Sinergi Pajak, Beasiswa, dan Pendidikan Gratis : Mewujudkan Akses Pendidikan untuk Semua

Sinergi Pajak, Beasiswa, dan Pendidikan Gratis : Mewujudkan Akses Pendidikan untuk Semua

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 2 Tentang Hak Warga Negara menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Seiring ketentuan wajib belajar 12 tahun sebagaimana ditetapkan sejak 2015, maka kini setiap warga negara Indonesia (seharusnya) bisa merasakan pendidikan setidak-tidaknya hingga jenjang SMA secara gratis.

Beasiswa Memberikan Kesempatan Pendidikan Terjangkau | Ilustrasi gambar : ubl.ac.id

Akan tetapi, dalam praktiknya kita tahu bahwa situasinya masih belum ideal. Persentase tamatan sekolah di jenjang wajib belajar bahkan masih belum mencapai separuh jumlah penduduk kita. Menurut laporan Statistik Kesejahteraan Rakyat 2023 Badan Pusat Statistik (BPS), pemegang ijazah SMA di tahun lalu baru mencapai 30,22%, diikuti tamatan SD (24,62%), SMP (22,74%), lulusan perguruan tinggi (10,15%), tidak tamat SD (9,01%), dan yang tidak/belum sekolah (3,25%)[1].

Seandainya persentase pemegang ijazah pendidikan tinggi dan tamatan SMA digabungkan sekalipun, jumlahnya masih belum sampai 50%. Jika dibandingkan dengan negara Kanada yang pada tahun 2023 lalu 60% penduduknya berhasil menamatkan pendidikan tinggi, kita terlihat masih belum ada apa-apanya.

 Terkait hal ini, biaya pendidikan memang masih menjadi persoalan. Meskipun anggaran pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun, jumlahnya masih jauh dari cukup.

Pada tahun 2023, anggaran pendidikan Indonesia sebesar 612,2 triliun rupiah (+/- USD 40 miliar, kurs 15.000 rupiah per dollar), yang jika dibagi per kapita hanya sekitar USD 147. Bandingkan dengan Kanada, yang mana anggaran pendidikan negara tersebut kabarnya mencapai USD 51 miliar dengan jumlah penduduk 39 juta jiwa. Dengan demikian anggaran pendidikan per kapita Kanada mencapai USD 1.309 , atau hampir sembilan kali lipat anggaran pendidikan per kapita kita.

Dengan kondisi seperti ini, sulit mengharapkan pendidikan gratis akan dapat terealisasi di republik ini. Setidaknya dalam waktu dekat.

Meskipun situasinya tampak jauh sekali dari yang kita harapkan, program pendidikan gratis sebenarnya tetap berhasil direalisasikan hanya saja dalam lingkup terbatas melalui beasiswa.

Pemerintah memberikan berbagai beasiswa melalui kementerian dan lembaga, seperti Beasiswa Kemendikbudristek, Beasiswa Kemenag, hingga Beasiswa LPDP. Menurut Data BPS, pemberian beasiswa meningkat pesat dari 3,89% pada 2009 menjadi 20,14% pada 2021[2] . Jika tren ini terus berlanjut, maka akan semakin banyak warga Indonesia yang bisa menempuh pendidikan secara gratis atau dengan biaya ringan.

Pajak sebagai Sumber Dana Pendidikan

Pendanaan pendidikan, sangat bergantung pada penerimaan pajak. Menurut OCBC, 80% pendapatan negara diperoleh dari pajak. Mulai dari Pajak Penghasilan (PPH), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Bea dan Cukai, Pajak Bea Masuk dan Keluar, serta beberapa jenis pajak lainnya[3]. Ini berarti besaran beasiswa sangatlah dipengaruhi oleh penerimaan pajak.

Namun, sayangnya, penerimaan pajak di Indonesia masih belum maksimal. Salah satunya karena masih rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak[4]. Apabila kita menginginkan pendapatan yang lebih besar dari sektor pajak, maka tingkat kepatuhan inilah yang mesti diperbaiki.

Studi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkorelasi positif terhadap kepatuhan wajib pajak[5].  Ini menunjukkan bahwa meningkatkan pendidikan akan dapat membantu mengerek penerimaan negara dari pajak.

Siklus Positif antara Pajak dan Pendidikan

Pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar kesempatan kerja dan pendapatannya, yang pada akhirnya meningkatkan taraf ekonominya. Meski mungkin tidak bisa dipukul rata, akan tetapi orang-orang berpendidikan lebih baik umumnya akan berhasil menggapai kondisi ekonomi yang lebih baik pula dibanding mereka yang tidak atau kurang terdidik.

Misalnya, buruh kasar, kuli angkut, dan pekerja berat lainnya seringkali hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar. Jangankan untuk membeli rumah, sekadar untuk makan saja susah. Apalagi memikirkan bayar pajak ke negara.

Sementara itu, mereka yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki pekerjaan lebih baik dan pendapatan yang lebih tinggi. Seperti, pegawai negeri, karyawan kantoran, atau pemilik profesi lain dengan latar belakang pendidikan mumpuni.

Kelompok terdidik ini juga berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Setiap bulan mereka membayar Pajak Penghasilan (PPH) dari gaji. Ketika kondisi mereka semakin mapan, mereka membeli rumah yang setiap tahun harus dibayar PBB-nya. Ketika memiliki kendaraan, mereka membayar pajak kendaraannya. Bahkan saat berbelanja dan makan di restoran pun mereka dikenakan PPN.

Pajak yang diterima negara tersebut kemudian digunakan untuk menyokong pendidikan. Kemudian, pendidikan yang baik akan mendorong perbaikan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya akan menstimulus pendapatan negara melalui pajak, sehingga menciptakan siklus positif menuju kemajuan bangsa.

Sinergi antara pajak, beasiswa, dan pendidikan gratis sangat penting untuk meningkatkan akses pendidikan di Indonesia. Dengan meningkatkan penerimaan pajak dan alokasi anggaran yang lebih baik, diharapkan lebih banyak warga negara Indonesia dapat menikmati pendidikan berkualitas tanpa harus terbebani biaya tinggi.

Jadi, yuk lebih taat membayar pajak.!

Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib

Referensi:
[1] Data BPS 2023 – Tamatan Tingkat Pendidikan Warga Indonesia
[2] Data BPS 2022 – Penerima Beasiswa Berdasarkan Jenjang Pendidikan
[3] OCBC – Sumber Pendapatan Negara
[4] Pajakku – Alasan Rendahnya Penerimaan Pajak Indonesia
[5] Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi (JIMAT) Universitas Pendidikan Ganesha, “Pengaruh Tingkat Pendidikan, Kewajiban Moral dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor”, Vol: 11 No: 1 Tahun 2020, e-ISSN: 2614-1930