Disuruh Ganti Rugi Gegara Salah Perencanaan Produksi

Halah… Paling-paling kerjaannya planner cuma bikin hitung-hitungan di depan komputer doang. Enak, gak perlu capek-capek ngeluarin keringat. Kerjaan santai, cuma duduk aja. Kerja jadi planner risikonya kecil, tidak seberapa dibandingkan orang lapangan.”

Kalau ada yang menganggap profesi planner tidak punya risiko berarti maka saya siap untuk beradu debat membantah hal itu. Karena sependek yang pernah saya alami semasa menggeluti profesi ini sudah beberapa kali saya merasakan situasi was-was dan penuh kekhawatiran.

Salah perencanaan merupakan risiko menjadi planner yang bisa sangat menjatuhkan psikis | Ilustrasi gambar : pixabay.com / geralt

Memang, risikonya tidak menyasar fisik secara langsung. Melainkan menginvasi psikis atau psikologis seorang planner manakala dalam menjalankan perannya secara langsung atau tidak langsung telah membuat rencana produksi yang salah.

Dalam situasi yang cukup ringan mungkin berhadapan dengan teguran dan amarah bos merupakan hal yang lumrah. Namun, bagaimana jika sudah berhadapan dengan ancaman harus membayar ganti rugi yang nominalnya mencapai jutaan rupiah?

Inilah yang pernah saya alami beberapa tahun lalu. Yakni ketika rencana produksi yang saya buat ternyata mengalami cacat informasi sehingga terpaksa menghasilkan eksekusi yang salah juga. Pada akhirnya, produk yang diselesaikan tidak sesuai dengan permintaan karena mengalami perbedaan spesifikasi dari yang seharusnya disiapkan.

Kepercayaan memang mahal harganya. Meskipun dalam pekerjaan menaruh kepercayaan kepada rekan kerja bisa jadi sangat membantu jalinan kerjasama kedua belah pihak yang terlibat.

Sayangnya, waktu itu kepercayaan yang saya gantungkan kepada rekan kerja di bagian lain justru membuat saya salah langkah. Saya yang kadung berasumsi bahwa informasi yang disajikan telah memenuhi syarat meskipun belum dibakukan dalam bentuk dokumen resmi, harus membayar mahal asumsi tersebut.

Dalam sebuah komunikasi lisan via telepon saya sempat mengonfirmasi bahwasanya jenis material tertentu akan dipergunakan untuk memproduksi suatu jenis produk. Sialnya, apa yang ada di benak saya terkait kriteria material tersebut sebenarnya berbeda dengan yang ada di benak rekan kerja saya (bagian marketing) tadi. Hanya saja ketika komunikasi itu dilakukan kami sama-sama belum menyadari.

Pada alur penciptaan sebuah produk, urut-urutannya adalah marketing berkomunikasi dengan RnD, untuk selanjutnya merilis requirement dari material apa saja yang diperlukan. Nah, di dalam list requirement tersebut sebenarnya sudah terjadi kesalahan data yang ironisnya tidak kami sadari satu sama lain. Karena kebetulan produk yang hendak diproduksi 90% mirip dengan produk sebelumnya. Sekadar berbeda isi saja.

Pada saat saya membuat rencana produksi dan menginformasikannya kepada tim lapangan untuk mengeksekusi ternyata baru disadari bahwasanya terdapat “keanehan” pada produk yang dihasilkan.

Kemasannya tampak lebih besar. Bahkan kemasan yang lainnya sudah memiliki identitas khusus yang mengarah spesifik untuk buyer tertentu. Alhasil, ketika jumlah yang diminta telah siap sesuai pesanandan hendak dimuat menuju container ternyata kubikasinya berlebih. Padahal secara teori harusnya jumlah pesanan tersebut muat untuk mengisi container.

Disinilah kemudian baru disadari bahwa kemasan yang dipakai ternyata salah. Mengetahui hal itu, tim pemasaran pun langsung menganulir pengiriman demi menghindari dampak yang lebih besar.

Namun, pembatalan itu sendiri juga sudah memicu kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Kalau diperkirakan jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta.

Siapa yang harus menanggung kerugian besar tersebut? Besar kemungkinan kamilah yang harus menerima akibatnya.

Pada waktu itu akhirnya diketahui bahwa kesalahan memang terjadi secara berjamaah. Ada ketidaksinkronan informasi antara beberapa bagian yang terlibat untuk membidani sebuah produk.

Terlebih, sebagian atau semua pihak yang terlibat sama-sama terjebak asumsinya masing-masing. Saling menyepakati padahal memiliki interpretasi yang berbeda satu dengan yang lain.

Disinilah saya menyadari peran dokumentasi resmi begitu krusial.  Adanya rujukan bersama yang dikeluarkan oleh satu bagian tertentu akan menjadi panduan untuk melangkah bagi bagian yang lain.

Saya tidak bisa membayangkan andaikata kesalahan waktu itu benar-benar hanya terjadi oleh peran saya sebagai planner seorang diri. Pasti akan sangat berat untuk menanggung akibat dari kesalahan perencanaan tersebut. Pemotongan gaji. Tercorengnya rekam kinerja.

Namun, saya bersyukur waktu itu perusahaan masih berkenan memberikan solusi yang lebih bersahabat. Kesalahan ditanggung bersama-sama dan tidak perlu membayar ganti rugi. Cukup dengan membantu menjadi “tim pemasar dadakan” untuk menjual “produk gagal” tersebut sehingga bisa meminimalisir kerugian yang ditimbulkan.

Padahal, pekerjaan planner hanya mengutak-atik data di depan layar komputer. Melakukan perhitungan tambah kurang bagi kali. Tapi, siapa sangka. Kesalahan informasi kecil bisa menjadi sebab kerugian yang sangat besar.

Apadaya, itulah risiko pekerjaan.

Maturnuwun.

Agil Septiyan Habib