Siapa yang tidak senang melihat penjualan produknya meledak? Terutama para pelaku bisnis. Banjir omset dan profit bejibun akan segera masuk ke kantong. Bahkan kalaupun ledakan penjualan tersebut baru terjadi di akhir bulan atau pada detik-detik akhir menjelang tutup buku bulanan, hal itu tetaplah menggembirakan.
Bagi pebisnis, tidak masalah kapan saja ledakan penjualan terjadi asalkan produk selama mereka bisa mendatangkan pundi-pundi uang. Begitupun dengan tenaga penjualan, selama target omset mereka dari perusahaan bisa terpenuhi, maka penjualan di penghujung waktu pun tetap akan diburu.
Akan tetapi, lain halnya dengan rekan-rekan yang bertugas di bagian operasional atau penyedia produk yang hendak dijual tersebut. Mereka bisa jadi akan pontang-panting untuk memenuhi permintaan ini dan itu.
Disatu sisi mereka harus memastikan semua permintaan barang untuk dijual bisa dipenuhi, namun disisi lain mereka juga dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan efisiensi.
Menghadapi Ketidakseimbangan Produksi dan Penjualan
Ketika ledakan penjualan terjadi dengan jangka waktu yang cukup singkat, tentu hal itu akan mengganggu keseimbangan di lini produksi barang. Terlebih ketika volume penjualan lebih besar ketimbang volume produksinya.
Bukan tidak mungkin aspek efisiensi akan dikorbankan demi ambisi untuk meraup omset setinggi mungkin dari penjualan. Namun, apakah itu sepadan?
Bagaimanapun, sebuah bisnis adalah tentang profit. Bukan tentang omset, atau sekadar urusan efisiensi. Percuma saja omset besar tapi ternyata rugi. Percuma saja efisiensi tinggi tapi tidak membuahkan keuntungan.
Profit sendiri adalah tentang selisih antara omset penjualan dengan biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan barang atau produk yang dijual tersebut. Apabila omset penjualan tinggi dan biaya operasionalnya rendah maka otomatis margin keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Begitupun sebaliknya.
Dengan kata lain, perlu terjadi sinkronisasi antara memaksimalkan penjualan dan mengefisiensikan penyiapan barang. Sehingga keuntungan bisnis bisa dimaksimalkan.
Pentingnya ‘Feeling’ dalam Perencanaan Produksi untuk Menangani Penjualan Akhir Bulan
Penjualan memang seringkali sukar diprediksi. Namun, ketika ledakan penjualan “hanya” terjadi setiap kali akhir bulan datang tentu ada yang salah disana. Entah karena kurangnya effort untuk memasarkan produk, atau barangkali ada kendala teknis lain yang mesti diselesaikan seperti produk sering kosong diawal dan pertengahan bulan, ekspedisi pengiriman yang baru siap ketika akhir bulan menjelang, dan lain sebagainya.
Penuntasan masalah ini harus dilihat secara menyeluruh. Khususnya oleh tim Perencanaan Produksi dan Pengendalian Inventori (PPIC) yang harus lebih intensif memeriksa tren pergerakan barang, utamanya pengeluaran barang untuk penjualan, dan potensi peningkatan pesat beban produksi pada akhir periode.
PPIC tidak bisa mencampuri ranah penjualan. Paling banter mungkin hanya menggerutu atau mengkritik tim pelaksana yang bertugas disana. Dengan kata lain, PPIC harus fokus dengan cakupan tugas dan wewenangnya. Yakni mengelola persediaan dan mempersiapkan perencanaan produksi sehingga siap sedia kapanpun dibutuhkan.
Membaca tren terdahulu mungkin bisa menjadi referensi berharga, meskipun tidak bisa dijadikan sebagai pedoman utama. Terkadang ada feeling yang dimainkan disini. Prosedur perencanaan yang mungkin sudah dibakukan belum tentu mampu melihat dan memprediksi masa depan seakurat feeling tim PPIC yang memiliki pengalaman cukup panjang.
Bahkan seorang Waren Buffet pun mengandalkan nalurinya untuk menebak pergerakan investasi portofolio saham-sahamnya. Kapan ia harus mengambil, dan kapan harus melepasnya.
Sayangnya, untuk menjadi Warren Buffet butuh waktu lebih dari hitungan jam ataupun hari. Diperlukan masa pengalaman bertahun-tahun lamanya untuk mengasah feeling sehingga bisa memperkirakan keadaan yang terjadi berikutnya.
Tapi, bagaimanapun, setinggi apapun jam terbang tetaplah dimulai dari langkah pertama dan terus menerus diasah. Seperti kata Anthony Robbin, repetisi adalah ibu dari segala pengetahuan. Seorang Warren Buffet pasti sudah melalui beragam situasi dan kondisi di pasar saham sehingga menjadi seperti sekarang. Begitupun pakar keahlian yang lain pastilah melakukan hal serupa.
Dalam konteks mengelola perencanaan produksi, proses berulang yang terjadi dari waktu ke waktu dengan segala dinamikanya pasti akan memberikan peningkatan kemampuan bagi pelakunya. Tentu dengan catatan bahwa selalu ada mekanisme evaluasi, feedback, dan terus melakukan perbaikan berkelanjutan. Salah satunya dengan menambah referensi bacaan terkait ranah tugas yang dikerjakan.
Maksud dan tujuan utama dari dibuatnya perencanaan produksi (production planning) adalah untuk meningkatkan efisiensi serta produktivitas dari operasional sebuah bisnis.
Sebuah industri, khususnya manufaktur, mungkin masih bisa beroperasi meski tanpa adanya sistem perencanaan produksi didalamnya. Hanya saja, jalannya operasional akan kurang terkendali.
Produksi bisa berjalan. Pemenuhan permintaan pun bisa dilakukan. Akan tetapi, ada beberapa hal penting yang disadari atau tidak sebenarnya telah dikorbankan.
Efek sampingnya, industri menjadi kurang kompetitif. Entah karena ongkos produksi yang mengalami pembengkakan, pemborosan sumber daya disana sini, hingga terjadi miskalkulasi pemenuhan permintaan pelanggan.
Ketika industri yang beroperasi masih dalam skala kecil, barangkali situasi tersebut cenderung terabaikan dan seringkali dianggap tidak ada atau bahkan tidak pernah terjadi.
Sayangnya, setiap pelaku Industri pastilah menginginkan bisnisnya terus bertumbuh dan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sehingga, secara tidak langsung, pembiaran atau pengabaian atas ketidakefisiensian tersebut akan menjadi bahaya laten yang membahayakan industri dalam jangka panjang.
Dengan kata lain, apabila sebuah industri berharap adanya perbaikan dalam dirinya maka aspek perencanaan produksi penting untuk diberikan porsi perhatian yang signifikan.
Prinsip Mencegah Pemborosan
Islam adalah solusi untuk segala hal. Meski mungkin dalam beberapa kajian disiplin ilmu tertentu yang tidak secara gamblang mendapatkan perhatian secara perspektif Islam, tidak berarti bahwa wawasan kearah sana tidak ada.
Kita hanya perlu mengulik lebih dalam dan menggali lebih detail untuk mencari keterkaitan antara ilmu-ilmu Islam tersebut dengan kajian yang sudah cukup banyak dibicarakan di berbagai mimbar akademik ataupun di beberapa diskusi publik.
Satu hal yang menarik untuk dibahas disini adalah terkait dengan pemborosan. Pemborosan adalah salah satu hal yang paling dihindari dalam berbagai pengajaran tentang Islam. Bahkan Al-Qur’an dan hadits pun secara jelas menerangkan hal itu.
Misalnya, pada Q.S. Al-An’am ayat 141 dimana Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berlaku boros, karena sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlaku boros.”
Mungkin selama ini kita cenderung memahami firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW tersebut dalam konteks menjalani kehidupan pribadi masing-masing. Padahal, konteks perilaku boros bisa jadi merupakan bagian dari “penyakit” organisasi atau dalam hal ini kita sematkan pada tata kelola industri yang tidak efisien.
Bahkan secara jelas ada ulasan khusus yang memfokuskan kajian industri dalam rangka menghindari praktik pemborosan tersebut. Yang dalam istilah industri lebih dikenal dengan sebutan waste.
Terminologi waste ini bisa diibaratkan sebagai “musuh bersama” yang perlu dieliminir semaksimal mungkin karena keberadaannya yang secara langsung maupun tidak langsung telah menggerus capaian produktivitas dari sebuah industri.
Efektivitas dan efisiensi aktivitas operasional berbanding terbalik dengan tingkat waste yang terjadi didalamnya.
Perencanaan Produksi untuk Efisiensi
Membuat perencanaan produksi adalah upaya preventif paling awal yang bisa dilakukan dalam mencegah inefisiensi sebuah proses. Karena bagaimanapun juga perencanaan produksi adalah titik start dalam keberlangsungan kegiatan operasional sebuah industri.
Pemborosan bisa dicegah atau setidaknya diminimalkan agar tidak sampai membuat sumber daya yang dipergunakan terbuang sia-sia.
Dengan kata lain, membuat perencanaan produksi yang baik merupakan penerapan dari prinsip mencegah pemborosan sekaligus implementasi nyata dari bagaimana ketakwaan itu diwujudkan dalam realitas kehidupan yang lebih luas, dalam hal ini adalah di lingkungan industri atau dunia usaha.
Untuk melihat korelasi langsung dari penyusunan rencana produksi dan efek yang ditimbulkannya terhadap laju pemborosan maka perlu ada klasifikasi terkait jenis-jenis waste yang terjadi pada keseluruhan aktivitas produksi tersebut.
Yang paling umum dari klasifikasi ini adalah seven waste dan meliputi over production atau produksi berlebih, waiting atau menunggu, transportation atau transportasi, unnecessary processing atau proses yang tidak perlu, inventory atau persediaan, motion atau gerakan, dan defect atau cacat.
Over Production
Kita mulai dari over production atau produksi berlebih. Mungkin ada yang bertanya-tanya, produksi berlebih memang apa ruginya? Kan masih bisa dijual? Itu betul, memang bisa dijual. Tapi, berapa lama? Apakah akan terjual cepat atau butuh waktu cukup lama?
Ini bukan persoalan bisa dijual atau tidak. Namun, menyangkut efisiensi persediaan barang. Produk atau barang yang diproduksi dalam jumlah berlebih akan menjadi beban penyimpanan. Apalagi ketika untuk menghabiskannya membutuhkan waktu lama.
Space gudang yang harusnya bisa dipergunakan untuk menyimpan barang lain (yang berpotensi lebih cepat dijual) menjadi terkendala. Belum lagi diperlukan alokasi biaya khusus untuk perawatan barang selama penyimpanan (misal barang dengan treatment ruang pendingin, dan sejenisnya).
Semakin besar jumlah produksi berlebih terjadi maka akan semakin mengurangi tingkat efisiensi dari operasional sebuah industri. Jelas ini merupakan tindakan pemborosan yang tidak layak dilakukan.
Waiting
Apa imbasnya jika sampai terjadi situasi dan kondisi ini ? Khususnya di lingkungan operasional sebuah unit bisnis. Kesia-siaan waktu? Iya, akan ada waktu yang terbuang percuma tanpa hasil yang produktif.
Padahal, waktu merupakan modal yang sangat berharga bagi dunia usaha. Time is money. Ajaran Islam sendiri memberi penegasan secara gamblang mengenai pentingnya waktu. Sampai-sampai Allah SWT sendiri bersumpah atas nama waktu. Demi masa.
Ketika sebuah proses industri sampai membiarkan terjadinya pemborosan waktu maka ongkos yang harus ditanggung akan sangat besar. Industri harus membayar upah lembur. Atau menambah sumber daya baru untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
Karena bagaimanapun juga waktu tidak bisa diulang.
Satu hari akan selalu sama sebanyak 24 jam. Tidak kurang, tidak lebih. Saat ada target produksi untuk memenuhi permintaan yang harus rampung dalam kurun waktu tersebut maka kita harus seoptimal mungkin memberdayakan waktu tersisa.
Apabila pada sisa waktu yang ada semakin banyak dibiarkan dengan aktivitas menunggu atau waiting maka dampaknya akan panjang. Pemenuhan permintaan gagal memenuhi target delivery, keterlambatan pengiriman, pembengkakan biaya produksi, hingga kehilangan konsumen.
Perencanaan produksi memiliki peran krusial untuk mengeliminir waktu tunggu menjadi seminimal mungkin. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa planner hanyalah salah satu kepingan penunjang proses untuk membuat aktivitas operasional yang efektif dan efisien.
Biarpun begitu, planner harus melihat setiap celah pemborosan waktu yang mungkin terjadi sepanjang penjadwalan produksi dibuat.
Ketika menjadwalkan produk di sebuah mesin produksi, saya umumnya meletakkan setidaknya dua produk atau lebih dalam antrian. Sehingga ketika item pertama mengalami kendala teknis untuk dijalankan, tim produksi bisa “lompat” ke item berikutnya. Tentu melalui konfirmasi terlebih dahulu kepada planner.
Planner biasanya memiliki setumpuk antrian produk untuk dijalankan di suatu mesin. Dengan begitu seharusnya tidak ada alasan untuk membiarkan sebuah fasilitas berhenti beroperasi dan menunggu dalam waktu lama untuk beroperasi kembali.
Transportation
Transportasi, termasuk didalamnya adalah aktivitas material handling atau pemindahan material atau pemindahan barang. Aktivitas ini umumnya tidak memberikan nilai tambah secara langsung dalam penciptaan suatu produk. Akan tetapi perannya sangat krusial untuk memastikan produksi berjalan.
Saya ambil contoh, penggunakan mesin conveyor di sebuah proses produksi pada dasarnya hanya berperan mengalirkan barang dari satu lini produksi ke lini produksi yang lain. Atau dari lini produksi ke lini penyimpanan (gudang).
Dalam aktivitas tersebut, bisa dibilang conveyor tidak memberikan nilai tambah apapun. Hanya saja, tanpa keberadaannya maka rangkaian proses tidak akan bisa dituntaskan.
Selain itu, pemindahan barang menggunakan forklift atau kendaraan pengangkut lain juga tidak memberikan nilai tambah apapun pada produk. Hanya saja keberadaannya penting untuk menjembatani rangkaian proses.
Masalah yang berpotensi terjadi disini adalah terjadinya aktivitas transportasi tidak efisien. Misalnya, ketika forklift seharusnya bisa melakukan sekali tarikan tapi justru melakukan dua kali atau lebih tentu akan ada energi terbuang disana. Konsumsi solar akan lebih banyak. Atau tenaga listrik lebih besar. Ini tentu merupakan pemborosan.
Sekilas, planner sepertinya tidak memiliki peranan apapun untuk mempengaruhi situasi ini. Padahal planner juga bisa turut campur tangan. Seperti membuat pengaturan jadwal produksi dengan variasi produk yang minimal sehingga ketika transfer produk akhir dilakukan maka forklift tidak menempuh rute berlebihan.
Saya berikan simulasi begini. Planner membuat jadwal produksi untuk produk A dan produk B di mesin X. Lokasinya terletak di lantai produksiproduksi.
Hasil produk tersebut akan ditransfer ke gudang Y pada lokasi Y1 dan Y2. Sehingga forklift harus berpindah dari lokasi mesin X menuju gudang Y1 untuk menaruh produk A dan ke gudang Y2 untuk menaruh produk B.
Apabila saya sebagai planner menambahkan produk C yang lokasi penyimpanannya di gudang Y3 ke dalam jadwal antrian produksi, maka forklift harus menuju rute Y3 juga dalam perjalanannya.
Bagaimana seandainya planner menambah jadwal produksi untuk mesin M, N, dan produks D, E, F, dan seterusnya. Tentu aktivitas transportasi ikut bertambah.
Bukan hal yang dilarang juga bagi planner untuk menjadwalkan banyak produk sekaligus, terlebih ketika hal itu diperlukan. Hanya saja, dengan meminimalkan variasi produk dalam satu periode produksi maka hal itu akan sangat membantu mereduksi rute tempuh peralatan atau fasilitas transportasi kita.
Unnecessary Processing
Secara umum, aktivitas “proses” merupakan domain dari tim produksi. Khususnya yang berhubungan dengan proses menciptakan sebuah produk. Dengan demikian maka wajar kiranya apabila waste yang terkait dengan proses-proses tidak perlu (unnecessary processing) lebih patut diwaspadai terjadinya disana.
Namun, anggapan itu sebenarnya tidak sepenuhnya tepat. Perencanaan produksi yang bermasalah bisa ikut andil dalam terjadinya waste ini. Meski mungkin tidak menjadi penyebab langsungnya.
Dalam beberapa kesempatan membuat perencanaan produksi, saya pernah memberikan informasi yang kurang lengkap untuk pengerjaan suatu jenis produk. Kebetulan terdapat dua jenis produk yang secara deskripsi mirip. Keduanya hanya berbeda jumlah isi dalam satu kemasan karton saja.
Contohnya, produk A adalah detergen cuci kemasan botol varian warna pink dengan isi 8 pieces botol per karton. Sedangkan ada produk B dengan varian serupa cuma isinya adalah 12 pieces botol dalam satu karton.
Nah, waktu itu saya tidak secara spesifik menyebutkan isi dari jadwal produksi yang saya sampaikan kepada tim produksi. Dalam lembar rencana produksi harian hanya tertera nama detergen botol varian warna pink dengan berat 1,5 liter. Tanpa saya sadari ternyata ada kekurangan pencantuman informasi perihal isi botol dalam satu kartonnya.
Alhasil, supervisor produksi yang bertugas waktu itu (yang memang orang baru) salah menafsirkan bahwa produk yang saya jadwalkan sebagai detergen warna pink isi 12 pieces per karton. Sementara yang saya maksudkan sebenarnya adalah detergen botol warna pink 1,5 liter isi 8 pieces.
Peristiwa itu baru ketahuan keesokan harinya saat produksi sudah mencapai beberapa ratus karton produk.
Padahal untuk produk varian isi 12 tersebut sedang tidak ada permintaan. Disisi lain, ada keterbatasan jumlah stok material untuk memproduksi produk tersebut kembali.
Pada akhirnya saya pun harus meminta maaf atas peristiwa miskomunikasi yang terjadi. Produk yang kadung jadi terpaksa harus diproses ulang dengan melakukan penggantian karton box dari isi 12 ke isi 8.
Inilah aktivitas proses yang semestinya bisa dihindari. Terlebih sebab terjadinya bermula dari perkara sepele yakni tidak lengkapnya planner menyampaikan informasi dalam jadwal rencana produksi terkait dengan spesifikasi produk.
Inventory
Persediaan atau inventory yang menumpuk di gudang penyimpanan suatu perusahaan adalah salah satu musuh terbesar dan sebisa mungkin dihindari. Khususnya bagi perusahaan yang menerapkan model bisnis TOP atau Term Of Payment.
Model bisnis TOP ini mengharuskan pembayaran dilakukan oleh perusahaan penerima barang terhitung sejak beberapa waktu setelah barang tersebut diterima. Dengan kata lain, semakin banyak barang yang diterima maka kalkulasi tagihan akan menumpuk.
Lantas masalahnya dimana ?
Jikalau barang tersebut adalah jenis material yang kita terima dari suplier, maka terhitung waktu setelah kita menerima barang tersebut (misalnya satu hari kemudian) argo tagihan mulai dihitung.
Model bisnis semacam ini terbilang menguntungkan bagi perusahaan apabila siklus pengeluaran produknya terjadi cukup cepat.
Sehingga material yang sudah masuk bisa terus diproses hingga menjadi produk siap jual untuk kemudian dibayarkan pada tagihan TOP material.
Semakin cepat perputaran penjualan produk, sedangkan tagihan TOP sudah terjadwal rutin tenggat waktunya maka keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut akan semakin besar.
Bisa dibilang juga bahwa pengusaha dengan model bisnis tersebut sebenarnya tidak mempergunakan modal samasekali (untuk pembelian material) dalam menjalankan bisnisnya. Itu dengan catatan ritme penjualan produk dan penggunaan material terjadi secara berkesinambungan.
Setiap kali ada material yang mengendap tidak terpakai atau jeda waktu penyimpanan dan pemakaiannya cukup lama, maka perusahaan harus tetap membayar TOP sedangkan untuk penjualan produk tersebtu sendiri lebih lambat dari TOPnya. Efeknya adalah kas perusahaan akan terkuras.
Lalu apa kaitannya dengan inventori ?
Ketika sebuah produk hendak dijadwalkan untuk produksi, ada konsekuensi dimana planner atau melalui tim inventory controller untuk menjadwal masuk material-material pendukungnya. Yang mana dalam beberapa kasus terdapat kesepakatan antar perusahaan dimana ada batas minimal pengiriman untuk produk tersebut.
Saat planner gagal memperkirakan rencana produksi yang berdampak adanya produk tertentu yang tidak perlu diproduksikan pada periode tersebut, maka material yang kadung dijadwalkan akan menimbulkan beban persediaan.
Dalam hal ini, mau tidak mau kalkulasi TOP akan terjadi tanpa adanya perimbangan bahwa produk akhir dari material tersebut akan terjual.
Selain itu, kesalahan perencanaan produksi (misalnya kelebihan menginformasikan jumlah unit yang harus diproduksi) berisiko menciptakan biaya tambahan untuk perawatan produk yang dihasilkan.
Ini tentu juga merupakan bagian dari pemborosan itu sendiri. Andaikan tidak terjadi kelebihan jumlah produk saat produksi, maka tidak perlu ada biaya dikeluarkan untuk merawat produk tersebut.
Motion
Terkait dengan waste ini mungkin planner tidak memberi andil, karena menyangkut aktivitas teknis yang bersentuhan langsung dalam penciptaan suatu produk.
Defect
Untuk produksi defect atau rusak memang sangat ditentukan oleh seberapa baik proses penciptaan produk dijalankan. Perencanaan produksi maksimalnya hanya nggupuhi atau membuat pihak produksi menjadi terburu-buru untuk menuntaskan produksinya.
Sebenarnya, apabila kontrol terhadap proses dijalankan secara tepat maka perencanaan produksi tidak bisa disebut ikut ambil bagian.
Pada dasarnya nilai-nilai Islam memang ada dimana-mana, termasuk perihal pekerjaan dan fungsi perencanaan produksi. Dengan adanya hal itu seharusnya kita bisa menjadi lebih paham bahwasanya pekerjaan akan benar-benak bernilai ibadah manakala kita menjalankan sesuai dengan tuntunan nilai tersebut.
Pemilu berlalu, harga beras terus melaju. Harga beras naik gila-gilaan. Bahkan tidak sedikit pedagang yang megeluhkan bahwa harga beras kali ini sudah melampaui rekor tertingginya. Rakyat kecil menjerit. Sebagian sampai harus rela antre super panjang dan berdesak-desakan demi mendapat beras dibawah harga pasaran.
Padahal, beberapa waktu lalu pemerintahan Presiden Jokowi dengan gagahnya bagi-bagi beras bansos ke hampir segala penjuru negeri. Konon kabarnya pembagian bansos beberapa bulan ke belakang jumlahnya hampir menyamai masa-masa puncak pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu. Sehingga sebagian pihak menganggap bahwa melejitnya harga beras adalah imbas dari masifnya kucuran beras bansos tersebut.
Dugaan tersebut memang cukup masuk akal. Gelontoran beras yang luar biasa besar pastilah akan menguras sejumlah persediaan yang sebenarnya disiapkan untuk kebutuhan beberapa bulan kedepan sampai datangnya pasokan berikutnya.
Inilah yang sering disebut dengan ketahanan persediaan atau ketahanan stok. Jadi, jumlah persediaan tidak ditentukan jumlahnya secara sembarangan, melainkan harus memperhatikan jumlah konsumsi setiap periode waktu tertentu berikut estimasi waktu kapan pasokan berikutnya datang.
Ketika ritme ketahanan stok yang sudah dirancang sebelumnya tiba-tiba dikacaukan, maka terjadilah seperti yang ada sekarang.
Ketahanan Stok Beras
Ketika otoritas pemerintah mengatakan bahwa stok beras bisa bertahan untuk sekian bulan mendatang, itu artinya pemerintah (seharusnya) mengetahui besaran dari kebutuhan konsumsi beras selama rentang waktu tersebut.
Untuk memudahkan pembahasan, mari kita ambil data konsumsi beras masyarakat Indonesia tahun 2022 yakni sebesar 35,3 juta metrik ton (katadata.co.id). Tergolong besar memang. Apalagi Indonesia memang menempati peringkat keempat dunia sebagai negara dengan konsumsi beras paling banyak.
Nah, katakanlan 35,3 juta metrik ton besar itu adalah konsumsi selama satu tahun maka per bulan rata-ratanya sekitar 2,9 juta metrik ton. Meskipun sebenarnya hal itu tidak bisa dipukul rata mengingat pada periode tertentu konsumsi beras menjadi lebih tinggi ketimbang bulan-bulan yang lain, misalnya ketika lebaran, akan tetapi setidaknya kita sudah memiliki cukup gambaran untuk memprediksi kebutuhan beras dalam negeri setiap bulannya.
Dalam pengelolaan persediaan (inventory control), beberapa aspek penting yang perlu kita tengok antara lain jumlah stok, jumlah konsumsi (usage), jumlah pasokan pengadaan (purchase), dan lead time.
Jumlah stok bisa terkait posisi stok awalnya serta perkiraan jumlah stok di akhir periode waktu tertentu. Estimasi stok akhir diperoleh dari jumlah stok awal ditambah pasokan pengadaan yang masuk pada periode tersebut dan dikurangi jumlah konsumsi pada periode yang sama.
Stok akhir suatu periode akan menjadi stok awal pada periode berikutnya dan berlaku rumusan serupa.
Dalam hal ini, jumlah antara stok awal dan pasokan pengadaan juga bisa diperkirakan akan mampu bertahan berapa lama. Misalnya, stok awal beras yang dimiliki negara sebesar 8,7 juta metrik ton. Dengan jumlah konsumsi bulanan beras sebesar 2,9 juta metrik ton maka diperkirakan stok itu akan habis dalam jangka waktu 3 bulan ke depan.
Dalam hal ini, pasokan beras harus kembali tersedia selambat-lambatnya 3 bulan lagi atau stok akan tergerus habis. Permasalahannya adalah, apakah lead time pengadaan beras mampu dilakukan dalam kurun waktu tersebut?
Merujuk dari beberapa referensi, masa panen padi adalah sekitar 75-90 dari pasca proses tanam. Sehingga (seharusnya) ketika stok beras habis maka sudah bisa diamankan oleh pasokan baru hasil panen 3 bulan mendatang.
Apabila jumlah stok beras yang tadi diperkirakan mampu mencukupi kebutuhan 3 bulan ternyata ditarik maju penggunannya ke bulan pertama atau kedua, maka secara otomatis bulan ketiga akan mengalami kekosongan.
Situasi inilah yang kemungkinan terjadi pada kasus tingginya harga beras belakangan ini. Bansos yang ditarik maju dari jatah bulan-bulan mendatang ke masa sebelum pemilu dilakukan adalah langkah yang sama dengan menarik maju jatah alokasi beras untuk ketahanan stok di masa pasca pemilu.
Proses Berkelanjutan
Mengelola persediaan beras ataupun jenis barang-barang kebutuhan lainnya tidak bisa dikerjakan sambil lalu. Ia adalah proses yang berkelanjutan, karena aktivitas konsumsi terus berjalan setiap hari. Disisi lain, pasokan pengadaan adakalanya mengalami kendala satu dan lain hal.
Situasi ini mengharuskan adanya evaluasi secara berkala. Baik itu dari sisi jumlah stoknya, jumlah konsumsinya, hingga keadaan pasokannya.
Akan tetapi, yang paling awal dan paling penting diperhatikan adalah perihal akurasi data. Apakah jumlah stok beras memang sudah kondisi riil di lapangan atau terjadi bias yang cukup jauh. Begitupun dengan konsumsi beras juga mesti dievaluasi secara berkala.
Berkaitan dengan pasokan juga mesti memperhatikan berbagai faktor seperti kondisi lingkungan, kebijakan luar negeri terkait impor, dan sejenisnya.
Inventory control menghendaki kejelasan situasi bahkan kepastian untuk mendapatkan pengelolaan persediaan yang terbaik. Terbaik disini adalah tidak menumpuk stok berlebihan karena berisiko menurunkan kualitas barang, pun juga tidak sampai kekurangan barang yang menyebabkan kelangkaan dan berujung harga yang melambung.
Agar situasi tersebut bisa terwujud maka otoritas terkait perlu memastikan status dari para pemasok apakah mampu memenuhi target yang ditetapkan semisal harus memenuhi jumlah tertentu pada periode tertentu. Perlu adanya opsi alternatif agar di kemudian hari tidak sampai mempersalahkan satu dan lain hal karena kegagalan memenuhi pasokan.
Kalau saja kemarin pemerintah mengatur ulang pengadaan pasokan agar supaya siap lebih cepat dari estimasi waktu sebelumnya, barangkali masyarakat tidak akan mengalami kejadian seperti sekarang. Tapi dengan catatan lead time-nya mencukupi. Atau jangan-jangan aspek ini yang mereka abaikan. Buru-buru menggenjot penyaluran beras tapi lupa antisipasi kesiapan waktu pasokan berikutnya.
Entahlah.
Mmmhh… Lantas bagaimana kaitannya dengan inventory control dan harga beras melambung tinggi? Iya, inilah hukum ekonomi. Kelangkaan membuat harga melambung. Stok beras terbatas sedangkan permintaan tetap tinggi maka efeknya adalah harga turut menyesuaikan diri. Sayangnya, itu bukan makin murah tapi justru sebaliknya.
Jika sudah seperti ini lantas bagaimana? Berdoa saja biar situasi kembali normal? Rasa-rasanya ditengah situasi politik yang mulai menghangat sulit diharapkan keadaan segera kembali normal. Karena konsentrasi para pemilik otoritas masih terfokus di seputaran kekuasaan.
Memang kita cuma bisa berserah pada Tuhan, atau sekadar menguatkan diri untuk hanya mengonsumsi mie instan?
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib
NB : Artikel ini sudah dipublikasikan juga di kompasiana.com
Kepunahan massal selanjutnya berawal dari lautan. Ini bukan gurauan, melainkan sebuah kekhawatiran yang selama beberapa tahun belakangan semakin mendekati kenyataan. Terlepas kita menyadarinya atau tidak, pada kenyataannya situasi iklim memang terus memburuk dari waktu ke waktu. Emisi karbon dan polutan berbahaya lainnya terus mengepung penjuru bumi tanpa adanya penyeimbang sepadan yang mampu menangkal.
Jikalau selama ini kita sering hanya berbicara perihal kemungkinan suhu bumi yang memanas, bongkahan es kutub mencair, permukaan air laut meninggi, dan tenggelamnya daratan oleh luberan air laut maka sebenarnya ancaman yang muncul dari lautan lebih daripada itu.
Lautan sedang menuju “pengasaman” yang semakin tidak bersahabat bagi kehidupan. Karbon yang menumpuk perlahan bereaksi dengan air laut sehingga menjadikan tingkat keasaman (pH) semakin rendah.
Sejak revolusi industri bergulir hingga saat ini, pH lautan global telah turun menjadi sekitar 8,07 dari idealnya 8,1 – 8,4 (dw.com). Diperkirakan pada tahun 2100 mendatang akan terus turun hingga mencapai pH 7,67 (mongabay.co.id).
Situasi tersebut menjadikan terumbu karang terancam rusak sehingga keanekaragaman hayati yang hidup dan tinggal bergantung padanya pasti akan turut terdampak. Para penghuni lautan perlahan tapi pasti mengalami ancaman kepunahan.
Disamping itu, paparan luberan air laut dengan keasaman rendah pada lahan pertanian di pinggir lautan akan menurunkan kualitas tanah hingga akhirnya tidak bisa dipergunakan samasekali untuk bercocok tanam. Semakin banyak tanah yang terendam maka situasi pangan akan semakin terancam.
Untuk kelanjutan ceritanya saya kira Anda sudah bisa menebak akan seperti apa jikalau situasi yang ada saat ini tidak segera diperbaiki.
Butuh lebih dari sekadar doa untuk memulihkan situasi. Emisi karbon harus sesegera mungkin direduksi pasokannya. Bukan menunggu tahun 2060 mendatang, tapi harus mulai dari sekarang.
Dalih ekonomi seringkali dijadikan alasan untuk menunda langkah antisipasi. Tidak jarang komitmen yang sudah dibuat berulang kali dilanggar dengan alasan situasi genting dan mendesak. Padahal adakah yang lebih mendesak ketimbang ancaman kepunahan terhadap seluruh makhluk hidup penghuni bumi itu sendiri?
Peran Industri
Sektor Industri berkontribusi cukup besar dalam memasok emisi karbon di bumi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekitar 60,2 juta ton karbon dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2019 yang lalu. Untuk kontributor tertinggi masih ditempati oleh sektor energi dengan 638,8 juta ton emisi karbon pada tahun yang sama (katadata.co.id).
Sedangkan hampir semua sektor industri juga sangat bergantung pada energi, yang artinya industri memiliki pengaruh cukup besar terhadap jumlah emisi karbon saat ini.
Oleh karena itu, segenap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan industri hendaknya turut mengambil peran dalam upaya reduksi emisi. Mulai dari pucuk pimpinan perusahaan sampai dengan karyawan pelaksana di lini paling depan.
Kalau boleh dibilang sebenarnya setiap aktivitas pada proses bisnis suatu industri memiliki pengaruh terhadap jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Hanya saja jumlahnya beragam antara satu dengan yang lain. Ada yang secara langsung menjadi penyebab dihasilkannya emisi karbon, ada juga yang menjadi sebab tidak langsung.
Di industri manufaktur misalnya, aktivitas operasional dimana mesin-mesin beroperasi untuk menghasilkan produk tertentu biasanya akan bersentuhan langsung sebagai produsen emisi. Apalagi ketika mesin tersebut menggunakan bahan bakar fosil dan menghasilkan gas buang sebagai imbas aktivitasnya. Ataupun ketika mesin dijalankan oleh tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil semisal PLTU Batubara.
Aktivitas pendukung lain seperti perencanaan produksi sepintas mungkin tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pasokan emisi. Padahal, kekacauan dalam menentukan jadwal produksi bisa sangat merugikan secara efisiensi dan produktivitas sebuah industri. Sumber daya yang dipergunakan bisa jadi melebihi taksiran yang seharusnya.
Waktu produksi bisa menjadi lebih panjang. Potensi produk rusak pun meningkat. Aktivitas produksi ulang bisa bertambah intensitasnya seiring tuntutan pasar yang selalu harus bisa dipenuhi terlepas apapun masalah yang melanda lini produksi. Limbah produksi pun semakin besar.
Hal ini mungkin terlupakan. Atau sebatas dinilai sebagai penyebab tingginya ongkos produksi saja. Atau sekadar sebagai penyebab berkurangnya nilai keuntungan sebuah korporasi saja. Padahal efek yang ditimbulkannya juga menyangkut nasib bumi.
Semakin bermasalah perencanaan produksi (production planning) yang dirancang maka semakin besar pula efek emisi yang ditimbulkan.
Dengan kata lain, membuat perencanaan produksi yang seoptimal mungkin untuk mendukung proses yang efektif dan efisien akan sangat berperan dalam menekan laju emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas industri secara keseluruhan.
Menyusun perencanaan produksi hendaknya tidak sekadar berorientasi terhadap pemenuhan permintaan pelanggan, akan tetapi juga harus mengedepankan kepentingan lingkungan yang berkelanjutan. Dengan kata lain green production planning atau perencanaan produksi hijau atau perencanaan produksi yang berwawasan lingkungan harus menjadi acuan sebuah industri dalam beroperasi.
Selama ini mungkin kita menganggap kepentingan pelanggan adalah segalanya. Tapi untuk sekarang kita memiliki batasan lain yang juga penting untuk diperhatikan. Yakni bagaimana caranya agar kegiatan industri yang dilakukan itu juga mesti mengutamakan reduksi konsumsi energi agar tidak berlebihan.
Perencanaan produksi hijau mengemban peran strategis dalam mengupayakan keuntungan bagi pelaku industri sekaligus mengakomodasi upaya penyelamatan lingkungan melalui efisiensi sumber daya. Dengan kata lain, aspek lingkungan memiliki prioritas yang sama pentingnya dengan tujuan mengeruk profit bisnis.
Sepanjang pengalaman saya menggeluti profesi sebagai perencana produksi, deadline waktu pemenuhan permintaan merupakan prioritas utama. Dalam situasi yang sangat mendesak, tidak jarang pemborosan energi dikorbankan. Situasi semacam ini perlu dipertimbangkan ulang manakala prinsip perencanaan produksi hijau diimplementasikan.
Biasanya seorang perencana produksi akan mempertimbangkan beberapa aspek seperti Earliest Due Date atau tenggat waktu terpendek, Shortest Processing Time atau waktu proses terpendek, dan First Come First Serve atau yang pertama datang pertama dilayani.
Akan tetapi, faktor dampak lingkungan sangat mungkin mempengaruhi penentuan rencana produksi sehingga menjadikan hasil perencanaan produksi hijau sedikit berbeda dibandingkan perencanaan produksi pada umumnya.
Selama itu baik untuk keduanya, bisnis dan lingkungan, mengapa tidak?
“Halah… Paling-paling kerjaannya planner cuma bikin hitung-hitungan di depan komputer doang. Enak, gak perlu capek-capek ngeluarin keringat. Kerjaan santai, cuma duduk aja. Kerja jadi planner risikonya kecil, tidak seberapa dibandingkan orang lapangan.”
Kalau ada yang menganggap profesi planner tidak punya risiko berarti maka saya siap untuk beradu debat membantah hal itu. Karena sependek yang pernah saya alami semasa menggeluti profesi ini sudah beberapa kali saya merasakan situasi was-was dan penuh kekhawatiran.
Salah perencanaan merupakan risiko menjadi planner yang bisa sangat menjatuhkan psikis | Ilustrasi gambar : pixabay.com / geralt
Memang, risikonya tidak menyasar fisik secara langsung. Melainkan menginvasi psikis atau psikologis seorang planner manakala dalam menjalankan perannya secara langsung atau tidak langsung telah membuat rencana produksi yang salah.
Dalam situasi yang cukup ringan mungkin berhadapan dengan teguran dan amarah bos merupakan hal yang lumrah. Namun, bagaimana jika sudah berhadapan dengan ancaman harus membayar ganti rugi yang nominalnya mencapai jutaan rupiah?
Inilah yang pernah saya alami beberapa tahun lalu. Yakni ketika rencana produksi yang saya buat ternyata mengalami cacat informasi sehingga terpaksa menghasilkan eksekusi yang salah juga. Pada akhirnya, produk yang diselesaikan tidak sesuai dengan permintaan karena mengalami perbedaan spesifikasi dari yang seharusnya disiapkan.
Terjerumus Asumsi
Kepercayaan memang mahal harganya. Meskipun dalam pekerjaan menaruh kepercayaan kepada rekan kerja bisa jadi sangat membantu jalinan kerjasama kedua belah pihak yang terlibat.
Sayangnya, waktu itu kepercayaan yang saya gantungkan kepada rekan kerja di bagian lain justru membuat saya salah langkah. Saya yang kadung berasumsi bahwa informasi yang disajikan telah memenuhi syarat meskipun belum dibakukan dalam bentuk dokumen resmi, harus membayar mahal asumsi tersebut.
Dalam sebuah komunikasi lisan via telepon saya sempat mengonfirmasi bahwasanya jenis material tertentu akan dipergunakan untuk memproduksi suatu jenis produk. Sialnya, apa yang ada di benak saya terkait kriteria material tersebut sebenarnya berbeda dengan yang ada di benak rekan kerja saya (bagian marketing) tadi. Hanya saja ketika komunikasi itu dilakukan kami sama-sama belum menyadari.
Pada alur penciptaan sebuah produk, urut-urutannya adalah marketing berkomunikasi dengan RnD, untuk selanjutnya merilis requirement dari material apa saja yang diperlukan. Nah, di dalam list requirement tersebut sebenarnya sudah terjadi kesalahan data yang ironisnya tidak kami sadari satu sama lain. Karena kebetulan produk yang hendak diproduksi 90% mirip dengan produk sebelumnya. Sekadar berbeda isi saja.
Pada saat saya membuat rencana produksi dan menginformasikannya kepada tim lapangan untuk mengeksekusi ternyata baru disadari bahwasanya terdapat “keanehan” pada produk yang dihasilkan.
Kemasannya tampak lebih besar. Bahkan kemasan yang lainnya sudah memiliki identitas khusus yang mengarah spesifik untuk buyer tertentu. Alhasil, ketika jumlah yang diminta telah siap sesuai pesanandan hendak dimuat menuju container ternyata kubikasinya berlebih. Padahal secara teori harusnya jumlah pesanan tersebut muat untuk mengisi container.
Disinilah kemudian baru disadari bahwa kemasan yang dipakai ternyata salah. Mengetahui hal itu, tim pemasaran pun langsung menganulir pengiriman demi menghindari dampak yang lebih besar.
Namun, pembatalan itu sendiri juga sudah memicu kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Kalau diperkirakan jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta.
Siapa yang harus menanggung kerugian besar tersebut? Besar kemungkinan kamilah yang harus menerima akibatnya.
Pentingnya Berpedoman pada Informasi Resmi
Pada waktu itu akhirnya diketahui bahwa kesalahan memang terjadi secara berjamaah. Ada ketidaksinkronan informasi antara beberapa bagian yang terlibat untuk membidani sebuah produk.
Terlebih, sebagian atau semua pihak yang terlibat sama-sama terjebak asumsinya masing-masing. Saling menyepakati padahal memiliki interpretasi yang berbeda satu dengan yang lain.
Disinilah saya menyadari peran dokumentasi resmi begitu krusial. Adanya rujukan bersama yang dikeluarkan oleh satu bagian tertentu akan menjadi panduan untuk melangkah bagi bagian yang lain.
Saya tidak bisa membayangkan andaikata kesalahan waktu itu benar-benar hanya terjadi oleh peran saya sebagai planner seorang diri. Pasti akan sangat berat untuk menanggung akibat dari kesalahan perencanaan tersebut. Pemotongan gaji. Tercorengnya rekam kinerja.
Namun, saya bersyukur waktu itu perusahaan masih berkenan memberikan solusi yang lebih bersahabat. Kesalahan ditanggung bersama-sama dan tidak perlu membayar ganti rugi. Cukup dengan membantu menjadi “tim pemasar dadakan” untuk menjual “produk gagal” tersebut sehingga bisa meminimalisir kerugian yang ditimbulkan.
Padahal, pekerjaan planner hanya mengutak-atik data di depan layar komputer. Melakukan perhitungan tambah kurang bagi kali. Tapi, siapa sangka. Kesalahan informasi kecil bisa menjadi sebab kerugian yang sangat besar.
“Jangan berharap tidak bertemu masalah dalam sebuah pekerjaan, karena sebenarnya kita memang dibayar untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah di pekerjaan.” Petuah itu suatu kali diucapkan oleh rekan kerja saya. Dan saya sepakat, bahwa memang demikianlah adanya. Namun, ketika kita seringkali dijadikan kambing hitam persolan akibat aksi gagal prosedur pihak lain maka apakah itu layak? Patutkah hal itu disematkan kepada perencana produksi?
Situasi semacam itu sudah beberapa kali terjadi dan saya rasakan dalam peranan sebagai perencana produksi. Terkadang ada rasa diperlakukan tidak adil tatkala kita yang tidak terlibat secara langsung justru harus ikut menanggung getah kesalahan. Hanya karena peranan kita memiliki irisan ataupun sekadar dilewati oleh tugas yang diemban oleh pihak lain.
Semasa di kampus dulu dosen saya pernah mengatakan bahwa fungsi dan peran perencana produksi sangatlah krusial dalam sebuah industri. Bahkan digambarkan bahwa perencanaan produksi merupakan jantung dari industri itu sendiri.
Selayaknya jantung yang punya peran vital sebagai pusat sistem transportasi tubuh manusia, perencana produksi pun memiliki peranan untuk mensinergikan beberapa organ industri yang bertanggung jawab dalam menopang kehidupan industri itu sendiri.
Departemen pengadaan barang, lini produksi, tim penjualan, bagian gudang, dan beberapa pihak lain yang berada dalam ruang organisasi bisnis tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Ibarat pemegang alat musik yang berbeda-beda, agar bisa menghasilkan alunan musik nan indah perlu adanya komposer handal yang mampu mensinergikan para pengguna instrumen yang berbeda tersebut menjadi satu suara musik yang selaras dan merdu.
Dengan peranan seperti itu maka tidak aneh jika perencana produksi senantiasa dijadikan sasaran kekecewaan atas persoalan yang terjadi.
Padahal, ketika seorang pemain musik dalam orkestra mengalami masalah sumbang pada alat musiknya apakah kesalahan bisa langsung dialamatkan juga kepada sang pemimpin orkestra? Mungkin iya, tapi dengan catatan bahwa sang pemimpin punya kuasa besar dalam mengatur dan mengelola pemain yang bersangkutan.
Sedangkan, kewenangan berkuasa itu tidak sepenuhnya dimiliki oleh perencana produksi mengingat setiap bagian dalam industri umumnya punya “kedaulatan” masing-masing yang pastinya tidak akan senang manakala teritorinya dilampaui.
Ketika ada yang bermasalah di lini produksi apakah seorang perencana produksi bisa memberikan perintah langsung untuk mengatasi masalah tersebut? Bisa saja iya, tapi kecil kemungkinannya. Apalagi jika itu menyangkut masalah teknis di bagian bersangkutan. Dalam hal ini hanya upaya persuasi yang dapat kita lakukan.
Kambing Hitam
Suatu ketika saya dan tim menerima informasi data permintaan forecast (ramalan) dari tim penjualan untuk periode mendatang (bulan depan). Sehingga untuk perangkat material penunjangnya mesti dipersiapkan jauh-jauh hari.
Jika mengacu pada data lead time pengadaan maka persiapan itu harus dilakukan dari saat itu juga ketika informasi permintaan diterima, sehingga akan siap manakala menjelang deadline permintaan tiba bulan berikutnya.
Setelah melalui beberapa kalkulasi matermatis untuk mengkroscek kekurangan kebutuhan beberapa material tertentu, barulah kami mengajukan rencana pengadaan kepada departemen pengadaan untuk diproses.
Singkat cerita, ketika momen bulan berikutnya tiba ternyata forecast tersebut tidak terealisasi. Estimasi permintaan hanya menjadi pepesan kosong yang tidak terlaksana. “Belum ada order.” Demikian tim penjualan berkata-kata.
Sementara itu, pada sisi yang lain pihak supplier sudah mulai gelisah karena pesanan yang kami ajukan kepada mereka tak kunjung diambil. Ditunda-tunda sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Otomatis hal itupun menjadi beban inventori di gudang suplier. Dari waktu-ke waktu, minggu ke minggu, dan bulan berganti bulan. Permintaan yang digadang-gadang ada sebagaimana kalkulasi forecast ternyata tak kunjung tiba. Membuat suplier jengah hingga akhirnya memaksa bahwa barang yang kami pesan harus segera diambil.
Karena dalam perjanjian pengadaan memang ada kesepakatan bahwasanya barang harus diambil lunas dalam jangka waktu beberapa bulan, maka ketika batas waktu itu terlewati kamipun tidak bisa berbuat apa-apa untuk melakukan upaya penundaan kedatangan.
Sepintas hal itu merupakan sesuatu yang sepele, namun ketika suplier sudah mengirimkan barang pesanan hal itu membuat argo pembayaran mulai berjalan. Dalam model bisnis Term of Period (TOP) situasi semacam ini sangat riskan menguras kas perusahaan karena barang yang masuk tidaklah produktif alias hanya anteng di gudang penyimpanan saja tanpa memberi andil penciptaan pendapatan. Singkat kata ada stok slow moving / death stock.
Disinilah kambing hitam itu disematkan kepada perencana produksi karena dianggap gagal melakukan kalkulasi pengadaan. Padahal, perencana produksi “hanya” pihak kedua yang menerima informasi dari tim penjualan. Ketika data primernya bermasalah, bukankah bisa dipastikan bahwa data berikutnya akan ikut bermasalah juga?
Tapi, hal itu terkadang diabaikan oleh pihak “berwenang” atau manajemen yang menganggap bahwa itu memang sepenuhnya salah perencana produksi.
Uji Data
Setelah beberapa tahun menjalani situasi yang kurang lebih mirip dalam beberapa kesempatan, saya dan tim perencana produksi menyadari satu hal yakni kita tidak bisa serta merta percaya kepada sumber data tanpa terlebih dahulu melakukan kroscek, verifikasi, dan perbandingan data dengan rekaman informasi yang sudah didokumentasikan dari periode-periode sebelumnya.
Hal ini penting dilakukan terutama jika deviasi data permintaan forecast cukup besar dibandingkan realisasinya. Upaya uji data semacam ini perlu dilakukan oleh perencana produksi terlepas hal itu dilakukan secara formal (memiliki prosedur yang terstandariasi) ataupun non formal dengan harapan bisa meminimalisir risiko “kegagalan” order.
Selain itu, upaya uji data perlu kita lakukan agar kita dapat terhindar dari pengambinghitaman pihak lain.
Buffer stock atau stok pengaman dan Re-Order Point (ROP) oleh sebagian kalangan sering dipahami sebagai acuan yang kaku di dalam aktivitas operasional sebuah bisnis. Dengan kata lain, penentuan buffer stock dan ROP hanya dilakukan satu kali saja pada awal penyusunan rencana produksi dan berlaku selamanya tanpa perlu dievaulasi ataupun diperbarui.
Padahal, situasi dan kondisi dalam perjalanan sebuah bisnis sangatlah dinamis. Senantiasa terjadi perubahan setiap periodenya. Terkadang permintaan tinggi, tapi adakalanya rendah. Bisa jadi ada perubahan strategi bisnis, tren pasar, dan lain sebagainya.
Bagaimanapun, situasi semacam itu tidaklah bisa dihindari. Ada sesuatu diluar sana yang berlangsung secara dinamis, misalnya terkait beberapa hal yang sudah diutarakan tadi.
Sehingga pelaku bisnis harus memiliki fleksibilitas serta kemampuan adaptasi yang baik terhadap segala perubahan yang ada. Sembari tetap berusaha menjaga agar operasional tetap mengusung prinsip produktif, efektif, dan efisien.
Maka dari itu, mengakomodasi buffer stock dan ROP dinamis bisa menjadi opsi penanggulangan dari situasi yang tidak bisa diprediksi tersebut.
Review Berkala
Situasi yang dinamis perlu dipandang dalam rentang waktu yang tidak terlalu singkat juga tidak terlalu lambat. Sebagai contoh, membaca dinamika permintaan day by day cenderung lebih sukar dilakukan karena dinamikanya terlalu tinggi. Sebaliknya, jika rentang waktu terlalu jauh maka dikhawatirkan gagal memotret tren yang terjadi saat itu.
Dalam hal ini kita bisa menjadikan periode triwulan untuk analisa dinamika permintaan guna menentukan nilai buffer stock dan ROP yang ada. Baik itu untuk buffer stock dan ROP untuk produk akhir ataupun terhadap material dari produk tersebut.
Untuk perbandingan, saya biasanya menggunakan data tiga bulan terakhir untuk me-review situasi permintaan dan juga penggunaan material. Dan itu dilakukan secara rutin setiap bulan. Jadi, kita selalu memperbarui data tiga bulan terakhir ke belakang untuk memetakan dinamika yang terjadi kala itu.
Biasanya, akan selalu terjadi pergeseran di dalam nilai buffer stock dan ROP. Namun, perubahan itu umumnya kecil dan tidak langsung menampakkan perbedaan drastis dari periode sekarang dan periode sebelumnya. Dengan demikian perubahan tidak terjadi secara dramatis.
Perlu diketahui bahwa perubahan yang drastis dalam penentuan nilai buffer stock serta ROP ini bisa memicu lahirnya masalah baru. Contohnya, ketika biasanya kita melakukan order ke suplier dalam jumlah X dan tiba-tiba di bulan berikutnya turun atau naik drastis menjadi seperempatnya atau empat kali lipatnya tentu hal itu akan membuat pihak suplier kelabakan.
“Kok tiba-tiba turun drastis ?”, “Kok tiba-tiba naik pesat?”.
Kalau sekedar dicereweti mungkin tidak jadi soal. Tapi bagaimana jika mereka sudah menyiapkan stok dalam jumlah besar sementara kita membuat kondisi stok kita terjun bebas. Atau sebaliknya.
Ketidakpastian adalah tantangan terbesar dalam membuat rencana produksi. Sehingga untuk mengantisipasinya dibuatkan buffer stock dan ROP guna meminimalkan risiko fluktuasi.
Ketika buffer stock dan ROP dirancang untuk turut bergerak secara dinamis maka hal itu akan sangat membantu kelancaran rencana produksi sehingga potensi downtime dan inefisiensi dapat dihindari.
Kecepatan Respon
Salah satu manfaat besar yang didapatkan dari penentuan buffer stock dan ROP yang dinamis adalah meningkatkan service level terhadap konsumen. Respon yang diberikan akan lebih cepat seiring persiapan yang lebih baik karena telah mengikuti perkembangan dari waktu ke waktu.
Bisnis yang paling bisa eksis di era persaingan seperti sekarang adalah mereka yang peka terhadap dinamika yang terjadi. Dan dengan menggunakan tools berupa buffer stock dan ROP hal itu setidak-tidaknya menjadikan kita selangkah lebih baik daripada pelaku bisnis lain yang kaku dan lambat menyikapi perubahan.
Peran data historis dalam penyusunan rencana produksi sangatlah krusial untuk menentukan hasil akhir dari rencana produksi. Tepat tidaknya rencana produksi akan sangat ditentukan oleh input-an data awalnya. Jika sudah salah diawal maka bisa besar dampaknya kebelakang.
Di dalam lingkungan korporasi yang sudah mapan pembagian peran dan tugasnya, planner atau bagian perencana produksi umumnya mendapatkan input-an order dari bagian pemasaran. Data itu bisa berupa proyeksi yang mempertimbangan situasi dan kondisi sekitar, maupun dari adjustment terhadap data historis penjualan beberapa periode waktu terakhir.
Memang harus diakui bahwa data historis bisa menjadi panduan yang handal untuk memperkirakan besaran order di waktu-waktu mendatang. Deviasinya mungkin tidak terlalu besar jika dipergunakan sebagai acuan.
Maka tidak mengherankan apabila metode peramalan permintaan (forecasting) senantiasa menjadikan data historis sebagai panduan. Meskipun teknis pendekatannya cukup berbeda satu dengan yang lain (metode moving average, regresi linier, dan sebagainya), semua pendekatan tersebut sama-sama mempergunakan data historis sebagai rujukan perhitungan.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan yang diutarakan oleh salah seorang direktur sales di tempat saya bertugas sebagai planner yakni bahwasanya tren sales itu cenderung “halus”. Dengan kata lain, tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu frontal antara periode sekarang dengan periode sebelumnya atau antara periode sekarang dengan periode berikutnya.
Jika permintaan naik maka naiknya perlahan, dan kalaupun turun terjadinya juga perlahan.
Apabila sampai terjadi perubahan yang drastis biasanya disebabkan oleh sesuatu yang “tidak biasa”. Hal ini pernah saya alami beberapa kali dimana terjadi peningkatan permintaan secara drastis di salah satu bulan tertentu.
Ternyata itu disebabkan oleh adanya even penjualan seperti pameran, promo, dan sejenisnya di bulan tersebut. Sehingga membuat seolah-olah terjadi peningkatan permintaan secara drastis padahal belum tentu demikian.
Urgensi Kroscek
Kondisi semacam ini apabila tidak diperhatikan akan membuat kitasalah paham. Dikira permintaan melonjak sehingga jumlah stok barang ditingkatkan, belanja material ditambah, tenaga karja ditambah, dan seterusnya. Padahal peningkatan itu hanyalah semu.
Data historis bisa menjadi jebakan yang merugikan apabila tidak dikorek secara komprehensif. Tidak bisa kita begitu saja langsung percaya terhadap tran data yang menunjukkan gelagat tidak seperti biasanya.
Justru sebagai planner harus kritis manakala anomali semacam itu terjadi. Memerika kembali apakah tren peningkatan atau penurunan drastis tersebut berulang di periode yang lain atau hanya di periode tertentu saja.
Hal ini sangat mungkin terjadi, terlebih ketika sebagai planner kita hanya mengandalkan satu sumber data saja. Setidaknya perlu adanya second opinion untuk mengonfirmasi apakah tren yang terjadi memang hal yang wajar atau sebaliknya merupakan suatu keanehan.
Sebagai planner kita memang harus mendasarkan penyusunan rencana produksi terhadap data historis. Namun, bukan berarti hal itu membuat kita pasrah bongkokan dan menerima apapun data yang disajikan.
Adakalanya kita perlu menaruh kecurigaan terhadap data yang kita terima. Apapun bentuknya. Karena hal itu akan sangat menentukan sejauh mana bisnis diuntungkan atau dirugikan oleh rencana produksi yang kita buat.
Marketing merupakan ujung tombak bagi sebuah bisnis, sepakat? Dan sepertinya hal itu memang tidak perlu disangkal. Tanpa marketing, kecil kemungkinan bisnis akan meraih penghasilan. Tanpa penghasilan, bisnis tidak akan bisa dilanjutkan. Betul ? Jika tanpaproduction planning ?
Mengingat begitu vitalnya peran marketing bagi bisnis maka tidak sedikit pelatihan, seminar, ataupun pendidikan kilat yang menawarkan strategi khusus mengelola ranah ini. Dengan iming-iming besar bahwa penjualan akan melesat dan omset meningkat pesat.
Tips dan kiat khusus diperagakan untuk menyasar setiap target yang ditetapkan dalam berbagai metode ajar. Mulai dari mengenali karakteristik psikologi manusia sebagai elemen utama pasar, sampai dengan penggunaan alat bantu teknologi guna memaksimalkan strategi pra dan purna jual.
Apabila kuantitas penjualan bisa ditingkatkan dari pencapaian sebelumnya maka itu merupakan pertanda bahwa upaya yang ditempuh telah membuahkan hasil. Semakin pesat peningkatannya maka semakin baik.
Jumlah konsumen bertambah. Repeat order meningkat. Jumlah reseller berlipat-lipat. Singkat kata, upaya marketing telah mencapai tujuan awalnya.
Tapi, tunggu dulu. Dari semua omset penjualan yang didapatkan, berapa persennya yang bisa dikonversi menjadi keuntungan bersih? Berapa besar beban biaya yang mesti ditanggung dari total pendapatan bisnis pada kurun waktu tertentu?
Kita semua sepakat bahwa bisnis dibangun tidak hanya untuk bertahan satu hari saja, satu tahun saja, atau beberapa tahun saja. Melainkan selama mungkin. Bahkan kalau bisa hingga lintas generasi secara turun-temurun.
Agar hal itu dapat terlaksana tentu setiap unit bisnis harus memiliki kemampuan untuk bertahan mengarungi persaingan melintasi tantangan zaman. Dengan kata lain, bisnis harus sustain.
Merencanakan Beban Biaya
Salah satu potensi ancaman yang dapat menggerus potensi profit dari sebuah bisnis adalah beban biaya yang tak terkendali. Agar ancaman tersebut tidak sampai terjadi maka kita perlu melakukan langkah antisipasi.
Sebagaimana kita tahu bahwa cara terbaik untuk mengendalikan masa depan adalah dengan merencanakannya. Apa yang hendak diperbuat dalam bisnis haruslah melalui perencanaan yang matang. Bukan langkah sembrono yang tidak ditelaah dampak risikonya.
Sama halnya dengan aspek beban biaya pun juga perlu dibuatkan rencana yang memadai. Baik itu rencana biaya dalam artian alokasi pembiayaan untuk keseluruhan aktivitas bisnis ataupun yang secara spesifik menyasar ranah operasional sebagai penopang utama dalam menghasilkan produk.
Dalam hal ini kita akan coba membatasi ruang lingkupnya pada tataran aktivitas operasionalnya dulu dan bagaimana peran rencana produksi atau perencanaan produksi (production planning) dalam mengefisiensikan beban biaya inti.
Rencana produksi memang tidak secara langsung membuatkan kalkulasi beban biaya yang harus ditanggung sebuah bisnis. Hanya saja, rencana produksi akan cukup berperan dalam mengatur aktivitas produksi sehingga lebih ramah terhadap pembiayaan.
Semakin baik rencana produksi dirumuskan maka eksekusinya akan semakin mudah guna mencapai target operasional dari sisi ketepatan waktu produksi serta efisiensi biaya produksi. Demikian pula sebaliknya.
Harmoni Operasional
Dalam sejarah awal berdirinya McDonald (McD), speedy system menjadi kunci dari cara kerja restoran cepat saji ini melayani pelanggan. Speedy system melahirkan sebuah harmoni kerjasama antar bagian di dapur yang membuat burger, kentang goreng, dan milkshake sehingga memungkinkan produk tersebut langsung tersedia untuk pelanggan tidak sampai satu menit sejak pesanan dilakukan.
Situasi serupa bisa menjadi gambaran tentang peran production planning yang memungkinkan terjadi harmoni kerja antar beberapa bagian yang turut menopang penciptaan sebuah produk sehingga berjalan secara selaras, efektif, dan efisien.
Harmoni operasional semacam inilah yang secara tidak langsung menjadikan beban biaya bisa ditekan seiring optimalisasi proses berhasil dilakukan, downtime berhasil ditekan.
Antara “marketing” dan “production planning” ternyata harus saling berkolaborasi satu dengan yang lain supaya tujuan besar bisnis untuk mengoptimalkan raihan profit dapat tercapai secara optimal.
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib
NB : Anda juga bisa menemukan tulisan kami yang lainnya disini.
Buat apa sih repot-repot bikin rencana produksi? Lagian, produk usaha saya cuma satu jenis saja kok, memangnya masih perlu ya dibuatkan rencana produksinya ?
Jangan-jangan pemikiran seperti itu yang kini melayang di benak Anda. Betul?
Sah-sah saja anggapan seperti itu muncul karena pada umumnya memang rencana produksi dibuatkan untuk mendapatkan titik ideal aktivitas operasional dari beberapa item produk yang menunggu untuk dikerjakan.
Hanya saja perlu kita ingat disini bahwa rencana produksi bukanlah semata tentang banyak atau sedikitnya produk, melainkan tentang bagaimana sebuah proses produksi harus berjalan secara efisien dan tepat waktu.
Katakanlah setiap hari usaha yang Anda miliki mendapatkan pesanan dari konsumen sejumlah sekitar 10 unit produk. Apakah Anda akan melakukan produksi secara rutin setiap hari sejumlah 10 unit padahal kapasitas peralatan yang Anda punya untuk menghasilkan produk bisa mencapai 100 unit per hari?
Perencanaan produksi akan sangat membantu kita dalam memaksimalkan potensi sumber daya yang dimiliki agar optimal dalam penggunaan. Dengan begitu maka utilisasinya akan meningkat, efisiensi membaik, produktivitas bertambah, hingga biaya operasional pun bisa ditekan.
Ujung-ujungnya akan berdampak pada perolehan profit usaha. Karena seiring makin kecilnya cost operasional hal itu akan secara langsung meningkatkan profit usaha yang didapat. Right ?
Memetakan Permintaan
Salah satu hal yang paling sukar dipastikan dalam jalannya sebuah bisnis adalah permintaan pelanggan. Adakalanya permintaan tinggi, tapi tidak jarang nihil.
Bagaimanapun juga peran tim pemasaran sangatlah penting untuk menjaga kontinyuitas permintaan produk dari bisnis yang kita miliki, terlepas peran pemasaran tersebut kita lakukan sendiri ataupun ada tim khusus yang mengeksekusinya.
Beberapa produk yang tidak memungkinkan untuk diberlakukan sistem stok karena risikonya yang tinggi tentu harus dibarengi dengan rencana produksi yang selaras dengan hal itu. Begitupun sebaliknya manakala kita memiliki produk yang tingkat kontinyuitas permintaannya tinggi sehingga ada kesan “haram” untuk terjadi kekosongan stok.
Karakteristik permintaan semacam inilah yang perlu dipetakan agar aktivitas operasional bisa turut menyesuaian. Dengan kata lain, rencana produksi seperti apa yang akan dijalankan sangat bergantung pada hasil pemetaan yang kita lakukan terhadap karakteristik permintaan produk kita.
Sekadar informasi, ada beberapa karakteristik permintaan seperti Make to Stock (MTS), Make to Order (MTO), Assembly to Order (ATO), hingga Engineer to Order (ETO). Anda bisa menemukan banyak referensi terkait hal ini dan sekaligus menjadi wawasan berharga dalam mengelola rencana produksi operasional bisnis Anda kedepan.
Efisiensi dan Delivery
Efisiensi terkadang sering diabaikan oleh para pelaku usaha yang masih berkutat dengan upaya meningkatkan penjualan. Tidak peduli lini operasional babak belur asalkan bisa memenuhi sebanyak mungkin permintaan. Mendapatkan sebanyak mungkin penjualan.
Sehingga tidak sedikit dari pelaku bisnis itu yang terjebak pada kebiasaan tahu bulat. Yakni serba dadakan. Jikalau segala atribut penunjang siap mungkin tidak jadi soal, karena ketika ada permintaan tinggal langsung eksekusi.
Namun, ketika tidak ada persiapan samasekali maka proses pemenuhannya akan berlangsung lebih lama dan lebih panjang karena harus memulai semuanya dari nol.
Jadi, apakah semuanya mesti terencana dan tidak boleh ada permintaan secara mendadak? Tentu tidak seperti itu. Bagaimanapun juga permintaan dari konsumen adalah yang paling utama dan terpenting untuk menunjang eksistensi sebuah bisnis.
Keberadaan rencana produksi justru untuk meringankan beban itu. Mengupayakan setiap permintaan terpenuhi sesuai waktu yang diminta (on time delivery), namun disisi lain juga menjaga agar beban biaya tidak sampai boncos gegara operasional yang tidak efisien.
Dengan kata lain, rencana produksi tetap diperlukan biarpun sebuah bisnis hanya memiliki satu jenis produk saja. Harapannya adalah setiap permintaan dapat terpenuhi tepat waktu dengan biaya yang seefisien mungkin.