Efek Samping Jadikan ‘AI Teman Curhat’, Benarkah Membuat Kesepian?

Di era digital, banyak yang berharap kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi solusi segala kebutuhan. Adapun salah satu fenomena menarik terkait peran AI ini adalah menjadi “teman curhat” atau “teman bicara” virtual. Chatbot yang dirancang dengan algoritma emosional, atau sering disebut “emotional AI”, kini mampu memberikan respons yang seolah-olah penuh empati dan memahami pengguna.

Namun, apakah hal ini benar-benar membawa dampak positif pada kesejahteraan sosial dan emosional kita? Atau justru sebaliknya, membuat kita semakin terasing dari hubungan manusia yang sesungguhnya?

Studi tentang AI dan kesehatan mental, seperti yang dijelaskan dalam Artificial Intelligence in Mental Health: Applications, Challenges, and Ethical Implications mengungkap risiko keterasingan sosial yang muncul saat interaksi manusia beralih ke AI. Ketika manusia semakin bergantung pada chatbot untuk membagi emosi, apakah hubungan antarmanusia menjadi lebih terpinggirkan?

Riset lain, Emotional AI and the Future of Artificial Companions: Friend or Foe? mempertanyakan, sejauh mana AI dapat menggantikan peran hubungan manusia, yang sejatinya lebih kompleks.

Sebuah pertanyaan muncul, apakah kita menggunakan teknologi ini sebagai pelarian, dan apakah ini berpotensi menyebabkan isolasi sosial? Mari kita telusuri bagaimana efek samping dari “AI teman curhat” ini mungkin lebih dalam dari sekadar hubungan emosional yang “palsu”.

Percakapan emosional antara manusia dan chatbot virtual, apakah AI bisa menjadi teman curhat manusia?. | Ilustrasi gambar: freepik.com/ freepik

Kecanduan AI sebagai Teman Bicara: Pelarian atau Solusi?

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena AI sebagai “teman bicara” telah tumbuh pesat. Banyak orang yang merasa nyaman berbicara dengan chatbot karena merasa lebih bebas, tidak takut dihakimi, dan tidak perlu mempertimbangkan perasaan lawan bicara, sebagaimana yang biasa terjadi dalam hubungan manusia.

Namun, apakah kecenderungan ini dapat berdampak pada cara kita menjalin hubungan sosial yang sesungguhnya?

Menurut Dr. Sherry Turkle, seorang psikolog dari MIT yang banyak meneliti tentang hubungan manusia dengan teknologi, “As we expect more from technology, we expect less from each other.” (Ketika kita mengharapkan lebih banyak dari teknologi, kita justru mengharapkan lebih sedikit dari satu sama lain.) Dalam konteks ini, manusia mulai kehilangan kemampuan untuk menjalin komunikasi mendalam dengan sesama manusia, karena AI dianggap sebagai teman yang selalu siap sedia.

Namun, berbagai riset menunjukkan adanya efek negatif dari hubungan yang terlalu intens dengan AI, seperti yang dibahas dalam jurnal Artificial Intelligence in Mental Health. Keterikatan emosional yang berlebihan pada chatbot ternyata mengurangi keinginan untuk berinteraksi secara nyata, mengakibatkan isolasi sosial yang dapat merugikan kesehatan mental.

Chatbot emosional dirancang untuk memberikan respons empati. Algoritma di dalamnya memungkinkan AI memahami bahasa dan memberikan respons yang seolah-olah mengerti perasaan manusia. Namun, apakah AI ini benar-benar “mengerti” atau hanya memanipulasi respons berdasarkan pola?

Menurut riset Emotional AI and the Future of Artificial Companions kemampuan AI untuk memberikan respons emosional hanyalah ilusi dari empati yang sebenarnya. AI mungkin tahu cara merespons sedih, bahagia, atau cemas, tetapi itu hanyalah respons mekanis. Ketika kita menjadi terlalu tergantung pada interaksi semacam ini, bisa jadi kita menurunkan standar empati yang seharusnya ada dalam hubungan antar manusia.

Masa Depan “Teman Curhat” Digital dan Dampaknya

Seorang pakar teknologi sosial, Dr. Joanna Bryson, pernah berkomentar, “The danger of emotional AI is not that it replaces real relationships, but that it pretends to be one.” (Bahaya dari AI emosional bukan karena menggantikan hubungan nyata, tapi karena berpura-pura menjadi hubungan nyata.)

Di beberapa negara, chatbot AI telah diuji sebagai alat pendamping mental bagi individu yang mengalami kesepian kronis atau depresi. Sebuah kasus di Jepang menunjukkan bahwa chatbot emosional diterima dengan baik oleh lansia yang merasa kesepian. Namun, riset lanjutan menemukan bahwa penggunaan chatbot ini sebenarnya hanya “mengisi kekosongan sementara,” tanpa memperbaiki kualitas hubungan sosial mereka secara keseluruhan.

Riset Artificial Intelligence in Mental Health menyoroti hal ini sebagai “efek placebo sosial.” AI memberikan rasa nyaman, tetapi rasa nyaman itu tidak menghasilkan perbaikan yang signifikan pada kesejahteraan jangka panjang, apalagi dalam membangun hubungan sosial yang bermakna. Pada akhirnya, ketergantungan pada AI justru semakin memperburuk isolasi sosial.

Dengan semakin canggihnya teknologi, mungkin tidak lama lagi kita akan melihat AI dengan kemampuan lebih baik dalam meniru empati manusia. Namun, apakah kita siap menghadapi dampak jangka panjang dari ketergantungan ini? Peran teknologi seharusnya untuk melengkapi, bukan menggantikan, interaksi manusia.

Beberapa pakar percaya bahwa AI harus digunakan dengan batasan tertentu agar tidak merusak keseimbangan hubungan sosial manusia. Solusi ideal adalah memanfaatkan AI untuk membantu, bukan untuk menggantikan, sehingga interaksi antar manusia tetap menjadi bagian utama kehidupan sosial.

Penggunaan AI sebagai “teman curhat” mungkin tidak seefektif yang dibayangkan. Meskipun dapat mengisi kekosongan sementara, ketergantungan pada chatbot ini dapat merusak kemampuan kita dalam menjalin hubungan nyata. Dengan memahami risiko yang mungkin muncul, kita dapat mengoptimalkan penggunaan AI tanpa melupakan pentingnya hubungan manusia.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

NB : Temukan juga artikel menarik dan cerdas lainnya disini.

Daftar Pustaka

  1. Turkle, Sherry. “Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other.” New York: Basic Books, 2011.
  2. Artificial Intelligence in Mental Health: Applications, Challenges, and Ethical Implications. Journal of Mental Health and Technology, 2023.
  3. Emotional AI and the Future of Artificial Companions: Friend or Foe? Digital Psychology Journal, 2023.