Literasi 250 Kata

Literasi 250 Kata

Wah.. Keren kamu gil udah bisa nerbitin tulisan di Jawa Pos.” Bunyi sebuah SMS yang dikirim oleh seorang sahabat pada tahun 2010 lalu ketika untuk pertama kalinya saya berhasil menulis artikel yang diterbitkan oleh salah satu media cetak ternama di Jawa Timur itu.

Pada momen sekitaran semester 5 sewaktu kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Surabaya, saya memang mulai tertarik untuk menulis artikel dan mengirimkannya ke media. Hal itu mungkin terdorong oleh kebiasaan saya membaca koran setiap hari, karena kebetulan tempat kos saya waktu itu memang berlangganan surat kabar harian Jawa Pos.

Budaya literasi perlu ditumbuhkan melalui beragam cara | Ilustrasi gambar : freepik.com / freepik

Pada saat itu, umumnya berita olah raga menjadi favorit bacaan utama kami para penghuni kos yang kebanyakan mahasiswa, diikuti berita politik dan kemudian berita hiburan. Para penghuni kos biasa membacanya saling bergantian. Namun, ada satu rubrik lain yang cukup menarik perhatian saya waktu itu, yakni rubrik ‘Gagasan’.

Rubrik ini bersebelahan dengan rubrik ‘Opini’ dimana para akademisi, praktisi, politisi, dan pakar-pakar dari berbagai bidang biasanya muncul untuk menuangkan pikirannya disana. Sedangkan rubrik ‘Gagasan’ adalah sebuah tulisan artikel 250 kata berisi curahan ide dan gagasan singkat mengenai berbagai hal yang dibuat oleh orang-orang dari berbagai latar belakang.

Bagi saya yang masih sangat-sangat baru dalam kegiatan tulis-menulis kala itu rasanya cukup berat untuk bisa membuat tulisan opini sepanjang 500 kata sebagaimana disyaratkan oleh redaksi media. Terlebih tulisan pada rubrik opini tidak serta merta bisa ditulis ala kadarnya. Perlu dukungan sumber referensi akademik yang kuat sebagai dasar penulisan. Sesuatu yang bagi penulis pemula macam saya terasa cukup mengintimidasi.

Jangankan untuk membuat tulisan opini bernas sepanjang 500 kata, untuk membuat tulisan pendek dan diksi yang lebih longgar saja rasanya sudah sangat memeras otak.

Akhirnya, pilihan untuk membuat rangkaian tulisan 250 kata pada rubrik ‘Gagasan’ tersebutlah yang saya anggap lebih realistis dilakukan pada saat itu ketimbang harus menulis untuk rubrik opini. Meski sebenarnya tidak bisa dibilang mudah juga dalam merampungkan tulisan ‘Gagasan’, akan tetapi dengan kriteria penulisan lebih ringan hal itu bisa membuat saya lebih percaya diri untuk merampungkan setidaknya satu topik tulisan pada rubrik tersebut.

Dan ketika artikel ‘Gagasan’ pertama saya yang berjudul ‘Tim Patroli Tabung Elpiji” berhasil terbit, hal itu cukup memantik rasa bahagia yang luar biasa. Sensasi kebanggaan bertebaran di dalam benak saya tatkala membaca koran pagi langganan dan melihat nama sendiri terpampang diantara sekian banyak tulisan di halaman koran.

Kalau boleh jujur, suasananya kala itu terasa jauh lebih berharga ketimbang upah menulis yang saya dapatkan kemudian.

Tulisan pertama itu seakan menjadi kran pembuka bagi tulisan-tulisan berikutnya. Karena beberapa kali kemudian tulisan ‘Gagasan’ saya ternyata berhasil terbit lagi di koran serupa.

Pada umumnya setiap penulis hanya berkesempatan untuk diterbitkan tulisannya sekali saja dalam satu bulan. Mungkin karena alasan pemerataan dan lain sebagainya.

Pernah beberapa kali saya mengirimkan tulisan artikel ‘Gagasan’ pada satu bulan yang sama, akan tetapi paling banter hanya terbit satu kali saja. Sehingga saya pun mencoba peruntungan untuk membuat tulisan artikel dengan mengatasnamakan saudara saya. Alhamdulillah berhasil terbit. Di kesempatan yang lainnya lagi saya membuat tulisan dengan mengatasnamakan teman kos, alhamdulillah terbit juga. He-he-he.

Tapi memang dasar bukan rezeki, upah tulisan yang terbit atas nama orang lain tersebut karena satu dan lain hal ternyata tidak berhasil saya nikmati. Sedihnya..

Meskipun begitu, berkat tulisan 250 kata itu saya justru menjadi semakin percaya diri untuk menghidupkan budaya literasi dalam keseharian sebagai mahasiswa pada masa itu dan untuk periode-periode berikutnya pasca lulus kuliah.

Menulis dan membaca adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Saya merasakan betul hal itu. Terutama ketika tulisan yang saya hasilkan semakin banyak sampai membuat otak seakan kering ide. Mau menulis apa, hendak membahas hal apa, atau membicarakan sesuatu tentang apa rasanya semua buntu.

Sehingga ketika saya sudah mulai bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, sebagian dari gaji pekerjaan tadi saya sisihkan untuk membeli buku. Toko buku Gramedia menjadi taman bermain yang menyenangkan untuk saya singgahi. Berjam-jam waktu bisa saya habiskan untuk berselancar melihat satu demi satu judul buku yang bertebaran di setiap rak.

Bukan hanya menambah cakrawala bacaan, melihat pampangan buku karya para penulis semakin meneguhkan niat saya untuk bisa menghasilkan karya serupa. Menuliskan buku yang kelak bisa dibaca semua orang. Menghasilkan sebuah karya tulis yang bisa bersanding dengan karya-karya penulis lainnya.

Kurang lebih dua tahun saya habiskan untuk merangkai kata demi kata dari sebuah buku yang pada tahun 2017 lalu berhasil saya publikasikan dengan judul “Powerful Life”. Meskipun baru bisa menerbitkannya secara indie, setidaknya hal itu sudah menjadi perwujudkan harapan saya sebelumnya yang memang ingin menerbitkan buku karya sendiri.

Buku pertama saya yang terbit dengan judul “Powerful Life” | Sumber gambar : Dokumentasi Pribadi

Selama prosesi penulisan dua tahun tersebut saya merasakan betul bahwasanya untuk menghasilkan sebuah tulisan tidak cukup hanya dengan mengamati sekitar. Perlu adanya referensi bacaan yang bisa meluaskan khasanah pemahaman. Disisi lain, untuk mendapatkan banyak buku bacaan tersebut tentu butuh biaya. Apalagi jika untuk memperolehnya harus melalui toko buku mentereng seperti Gramedia dan semacamnya.

Sehingga pada waktu itu saya lebih banyak mendatangi toko buku bekas. Kebetulan, tidak begitu jauh dari tempat saya bekerja terdapat sebuah kawasan khusus buku bekas bernama “Kampung Ilmu” yang terletak di sekitar Jalan Semarang, Surabaya. Sebuah surga buku bekas dari berbagai genre yang jumlahnya bejibun dengan harga murah bisa ditemukan disana.

Jelajah toko buku bekas juga sempat saya lakukan tatkala mengunjungi Kwitang, Jakarta Pusat, menjelang penghujung tahun 2016 lalu saat saya baru pertama kali hijrah ke Tangerang. Meskipun merantaunya ke Tangerang, tapi kenapa cari buku bekasnya di Kwitang? Iya, hitung-hitung mengunjungi ibukota sebelum pindah. He-he-he.

Selama proses merampungkan buku “Powerful Life” tersebut saya seperti meninggalkan rutinitas menulis lainnya. Terutama menulis di blog komunitas yang sedari September 2015 saya ikuti.

Mungkin ada yang sudah tidak asing dengan platform Kompasiana? Disanalah saya mengasah diri untuk menelurkan tulisan demi tulisan karena setelah lulus kuliah saya tidak berlangganan koran Jawa Pos lagi.

Potret akun Kompasiana saya telah dibuat sejak 17 September 2015 | Sumber gambar : Dokumentasi Pribadi

Situasi tersebut pula yang mempersulit saya untuk memantau setiap artikel yang terbit manakala mengirimkan tulisan ke media. Karena belum tentu ketika suatu hari mengirimnkan tulisan maka keesokan harinya tulisan tersebut akan langsung dipublikasikan.

Terkadang ada jeda waktu beberapa hari pasca tulisan dikirim hingga terbit. Bahkan untuk melihat tulisan kita gagal terbit juga mesti melihat fisik koran terbitan baru. Padahal saya tidak lagi membaca koran setiap hari layaknya dulu untuk memantau progres terbitnya artikel.

Tak ayal situasi tersebut lambat laun membuat saya berhenti mengirimkan artikel ‘Gagasan’ ke Jawa Pos. Terlebih tidak lama berselang rubrik tersebut juga hilang seiring makin menurunnya oplah penjualan koran karena tergerus oleh media online.

Mungkin salah saya juga karena tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi dan kurang aktif dalam melebarkan sayap kepenulisan melalui media online sementara disisi lain penetrasi internet semakin masif terjadi waktu itu. Ditambah fokus pada penuntasan buku sehingga seolah-olah menjauhkan saya dari ingar bingar literasi dunia maya.

Pasca tuntasnya penulisan buku saya hal itu pun seperti membuka kembali jendela literasi yang tengah menggeliat pesat di jagad digital. Platform Kompasiana yang dulu tidak memberikan fee apapun kepada penulis sudah berubah memberikan reward finansial kepada para penulis yang memenuhi kriteria page view tertentu.

Bahkan pada masa pandemi Covid-19 dalam sebulan saya berhasil meraup finasial hingga jutaan rupiah hasil dari mempublikasikan artikel di platform tersebut. Ditambah juga mengikuti ajang blog competition yang sebagian diantaranya juga memberikan keuntungan serupa.

Belakangan, intensitas saya menulis di blog tersebut tidak lagi seaktif dulu. Dalam sebulan mungkin hanya membuat tiga sampai empat judul artikel berbanding dahulu yang hampir setiap hari melakukannya. Meskipun begitu, saya masih tetap aktif mengirimkan tulisan ke beberapa media lain seperti di Kumparan, Retizen, hingga detik.com.

Terkhusus untuk menulis di kolom detik.com saya merasakan adanya tantangan tersendiri karena tidak setiap tulisan yang dikirimkan ke redaksi pasti akan dipublikasikan. Saya cukup sering mengalami penolakan dari redaksi. Tapi justru disitulah letak kesenangan utamanya. Yakni ketika tulisan kita berhasil diterbitkan oleh redaksi. Rasanya semenyenangkan dulu saat tulisan saya pertama kali terbit di Jawa Pos.

Email penerbitan artikel ditolak dari detik.com| Sumber : Dokumentasi Pribadi

Biarpun kali ini tidak ada fee atau upah yang saya dapat dari menulis di detik.com, akan tetapi justru banyak kepuasan yang saya peroleh disana. Karena mungkin perihal literasi ini tidaklah selalu berorientasi pada materi. Ada kepuasan hati yang lebih utama untuk dipenuhi.

Email konfirmasi penerbitan artikel oleh detik.com | Sumber : Dokumentasi Pribadi

Barangkali itu dulu ya kisah pengalaman saya terkait dengan literasi dan bagaimana saya sekarang cukup intens menggeluti bidang ini. Ada suatu hal menyenangkan yang sukar untuk diutarakan dan barangkali untuk memahaminya seseorang harus ikut terjun menekuninya secara langsung.

Adakalanya untuk memberitahukan manisnya rasa gula kepada orang lain tidaklah cukup hanya dengan menceritakan bagaimana definisi dari rasa manis itu, melainkan seseorang harus mencicipinya secara langsung untuk mengetahui secara pasti sensasinya.

***

Wah, tidak dinyana ternyata sudah seribu kata lebih saya menulis disini. Tapi, sebelum mengakhirinya saya ingin terlebih dahulu berbagi tips terkait bagaimana menghidupkan dan menumbuhkan budaya literasi untuk diri kita sendiri dan juga lingkungan sekitar.

Budaya literasi merupakan salah satu tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Bangsa yang memiliki kadar literasi tinggi akan ikut terdorong maju dalam segala hal, mulai dari perekonomian, demokrasi, kehidupan sosial, dan lain sebagainya.

Tapi, sayangnya, budaya literasi kita harus diakui masih belum terlalu menggembirakan. Sehingga diperlukan berbagai upaya untuk terus menumbuhkannya menjadi lebih baik lagi pada masa yang akan datang.

Berikut ini adalah tiga tips untuk menumbuhkan budaya literasi berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami sedari awal mengenal dan semakin terbiasa dengan budaya literasi tersebut. Barangkali ini bisa menjadi referensi rujukan untuk mendekatkan literasi kepada semua orang.

1. Menyediakan dan Mendekatkan Ruang Literasi Kepada Semua

    Saya merasa cukup beruntung karena saat kuliah dulu mendapat tempat kos yang berlangganan koran harian. Sehingga mau tidak mau, rutin ataupun jarang, sengaja atau tidak sengaja membuat saya terbiasa membaca berita. Mulai dari perkara yang ringan seperti olah raga sampai dengan politik penguasa.

    Bahkan dari sekian aktivitas baca yang kita lakukan akan tercipta suatu momen dimana kita tertarik pada sesuatu hal diantaranya dan kemudian memutuskan untuk menggali lebih jauh seperti halnya ketertarikan saya menulis di rubrik ‘Gagasan’ dan berlanjut dengan kegiatan menulis lain hingga sekarang.

    Andaikan dulu saya tidak tinggal di tempat kos tersebut barangkali saya tidak akan terlalu dekat dengan budaya literasi ini.

    Sehingga inilah yang perlu dilakukan oleh segenap kalangan pegiat literasi, yakni menyediakan serta mendekatkan ruang berikut fasilitas yang memungkinkan siapapun untuk bersentuhan dengan dunia literasi. Mungkin dengan menghadirkan ruang baca berisi bacaan lengkap di depan pusat perbelanjaan secara gratis atau di tempat-tempat umum lain dimana banyak khalayak berkumpul.

    Dengan begitu maka setiap orang mau tidak mau, sadar tidak sadar, dan langsung maupun tidak langsung telah melibatkan dirinya dengan budaya literasi.

    2. Memberi Stimulus Penggugah Minat

    Sebenarnya tidak serta merta saya dulu langsung ingin menulis di rubrik ‘Gagasan’ pasca melihat keberadaan rubrik tersebut di koran. Hal itu hadir ketika melihat ‘undangan’ dari redaksi yang mengajak para pembacanya untuk mengirimkan tulisan pada rubrik tersebut dimana untuk setiap tulisan yang berhasil terbit akan mendapatkan fee lumayan.

    Bagi anak kos yang tinggal jauh dari keluarga, kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan jelas tidak boleh saya sia-siakan. Terlebih di kos-kosan waktu itu kami juga mulai berlangganan internet. Sehingga jika dapat honor menulis maka hal itu cukup membantu untuk membayar iulan bulanannya. He-he-he.

    Stimulus tersebut ternyata cukup ampuh untuk menggugah minat saya menulis. Bahkan beberapa teman di kampus waktu itu juga tidak sedikit yang ikut serta melakukan langkah serupa. Menulis sesuatu di rubrik ‘Gagasan’ guna menyampaikan isi pikirannya masing-masing.

    Barangkali stimulus bisa berwujud banyak hal. Tapi, pada prinsipnya hal itu harus cukup mampu menggugah hasrat seseorang untuk bergerak menuliskan karyanya. Minat setiap orang harus disentuh pada titik pusatnya sehingga semangat berliterasi akan hidup dengan sendirinya.

    3. Menghadirkan Ruang Tumbuh Kembang Budaya Literasi

    Di dalam syair lagu “Tombo Ati” Opick mengatakan bahwa obat hati yang ketiga adalah “Berkumpul dengan Orang Shaleh”. Dalam sebuah ungkapan kita juga pernah mendengar bahwa seseorang yang berbaur dengan tukang minyak wangi akan tertular wanginya.

    Dengan kata lain, budaya literasi pun membutuhkan keberadaan komunitas yang bisa merawat dan menjaga euforia literasi agar senantiasa berada pada level tinggi. Berbaur dengan para penulis lain sedikit banyak akan menjadikan kita tergerak untuk terus menghidupkan budaya literasi. Entah itu dalam konteks persaingan kompetisi ataupun bertukar gagasan dalam narasi tulisan.

    Bergabungnya saya pada platform Kompasiana saya akui merupakan bagian dari upaya ini. Bersua dengan penulis lain yang memiliki kesamaan visi misi di dunia literasi.

    Dan dewasa ini komunitas semacam ini sudah semakin banyak jumlahnya dan tersebar dimana-mana. Bukan hanya Kompasiana, ada juga kumparan, retizen, mojok, IDN, dan masih banyak lagi yang lainnya.

    Semakin kita berbaur dengan komunitas yang tepat maka hal itu akan membawa kita menuju situasi tumbuh kembang yang positif.

    Melalui ketiga hal tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi untuk semakin membumikan budaya literasi kepada semakin banyak orang sehingga semua pihak bisa memetik buah manis dari budaya literasi yang makin membumi dan dekat dengan gaya hidup kita sehari-hari.

    Maturnuwun,

    Agil Septiyan Habib