Kebijakan Makroprudensial, Visi Indonesia Maju, dan Ekonomi Hijau

Tahun 2045 akan menjadi momen penting bagi Bangsa Indonesia karena kita akan merayakan seratus tahun masa kemerdekaan. Periode panjang tersebut seharusnya memberikan cukup waktu kepada bangsa ini untuk mewujudkan visi Indonesia Maju sebagaimana dicita-citakan oleh para pemimpin bangsa terdahulu, terutama dalam hal kemajuan perekonomian.

Namun, kita harus mengakui bahwa realisasi dari konsep tata tentrem kerta raharja atau negara yang tertib, damai, sejahtera, dan berkecukupan dalam segala hal ternyata masih jauh dari harapan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022 mencatat bahwa sekitar 9,57% atau 26,36 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, dengan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp 535.547 per bulan[1].

Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada tahun 2022 telah mencapai Rp 71 juta atau US$ 4.783,9, ternyata angka tersebut masih jauh dari standar PDB per kapita negara maju[2].

Menurut Bank Dunia, untuk dikategorikan sebagai negara maju atau negara berpendapatan tinggi, PDB per kapita suatu negara harus di atas US$ 12.235[3]. Dengan kata lain, saat ini kita masih tertinggal hampir tiga kali lipat dari standar tersebut.

Dalam situasi semacam ini, muncul pertanyaan apakah visi Indonesia Maju masih bisa tercapai pada tahun 2045 mendatang?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu memeriksa antara realitas yang terjadi dan target yang sudah dicanangkan.

Pertama, mari kita melihat target yang realistis antara waktu sekarang hingga menjelang tahun 2045.

Melalui perhitungan pertumbuhan ekonomi tahunan berdasarkan PDB per kapita dari tahun ke tahun, kita dapat memperkirakan persentase pertumbuhan ekonomi yang diperlukan oleh Indonesia agar dapat mencapai target PDB per kapita pada tahun 2045.

Rumusannya yaitu :

Persentase Pertumbuhan Ekonomi Tahunan = [(Pendapatan per Kapita Tahun 2045 / Pendapatan per Kapita Tahun 2022)^(1/Jumlah Tahun)] – 1

Dengan menggunakan rumus ini, kita dapat menghitung persentase pertumbuhan ekonomi tahunan yang diperlukan:

Jumlah Tahun = 2045 – 2022 = 23.

PDB per kapita 2022 = US$ 4.783,9

Target PDB per kapita 2045 = US$ 12.235

= [(US$ 12.235 / US$ 4.783,9)^(1/23)] – 1

= [(2,5564)^(0,04348)] – 1

= 1,0585 – 1

= 0,0585

Jadi, persentase pertumbuhan ekonomi tahunan yang diperlukan adalah sebesar 5,85% agar target PDB per kapita negara maju pada tahun 2045 tercapai.

Persentase ini juga sejalan dengan pernyataan Direktur Lingkungan Hidup dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Bappenas, Bapak Medrilzam, dalam seminar “Transisi Ekonomi Hijau” di awal tahun 2022.

Beliau menyatakan bahwa untuk mencapai PDB per kapita sebesar US$ 12.000 – US$ 13.000, Indonesia harus mencapai pertumbuhan ekonomi 6% per tahun[4].

Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menurut BPS adalah sebesar 5,31%[2]. Meskipun angka ini lebih tinggi daripada tahun 2021 (3,70%), pencapaian tersebut masih belum memenuhi target 6% atau bahkan 5,85%.

Dan untuk selanjutnya, kita perlu menaruh harapan tinggi pada sektor ekonomi keuangan hijau agar mampu mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari sekarang.

Saat ini, ekonomi keuangan hijau semakin menjadi acuan dalam praktik keuangan negara-negara di seluruh dunia, terutama yang terlibat dalam kesepakatan Paris (Paris Agreement).

Pemerintah Indonesia sendiri telah meluncurkan berbagai inisiatif dan stimulus ekonomi keuangan hijau, seperti program pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, pengurangan emisi karbon, dan penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam industri.

Selain itu, pemerintah juga terus memperkuat peraturan dan kebijakan yang mendukung sektor ekonomi hijau, memberikan insentif fiskal bagi investasi dalam sektor tersebut, dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan lingkungan kepada semua pihak.

Indonesia memiliki potensi besar di sektor ekonomi hijau, seperti energi baru terbarukan (EBT) dengan potensi kelistrikan dari matahari mencapai 207,8 Giga Watt (GW), sumber daya air (75 GW), angin (60,6 GW), bioenergi (32,6 GW), panas bumi (23,9 GW), dan arus laut (17,9 GW)[5].

Selain itu, potensi kredit karbon Indonesia mencapai 113,18 gigaton CO2e, yang dapat menghasilkan pendapatan sekitar US$ 565,9 miliar atau sekitar Rp 8.000 triliun melalui perdagangan karbon[6].

Belum lagi sektor pertanian dan pariwisata ekologi yang juga memiliki potensi besar.

Jika potensi ini dikelola dengan optimal akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 6% per tahun, menciptakan jutaan lapangan kerja baru, dan mengurangi miliaran ton emisi gas rumah kaca.

Namun, potensi besar tersebut masih belum terberdayakan secara optimal karena adanya ketimpangan aliran investasi antara negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara maju.

Menurut Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, hanya satu per lima saja investasi energi hijau yang masuk ke negara berkembang. Selebihnya, masih dinikmati oleh negara-negara maju[7].

Jika situasi ini dibiarkan berlanjut maka negara maju akan semakin maju sementara negara berkembang seperti Indonesia hanya akan jalan ditempat atau bahkan terpuruk pada suatu saat.

Padahal, optimalisasi investasi di sektor ekonomi hijau inilah harapan terbesar kita untuk terus mengerek pertumbuhan ekonomi nasional sehingga mencapai target yang diinginkan.

Maka, kegetolan pemerintah Indonesia dalam menarik minat investor memang cukup bisa dimaklumi.

Misalnya rangkaian kunjungan dari beberapa elit negeri beberapa waktu lalu yang rela jauh-jauh mendatangi Elon Musk di Amerika Serikat dengan misi agar sang triliuner mau berinvestasi pabrik batreai dan atau mobil listrik di Indonesia. 

Barangkali keberadaan undang-undang cipta kerja yang kontroversial juga menjadi salah satu regulasi andalan untuk mengupayakan masuknya aliran investasi pemodal asing ke dalam negeri.

Bagaimanapun, faktor investasi ini bisa dibilang sangat krusial karena berperan besar membantu peningkatan lapangan kerja, mendorong produktivitas, dan memantik inovasi. Terutama investasi yang ditanam pada sektor-sektor strategis dan potensial.

Dengan begitu maka pertumbuhan ekonomi yang dicita-citakan akan lebih mungkin terlaksana.

Aktivitas-aktivitas yang bertujuan memutar roda perekonomian atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara apapun bentuknya tentu tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa kendali.

Stabilitas ekonomi juga perlu menjadi fokus utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung oleh ekonomi hijau. Dalam hal ini, kebijakan makroprudensial memainkan peran strategis untuk meminimalkan risiko keuangan, menjaga stabilitas sistemik, dan mengendalikan risiko makro lainnya.

Nicholas Stern dalam bukunya “The Economics of Climate Change: The Stern Review” menyatakan bahwa risiko finansial perlu dikelola oleh otoritas keuangan melalui kebijakan makroprudensial yang tepat.

Saat ini, selama proses transisi dari ekonomi konvensional menuju ekonomi hijau, akan muncul tantangan dan risiko terkait dengan perubahan tersebut. Perubahan regulasi dari pro konvensional ke pro lingkungan dapat melahirkan risiko keuangan, mempengaruhi nilai aset dan kredit yang dimiliki oleh lembaga keuangan, serta menantang kredibilitas korporasi dan kesesuaian teknologi.

Oleh karena itu, kerjasama antar lembaga keuangan, regulator, dan pemerintah diperlukan untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan risiko lingkungan yang mungkin timbul.

Sehingga proses transisi menuju kemajuan ekonomi sekaligus aktivitas ekonomi yang ramah emisi (net zero emission) bisa berjalan secara smooth dan nyaman bagi semua pihak.

Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Maju tahun 2045, penting bagi pemerintah Indonesia untuk mendorong sektor ekonomi hijau, mengurangi risiko lingkungan, dan memperkuat kerjasama antara lembaga keuangan serta regulator.

Upaya-upaya ini akan membantu mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, serta mewujudkan visi Indonesia sebagai negara yang tertib, damai, sejahtera, dan makmur bagi seluruh rakyatnya.

Sementara disisi lain kita juga turut menyelamatkan nasib bumi beserta penghuninya seiring cara hidup yang menjadi lebih ramah lingkungan melalui praktik ekonomi hijau.

Semoga.

Agil Septiyan Habib

Maturnuwun

Refferensi :

[1] https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/01/16/2015/persentase-penduduk-miskin-september-2022-naik-menjadi-9-57-persen.html

[2] https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/02/06/1997/ekonomi-indonesia-tahun-2022-tumbuh-5-31-persen.html

[3] https://www.cnbcindonesia.com/news/20230210070349-4-412644/pak-jokowi-lupakan-mimpi-ri-jadi-negara-maju?page=all

[4] https://money.kompas.com/read/2022/01/06/172606926/investasi-hijau-ciptakan-44-juta-lapangan-kerja-baru-di-indonesia-pada-2030?page=all

[5] https://www.kompas.id/baca/riset/2021/11/23/meneguhkan-komitmen-masa-depan-ekonomi-hijau

[6] https://ekonomi.bisnis.com/read/20220315/9/1510884/indonesia-berpotensi-raup-pendapatan-rp8000-triliun-dari-perdagangan-karbon

[7] https://mediaindonesia.com/ekonomi/504654/bahlil-ungkap-ada-ketimpangan-aliran-investasi-hijau