Siapa yang Lebih Kuat dalam Mengatasi Stres, Logika atau Emosi ?

Setiap kali kita merasa stres, ada dua suara dalam kepala kita. Satu berkata, “Tenang, kamu bisa mengatasi ini.” Ini adalah logika yang berbicara. Di sisi lain, ada suara kedua yang berteriak, “Aduh! Gimana nih? Semuanya berantakan!” Nah, itulah si emosi.

Konflik antara logika dan emosi ini terjadi setiap hari, terutama saat menghadapi tekanan seperti deadline yang mendesak, pertengkaran dengan orang terdekat, atau situasi mendadak yang bikin terdesak.

Menurut Daniel Kahneman, seorang ahli psikologi peraih Nobel, otak manusia mempunyai dua “mode” pemrosesan informasi yang disebut dual-process theory. Mode pertama disebut “sistem 1”, yang cepat dan otomatis, beroperasi dengan emosi dan insting. Di sisi lain, ada mode kedua yang disebut “sistem 2”, yang lebih lambat dan penuh perhitungan, bekerja dengan logika dan analisis mendalam.

Saat stres datang, biasanya Sistem 1-lah yang langsung aktif lebih dulu, membuat kita bereaksi tanpa berpikir panjang. Ibaratnya, ketika kamu melihat cicilan kartu kredit sudah jatuh tempo, Sistem 1 mungkin bilang, “Aduh, aku bangkrut!” Padahal, kalau Sistem 2 diberi waktu untuk berpikir, jawabannya mungkin lebih kalem: “Oke, ayo atur ulang keuangan.”

Tapi, meski seringkali dianggap bertolak belakang, logika dan emosi sebenarnya bisa bekerja sama. Bagaimana caranya? Disini kita akan mengupas tuntas sinergi antara keduanya dengan pendekatan ilmiah dari teori dual-process. Jadi, siap-siap menemukan cara unik mengatasi stres yang nggak cuma rasional, tapi juga bisa bikin hati lebih tenang.

Emosi, Si Reaksi Kilat yang Kadang Berlebihan

Ketika berhadapan dengan situasi mendadak—misalnya ketika atasan tiba-tiba minta laporan dalam waktu satu jam—Sistem 1 akan langsung aktif. Tanpa berpikir panjang, tubuh kita bereaksi dengan lonjakan adrenalin: jantung berdetak lebih kencang, napas semakin cepat, dan tangan mungkin mulai berkeringat. Ini adalah bentuk reaksi emosional, yang bisa membantu kita bertindak cepat dalam situasi darurat.

Di zaman purba, reaksi cepat seperti ini sangat berguna ketika manusia menghadapi ancaman nyata, seperti predator atau musuh. Sistem 1 memacu kita untuk lari atau melawan. Namun, di zaman modern, ancaman seperti ini berubah bentuk menjadi hal-hal seperti email urgent atau pesan dari bos di luar jam kerja. Meski situasinya tidak terlalu mengancam secara fisik, otak kita tetap bereaksi seperti sedang dikejar singa. Ini yang membuat emosi seringkali terpicu stres berlebihan.

Sistem 1: Reaksi cepat tak selalu tepat. Kadang email saja bikin deg-degan seperti ketemu singa! | Ilustrasi gambar : creativemarket.com

Uniknya, dalam beberapa situasi, emosi ini bisa memberi keuntungan juga. Ketika dihadapkan pada keputusan cepat, Sistem 1 membantu kita untuk langsung bertindak tanpa harus menganalisis terlalu lama. Tapi, karena cepatnya proses ini, sering kali kita terlalu bergantung pada emosi. Hasilnya? Keputusan yang impulsif, seperti membalas email marah dari klien tanpa berpikir dua kali.

Logika, Si Pemikir Lamban yang Bikin Hidup Lebih Tenang

Setelah Sistem 1 bereaksi, biasanya Sistem 2 muncul sebagai “si penyelamat”. Saat situasi sedikit tenang, otak kita mulai bekerja lebih logis. Sistem 2 meminta kita untuk berhenti sejenak dan menganalisis keadaan: “Apakah email tadi benar-benar mendesak?” atau “Apakah perlu langsung panik hanya karena satu pesan dari atasan?

Kelebihan Sistem 2 adalah kemampuan berpikir jangka panjang. Di saat Sistem 1 cenderung hanya memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah dalam waktu singkat, Sistem 2 memberi ruang bagi kita untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan solusi. Ini seperti perbedaan antara lari marathon dan sprint—yang satu lebih membutuhkan ketahanan dan strategi, yang lain fokus pada kecepatan.

Namun, jangan salah. Sistem 2 juga bisa bikin kita stres kalau terlalu lama berpikir. Pernah merasa overthinking? Itu karena Sistem 2 mengambil alih terlalu lama, menganalisis setiap detil sampai akhirnya kita bingung sendiri. Misalnya ketika mendebat diri sendiri tentang apakah harus makan malam jam 6 atau 6:15. Di sinilah dibutuhkan keseimbangan antara emosi dan logika. Jangan biarkan satu sistem bekerja terlalu lama tanpa melibatkan yang lain.

Sinergi Emosi dan Logika: Kuncinya Bukan Salah Satu, Tapi Keduanya

Bayangkan kalau kamu bisa memanfaatkan kecepatan emosi sekaligus kejernihan logika. Ini mungkin terdengar sulit, tapi sebenarnya dengan latihan, kamu bisa melatih otak untuk lebih sering menggunakan kedua sistem tersebut secara bersamaan.

Ketika Sistem 2 mulai bekerja, stres lebih mudah dikelola. | Ilustrasi gambar : scientificamerican.com

Sebagai contoh, ketika dihadapkan dengan situasi yang menegangkan, alih-alih langsung bereaksi secara emosional, kamu bisa melatih diri untuk berhenti sejenak dan mengaktifkan Sistem 2. Misalnya, saat membaca pesan WhatsApp dari pasangan yang bilang, “Kita harus bicara,” emosi mungkin langsung menyuruhmu panik. Tapi, jika kamu mencoba menenangkan diri dan berpikir secara logis, kamu bisa menyadari bahwa “kita harus bicara” mungkin saja artinya hal positif.

Stres sebenarnya adalah sinyal dari tubuh bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan. Emosi adalah alarm, sedangkan logika adalah strategi penanggulangan. Jika kamu bisa menyelaraskan keduanya, maka solusi yang dihasilkan akan lebih efektif dan membuatmu lebih tenang.

***

Kahneman telah menunjukkan kepada kita bahwa emosi dan logika adalah dua sisi dari koin yang sama. Alih-alih mencoba memisahkan keduanya, sinergi antara Sistem 1 dan Sistem 2 justru bisa menjadi solusi paling efektif dalam mengatasi stres. Saat emosi memberikan peringatan dini, logika membantu kita merespons dengan cara yang tepat.

Jadi, jangan remehkan emosi, tapi jangan pula terlalu mengandalkan logika. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan yang pas di antara keduanya.

Jadi, kalau kamu sedang panik karena bos kirim pesan di tengah malam, coba ingat-ingat: Barangkali itu cuma ajakan untuk main bulu tangkis saja.

Sudah saatnya berhenti membiarkan stres menguasai hidupmu. Dengan RISAUNAL, kamu bisa memahami sinergi antara logika dan emosi, serta menemukan cara praktis mengatasi kerisauan sehari-hari. Jangan biarkan pikiranmu terus terjebak! Klik link ini dan jadilah versi terbaik dirimu yang lebih tenang, fokus, dan siap menghadapi tantangan hidup!

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib