Hari pencoblosan memang sudah selesai untuk sebagian wilayah Indonesia, meskipun mungkin ada sebagian wilayah lain yang harus melakukan pemilu susulan karena sesuatu hal. Klaim kemenangan salah satu kandidat berdasar hasil quick count beberapa waktu lalu tidak bisa dipungkiri memang cukup mempengaruhi kondisi psikologis para simpatisan pilpres yang “kalah”. Sesak di dada, patah hati, marah, dan kecewa melihat keadaan tampak jelas terpampang di berbagai lini masa. Ada trauma pilpres yang melanda.
Apalagi ketika luka itu justru disiram air garam oleh simpatisan lain yang mengklaim kelompok mereka sebagai pemenang. Sampai-sampai ada yang mengatakan menyesal ikut memilih dan enggan untuk terlibat lagi dalam pesta demokrasi berikutnya.
Proses politik yang penuh intrik dalam balutan pesta demokrasi tahun ini tidak bisa dipungkiri memang telah memantik banyak kekecewaan bahkan trauma bagi sebagian kalangan. Trauma pilpres. Khususnya para simpatisan yang secara terang-terangan mendeklarasikan pilihannya kepada khalayak.
Tapi, tentu kita tidak bisa terus-menerus menunduk dalam keterpurukan. Terlebih trauma berkepanjangan. Berpihak kepada kandidat tertentu bukan suatu hal yang salah. Hanya saja ada saatnya bagi kita untuk memutus keterikatan yang terlalu kuat itu.
Mungkin kita bisa merenungi tweet dari Komika Sammy Notaslimboy melalui unggahan di akun X-nya, “Posisi saya selalu sama. Sebelum pemilu, mendukung yang paling sejalan. Selesai, menagih ke pemenang.”. Menguntungkan, bukan?
Sssstt… Tapi saya terlanjur trauma dan tidak bisa menerima keadaan ini. Kecurangan terpampang dimana-mana. Masa, kandidat yang terjun ke rakyat justru kalah oleh mereka yang berlindung dibalik ketiak kekuasaan?
Sudah, sudah. Daripada kalian galau terus dan meratapi trauma pilpres, lima tips ini perlu dicoba agar bisa move on dari keadaan sekarang.
Fokus Ulang Niat Memilih
Apa niatan kita saat pertama kali memutuskan untuk memilih salah satu kandidat? Apakah agar supaya menang atau semata karena merekalah figur yang paling merepresentasi pikiran kita?
Jika niatannya adalah yang pertama, untuk menang, maka sepertinya perlu ada yang diluruskan kembali dari niatan kita turut serta dalam pemilu. Karena bagaimanapun tidak ada jaminan untuk menang bagi kandidat tertentu. Bisa jadi juga si pemenang ternyata membawa visi misi yang bertolak belakang dengan keinginan kita.
Yang lebih tepat adalah bahwa pemilu itu untuk memilih siapa yang dirasa paling sesuai dan paling cocok dengan padangan kita. Kita memilih seseorang untuk mewakili pikiran kita, gagasan kita, keinginan kita.
Hal ini yang perlu kita tilik lagi manakala rasa kecewa dan trauma pilpres melanda.
Ubah Kecewa Menjadi Karya
Saya pribadi termasuk orang yang kecewa melihat hasil quick count. Inginnya tidak percaya, tapi framing media terlalu kuat untuk dilawan. Harapan masih menyala, hanya saja cukup dijaga dalam hati. Serta sedikiti percikan doa untuk merawat asa. Syukur-syukur bisa menjadi nyata.
Hari H pencoblosan, terutama saat pengumuman hitung cepat terasa sangat menyebalkan. Saya mencoba menuangkan kekecewaan tersebut melalui tulisan yang berisi tentang keluh kesah serta kegelisahan terhadap realitas pesta demokrasi.
Menuangkan harapan lewat tulisan, juga kekecewaan, juga kekhawatiran, dan lain sebagainya. Pada intinya semua yang memenuhi isi kepala coba saya tuangkan dalam beberapa baris kalimat untuk menjadi sebuah artikel.
Bukan artikel luar biasa memang. Hanya beberapa ratus kata dan beberapa puluh kalimat. Setidaknya hal itu bisa sedikit meringankan beban di benak saya yang masih dirundung kecewa.
Percaya Pada Yang Kuasa
Harapan saya tidak sepenuhnya terkubur pasca deklarasi kemenangan (versi quick count) dari salah satu kandidat. Meskipun kecil peluang untuk berharap pada panitia penyelenggara pemilihan, toh saya masih memiliki satu Dzat yang tidak mungkin luput pengawasan-Nya.
Sang Maha Pencipta yang menguasai segala sesuatu. Terpilih tidaknya kandidat yang saya dukung sepenuhnya menjadi hak prerogatif-Nya. Seculas apapun kecurangan tidak akan mempengaruhi manakala hal itu tidak tertulis di lauhul mahfudz.
Begitupun sebaliknya.
Jadi, inilah yang mesti kita lakukan. Percaya pada yang Kuasa. Terpenting kita sudah berusaha dengan segenap kemampuan dan kapasitas yang kita miliki. Itu saja.
Kembali ke Realita
“Pemilu tidak akan mengubah apapun. Kita tetap harus cari makan sendiri.” Itulah salah satu quote yang sering bertebaran dari ketikan tangan orang-orang yang entah mereka apatis atau justru realistis.
Menurut saya, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah. Tapi juga tidak benar-benar amat.
Memilih presiden pasti punya konsekuensi, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu contohnya, harga bensin bisa naik juga gegara kebijakan presiden, bukan?
Cuma kita tidak boleh terus berlarut-larut dan menjadi simpatisan akut yang tidak tahu kapan waktunya untuk berhenti.
Padahal seharusnya ketika kontestasi usai maka kita mesti segera melebur kembali menjadi Indonesia. Apa akibatnya jika hal ini tidak dilakukan? Kita bisa melihat situasi itu terjadi beberapa tahun belakangan. Terutama pasca pilpres 2019 yang seolah terus menyisakan dendam politik berkepanjangan.
Andai saja kita semua bisa kembali ke realita…
Coba Lima Tahun Lagi
Cara terbaik untuk membalas dalam pertarungan negara demokrasi adalah melalui pesta demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, kekalahan di pemilu harus dibalas juga di pemilu. Dengan catatan tentunya, bahwa pemilu itu berlangsung seadil-adilnya.
Keadilan ini yang mesti dibuka lebar-lebar untuk semua kalangan. Jangan sampai ada yang ditutup-tutupi. Menjadi pihak yang kalah akan bisa menerima tatkala prosesinya berjalan dengan arif dan bijaksana.
Katakanlah keadilan itu memang ada dan terjadi, maka saya rasa tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencobanya kembali lima tahun lagi. Jangan sampai trauma.
Salam PERUBAHAN.
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib
NB : Artikel ini sudah dipublikasikan sebelumnya di kompasiana.com