Bonus demografi. Sebagaimana telah digaungkan oleh berbagai pihak bahwa Indonesia akan mengalami periode itu. Segera. Sebuah momen yang barangkali hanya terjadi satu kali saja dalam peradaban sebuah negara.
Beragam narasi diucapkan untuk mengingatkan betapa pentingnya momen itu. Apakah sebuah negara akan melesat naik atau sebaliknya terjun bebas menjadi bangsa yang terpuruk?
Selama ini, bonus demografi cenderung lebih sering dielu-elukan perihal potensi usia produktif warga negara yang mendominasi populasi. Dengan begitu maka laju pertumbuhan ekonomi akan ikut terdorong.
Padahal itu semua baru akan terjadi manakala kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) telah memenuhi syarat. Visi Indonesia Emas 2045 benar-benar akan terwujud jika dan hanya jika syarat serta ketentuan yang mengikutinya terpenuhi.
Bonus demografi bukan semata tentang kuantitas penduduk usia produktif, melainkan juga kualitas dari para penduduk itu sendiri.
Perihal kualitas ini secara sederhana bisa kita nilai dari satu aspek krusial, kecerdasan. Bukan sebatas kecerdasan intelektual saja, ada kecerdasan dari sisi emosional, pun kecerdasan dalam kaitannya dengan aspek spiritual mengingat kita sebagai bangsa yang bertuhan.
Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual
Berkaitan dengan tingkat kecerdasan intelektual, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sedang bermasalah dengan hal ini. Indeks IQ penduduk Indonesia hanya sebesar 78,49 menurut rilis data World Population Review.
Jauh sekali dari indeks IQ Singapura yang sudah mencapai 105,89. Padahal Singapura hanyalah setitik kecil jika dibandingkan dari sisi jumlah penduduk, kekayaan alam, kondisi geografis, dan sebagainya.
Satu fakta lain lagi, Singapura memiliki pendapatan per kapita mencapai 67.200 dollar AS pada tahun 2022 berbanding 4.850 dollar AS pendapatan per kapita Indonesia (katadata, 2022).
Dengan kondisi indeks IQ kita yang memang tertinggal jauh maka tidak mengagetkan manakala pendapatan per kapita Indonesia juga tertinggal.
Sedangkan dari sisi kemampuan minimum untuk memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar, 70% skor penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) siswa berusia dibawah 15 tahun menunjukkan masih berada dibawah standar.
Hal ini semakin menegaskan bahwasanya kualitas kecerdasan intelektual kita rendah. Dan hal ini tentunya bukan kabar baik untuk menopang gembar-gembor bonus demografi Indonesia.
Belum cukup sampai disitu, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menunjukkan bahwa sekitar 2% remaja wanita dan 8% remaja pria usia 15-24 tahun mengaku telah melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Sebagai bangsa yang mencap dirinya sebagai bangsa yang beragama, perilaku seks diluar nikah jelas-jelas menyalahi hukum-hukum keagamaan. Menyalahi prinsip spiritualitas yang menjunjung tinggi kepatuhan terhadap titah Sang Pencipta.
Pengabaian aturan-aturan suci agama yang menjadi landasan penting spiritualitas merupakan bukti nyata bahwa kecerdasan spiritualitas anak bangsa kita tengah berada di titik nadir. Sangat menghawatirkan.
Lantas bagaimana kabarnya dengan kecerdasan emosional? Sami ugi sami mawon. Sama saja. Sudah berapa banyak kasus kriminalitas yang melibatkan sisi emosi seseorang? Kekerasan. Pembunuhan. Saya rasa tidak perlu dipublikasikan datanya disini karena hanya akan menambah kegetiran kita saja.
Revolusi Mental atau Revolusi M(e)ntal ?
Boleh dibilang saya adalah salah satu orang yang terbuai dengan gagasan revolusi mental yang dulu sempat digaungkan oleh Presiden Jokowi saat hendak maju dalam kontestasi pilpres tahun 2014. Sepertinya hal itu menjanjikan perubahan besar khususnya terhadap peningkatan kualitas kecerdasan warga negara.
Apadaya, revolusi mental itu justru lebih tepat dikatakan revolusi m(e)ntal. Apa itu revolusi m(e)ntal ? Revolusi yang gagal, tidak berhasil mencapai sasaran. Terpental dari target yang ingin dicapai.
Justru yang terlihat sekarang adalah keterbelahan publik yang semakin kentara, khususnya di media sosial. Pada zaman sebelum Presiden Jokowi berkuasa, sekat perbedaan tidaklah begitu terasa seperti halnya sekarang.
Yang pro SBY, pro Megawati, atau kontra SBY, kontra Megawati tidak sampai beradu label kadrun, kampret, cebong, kodok, bekicot. Coba tengok bagaimana kondisinya sekarang.
Apakah benar revolusi mental telah benar-benar dijalankan, tidak dijalankan sama sekali, atau sudah dijalankan namun hasilnya justru memperburuk keadaan?
Memang ada andil media sosial disana, tapi bagaimanapun juga manusia tetaplah pemegang kendali utama. Dan ironisnya, manusia itu pulalah yang pada waktu-waktu mendatang diharapkan menjadi nahkoda dari kehadiran bonus demografi untuk negeri ini.
Pendidikan di Ruang Publik
Saya sempat berharap bahwa bersatunya Jokowi dan Prabowo sebagai ikon yang merepresentasikan keterbelahan pandangan publik pada masa pilpres 2014 dan 2019 akan mengakhiri polariasasi.
Ternyata hal itu tidak pernah terwujud. Polarisasi masih saja terjadi dan tetap bertahan sampai sekarang. Entah karena keadaan atau memang sengaja dikondisikan seperti itu oleh segelintir orang. Dengan motif dan tujuan.
Ruang publik kita lebih banyak dipenuhi dengan narasi caci maki manakala ada perbedaan sudut pandang persoalan. Bukan adu gagasan yang dilandasi data dan fakta. Argumen dikatakan berdasarkan sentimen cetek yang mengabaikan nalar kritis manusia yang sebenarnya memiliki anugerah akal sehat.
Media sosial sebagai manifestasi terkini dari ruang publik jarang diisi dengan pertukaran gagasan yang mendidik. Data dan fakta cenderung diabaikan. Kalah oleh argumentasi “pokoknya” yang entah menjadikan apa sebagai dalilnya.
Minim sekali kalau tidak bisa dibilang nihil pendidikan yang bisa kita serap dari “diskusi” ruang publik. Karena yang ada hanyalah perkataan kering kerontang berisi caci maki dan bully. Padahal, ruang publik telah menjadi ruang pendidikan kita yang masuk dalam kategori bonus demografi.
Apabila ruang pendidikannya sudah carut marut maka manusia yang digadang-gadang sebagai bonus demografi tersebut telah memperoleh pendidikan jauh dari kata layak.
Jika sudah seperti itu maka masihkah kita bisa berharap bahwa bonus demografi kita benar-benar akan membuahkan hasil bahagia? Perlukah kita koreksi narasi optimsime berkaitan dengan bonus demografi itu?
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib