Peran data historis dalam penyusunan rencana produksi sangatlah krusial untuk menentukan hasil akhir dari rencana produksi. Tepat tidaknya rencana produksi akan sangat ditentukan oleh input-an data awalnya. Jika sudah salah diawal maka bisa besar dampaknya kebelakang.
Di dalam lingkungan korporasi yang sudah mapan pembagian peran dan tugasnya, planner atau bagian perencana produksi umumnya mendapatkan input-an order dari bagian pemasaran. Data itu bisa berupa proyeksi yang mempertimbangan situasi dan kondisi sekitar, maupun dari adjustment terhadap data historis penjualan beberapa periode waktu terakhir.
Memang harus diakui bahwa data historis bisa menjadi panduan yang handal untuk memperkirakan besaran order di waktu-waktu mendatang. Deviasinya mungkin tidak terlalu besar jika dipergunakan sebagai acuan.
Maka tidak mengherankan apabila metode peramalan permintaan (forecasting) senantiasa menjadikan data historis sebagai panduan. Meskipun teknis pendekatannya cukup berbeda satu dengan yang lain (metode moving average, regresi linier, dan sebagainya), semua pendekatan tersebut sama-sama mempergunakan data historis sebagai rujukan perhitungan.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan yang diutarakan oleh salah seorang direktur sales di tempat saya bertugas sebagai planner yakni bahwasanya tren sales itu cenderung “halus”. Dengan kata lain, tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu frontal antara periode sekarang dengan periode sebelumnya atau antara periode sekarang dengan periode berikutnya.
Jika permintaan naik maka naiknya perlahan, dan kalaupun turun terjadinya juga perlahan.
Apabila sampai terjadi perubahan yang drastis biasanya disebabkan oleh sesuatu yang “tidak biasa”. Hal ini pernah saya alami beberapa kali dimana terjadi peningkatan permintaan secara drastis di salah satu bulan tertentu.
Ternyata itu disebabkan oleh adanya even penjualan seperti pameran, promo, dan sejenisnya di bulan tersebut. Sehingga membuat seolah-olah terjadi peningkatan permintaan secara drastis padahal belum tentu demikian.
Urgensi Kroscek
Kondisi semacam ini apabila tidak diperhatikan akan membuat kitasalah paham. Dikira permintaan melonjak sehingga jumlah stok barang ditingkatkan, belanja material ditambah, tenaga karja ditambah, dan seterusnya. Padahal peningkatan itu hanyalah semu.
Data historis bisa menjadi jebakan yang merugikan apabila tidak dikorek secara komprehensif. Tidak bisa kita begitu saja langsung percaya terhadap tran data yang menunjukkan gelagat tidak seperti biasanya.
Justru sebagai planner harus kritis manakala anomali semacam itu terjadi. Memerika kembali apakah tren peningkatan atau penurunan drastis tersebut berulang di periode yang lain atau hanya di periode tertentu saja.
Hal ini sangat mungkin terjadi, terlebih ketika sebagai planner kita hanya mengandalkan satu sumber data saja. Setidaknya perlu adanya second opinion untuk mengonfirmasi apakah tren yang terjadi memang hal yang wajar atau sebaliknya merupakan suatu keanehan.
Sebagai planner kita memang harus mendasarkan penyusunan rencana produksi terhadap data historis. Namun, bukan berarti hal itu membuat kita pasrah bongkokan dan menerima apapun data yang disajikan.
Adakalanya kita perlu menaruh kecurigaan terhadap data yang kita terima. Apapun bentuknya. Karena hal itu akan sangat menentukan sejauh mana bisnis diuntungkan atau dirugikan oleh rencana produksi yang kita buat.
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib