidak langsung.
Di industri manufaktur misalnya, aktivitas operasional dimana mesin-mesin beroperasi untuk menghasilkan produk tertentu biasanya akan bersentuhan langsung sebagai produsen emisi. Apalagi ketika mesin tersebut menggunakan bahan bakar fosil dan menghasilkan gas buang sebagai imbas aktivitasnya. Ataupun ketika mesin dijalankan oleh tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil semisal PLTU Batubara.
Aktivitas pendukung lain seperti perencanaan produksi sepintas mungkin tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pasokan emisi. Padahal, kekacauan dalam menentukan jadwal produksi bisa sangat merugikan secara efisiensi dan produktivitas sebuah industri. Sumber daya yang dipergunakan bisa jadi melebihi taksiran yang seharusnya.
Waktu produksi bisa menjadi lebih panjang. Potensi produk rusak pun meningkat. Aktivitas produksi ulang bisa bertambah intensitasnya seiring tuntutan pasar yang selalu harus bisa dipenuhi terlepas apapun masalah yang melanda lini produksi. Limbah produksi pun semakin besar.
Hal ini mungkin terlupakan. Atau sebatas dinilai sebagai penyebab tingginya ongkos produksi saja. Atau sekadar sebagai penyebab berkurangnya nilai keuntungan sebuah korporasi saja. Padahal efek yang ditimbulkannya juga menyangkut nasib bumi.
Semakin bermasalah perencanaan produksi (production planning) yang dirancang maka semakin besar pula efek emisi yang ditimbulkan.
Dengan kata lain, membuat perencanaan produksi yang seoptimal mungkin untuk mendukung proses yang efektif dan efisien akan sangat berperan dalam menekan laju emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas industri secara keseluruhan.
Menyusun perencanaan produksi hendaknya tidak sekadar berorientasi terhadap pemenuhan permintaan pelanggan, akan tetapi juga harus mengedepankan kepentingan lingkungan yang berkelanjutan. Dengan kata lain green production planning atau perencanaan produksi hijau atau perencanaan produksi yang berwawasan lingkungan harus menjadi acuan sebuah industri dalam beroperasi.
Selama ini mungkin kita menganggap kepentingan pelanggan adalah segalanya. Tapi untuk sekarang kita memiliki batasan lain yang juga penting untuk diperhatikan. Yakni bagaimana caranya agar kegiatan industri yang dilakukan itu juga mesti mengutamakan reduksi konsumsi energi agar tidak berlebihan.
Perencanaan produksi hijau mengemban peran strategis dalam mengupayakan keuntungan bagi pelaku industri sekaligus mengakomodasi upaya penyelamatan lingkungan melalui efisiensi sumber daya. Dengan kata lain, aspek lingkungan memiliki prioritas yang sama pentingnya dengan tujuan mengeruk profit bisnis.
Sepanjang pengalaman saya menggeluti profesi sebagai perencana produksi, deadline waktu pemenuhan permintaan merupakan prioritas utama. Dalam situasi yang sangat mendesak, tidak jarang pemborosan energi dikorbankan. Situasi semacam ini perlu dipertimbangkan ulang manakala prinsip perencanaan produksi hijau diimplementasikan.
Biasanya seorang perencana produksi akan mempertimbangkan beberapa aspek seperti Earliest Due Date atau tenggat waktu terpendek, Shortest Processing Time atau waktu proses terpendek, dan First Come First Serve atau yang pertama datang pertama dilayani.
Akan tetapi, faktor dampak lingkungan sangat mungkin mempengaruhi penentuan rencana produksi sehingga menjadikan hasil perencanaan produksi hijau sedikit berbeda dibandingkan perencanaan produksi pada umumnya.
Selama itu baik untuk keduanya, bisnis dan lingkungan, mengapa tidak?
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib