Menyusun Perencanaan Produksi Berdasar Perspektif Islam

Maksud dan tujuan utama dari dibuatnya perencanaan produksi (production planning) adalah untuk meningkatkan efisiensi serta produktivitas dari operasional sebuah bisnis.

Sebuah industri, khususnya manufaktur, mungkin masih bisa beroperasi meski tanpa adanya sistem perencanaan produksi didalamnya. Hanya saja, jalannya operasional akan kurang terkendali.

Produksi bisa berjalan. Pemenuhan permintaan pun bisa dilakukan. Akan tetapi, ada beberapa hal penting yang disadari atau tidak sebenarnya telah dikorbankan.

Perencanaan Produksi sangat penting perannya dalam sebuah aktivitas bisnis | Ilustrasi gambar : bmgtraining.co.id

Efek sampingnya, industri menjadi kurang kompetitif. Entah karena ongkos produksi yang mengalami pembengkakan, pemborosan sumber daya disana sini, hingga terjadi miskalkulasi pemenuhan permintaan pelanggan.

Ketika industri yang beroperasi masih dalam skala kecil, barangkali situasi tersebut cenderung terabaikan dan seringkali dianggap tidak ada atau bahkan tidak pernah terjadi.

Sayangnya, setiap pelaku Industri pastilah menginginkan bisnisnya terus bertumbuh dan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sehingga, secara tidak langsung, pembiaran atau pengabaian atas ketidakefisiensian tersebut akan menjadi bahaya laten yang membahayakan industri dalam jangka panjang.

Dengan kata lain, apabila sebuah industri berharap adanya perbaikan dalam dirinya maka aspek perencanaan produksi penting untuk diberikan porsi perhatian yang signifikan.

Prinsip Mencegah Pemborosan

Islam adalah solusi untuk segala hal. Meski mungkin dalam beberapa kajian disiplin ilmu tertentu yang tidak secara gamblang mendapatkan perhatian secara perspektif Islam, tidak berarti bahwa wawasan kearah sana tidak ada.

Kita hanya perlu mengulik lebih dalam dan menggali lebih detail untuk mencari keterkaitan antara ilmu-ilmu Islam tersebut dengan kajian yang sudah cukup banyak dibicarakan di berbagai mimbar akademik ataupun di beberapa diskusi publik.

Islam melarang umatnya untuk berperilaku boros | Ilustrasi gambar : thisiscolossal.com

Satu hal yang menarik untuk dibahas disini adalah terkait dengan pemborosan. Pemborosan adalah salah satu hal yang paling dihindari dalam berbagai pengajaran tentang Islam. Bahkan Al-Qur’an dan hadits pun secara jelas menerangkan hal itu.

Misalnya, pada Q.S. Al-An’am ayat 141 dimana Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berlaku boros, karena sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlaku boros.”

Mungkin selama ini kita cenderung memahami firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW tersebut dalam konteks menjalani kehidupan pribadi masing-masing. Padahal, konteks perilaku boros bisa jadi merupakan bagian dari “penyakit” organisasi atau dalam hal ini kita sematkan pada tata kelola industri yang tidak efisien.

Bahkan secara jelas ada ulasan khusus yang memfokuskan kajian industri dalam rangka menghindari praktik pemborosan tersebut. Yang dalam istilah industri lebih dikenal dengan sebutan waste.

Terminologi waste ini bisa diibaratkan sebagai “musuh bersama” yang perlu dieliminir semaksimal mungkin karena keberadaannya yang secara langsung maupun tidak langsung telah menggerus capaian produktivitas dari sebuah industri.

Efektivitas dan efisiensi aktivitas operasional berbanding terbalik dengan tingkat waste yang terjadi didalamnya.

Perencanaan Produksi untuk Efisiensi

Membuat perencanaan produksi adalah upaya preventif paling awal yang bisa dilakukan dalam mencegah inefisiensi sebuah proses. Karena bagaimanapun juga perencanaan produksi adalah titik start dalam keberlangsungan kegiatan operasional sebuah industri.

Pemborosan bisa dicegah atau setidaknya diminimalkan agar tidak sampai membuat sumber daya yang dipergunakan terbuang sia-sia.

Dengan kata lain, membuat perencanaan produksi yang baik merupakan penerapan dari prinsip mencegah pemborosan sekaligus implementasi nyata dari bagaimana ketakwaan itu diwujudkan dalam realitas kehidupan yang lebih luas, dalam hal ini adalah di lingkungan industri atau dunia usaha.

Pengaturan produksi yang baik akan mencegah pemborosan | Ilustrasi gambar : usnewsper.com

Untuk melihat korelasi langsung dari penyusunan rencana produksi dan efek yang ditimbulkannya terhadap laju pemborosan maka perlu ada klasifikasi terkait jenis-jenis waste yang terjadi pada keseluruhan aktivitas produksi tersebut.

Yang paling umum dari klasifikasi ini adalah seven waste dan meliputi over production atau produksi berlebih, waiting atau menunggu, transportation atau transportasi, unnecessary processing atau proses yang tidak perlu, inventory atau persediaan, motion atau gerakan, dan defect atau cacat.

Over Production

Kita mulai dari over production atau produksi berlebih. Mungkin ada yang bertanya-tanya, produksi berlebih memang apa ruginya? Kan masih bisa dijual? Itu betul, memang bisa dijual. Tapi, berapa lama? Apakah akan terjual cepat atau butuh waktu cukup lama?

Ini bukan persoalan bisa dijual atau tidak. Namun, menyangkut efisiensi persediaan barang. Produk atau barang yang diproduksi dalam jumlah berlebih akan menjadi beban penyimpanan. Apalagi ketika untuk menghabiskannya membutuhkan waktu lama.

Space gudang yang harusnya bisa dipergunakan untuk menyimpan barang lain (yang berpotensi lebih cepat dijual) menjadi terkendala. Belum lagi diperlukan alokasi biaya khusus untuk perawatan barang selama penyimpanan (misal barang dengan treatment ruang pendingin, dan sejenisnya).

Semakin besar jumlah produksi berlebih terjadi maka akan semakin mengurangi tingkat efisiensi dari operasional sebuah industri. Jelas ini merupakan tindakan pemborosan yang tidak layak dilakukan.

Waiting

Apa imbasnya jika sampai terjadi situasi dan kondisi ini ? Khususnya di lingkungan operasional sebuah unit bisnis. Kesia-siaan waktu? Iya, akan ada waktu yang terbuang percuma tanpa hasil yang produktif.

Padahal, waktu merupakan modal yang sangat berharga bagi dunia usaha. Time is money. Ajaran Islam sendiri memberi penegasan secara gamblang mengenai pentingnya waktu. Sampai-sampai Allah SWT sendiri bersumpah atas nama waktu. Demi masa.

Ketika sebuah proses industri sampai membiarkan terjadinya pemborosan waktu maka ongkos yang harus ditanggung akan sangat besar. Industri harus membayar upah lembur. Atau menambah sumber daya baru untuk meningkatkan kapasitas produksinya.

Karena bagaimanapun juga waktu tidak bisa diulang.

Satu hari akan selalu sama sebanyak 24 jam. Tidak kurang, tidak lebih. Saat ada target produksi untuk memenuhi permintaan yang harus rampung dalam kurun waktu tersebut maka kita harus seoptimal mungkin memberdayakan waktu tersisa.

Apabila pada sisa waktu yang ada semakin banyak dibiarkan dengan aktivitas menunggu atau waiting maka dampaknya akan panjang. Pemenuhan permintaan gagal memenuhi target delivery, keterlambatan pengiriman, pembengkakan biaya produksi, hingga kehilangan konsumen.

Perencanaan produksi memiliki peran krusial untuk mengeliminir waktu tunggu menjadi seminimal mungkin. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa planner hanyalah salah satu kepingan penunjang proses untuk membuat aktivitas operasional yang efektif dan efisien.

Biarpun begitu, planner harus melihat setiap celah pemborosan waktu yang mungkin terjadi sepanjang penjadwalan produksi dibuat.

Ketika menjadwalkan produk di sebuah mesin produksi, saya umumnya meletakkan setidaknya dua produk atau lebih dalam antrian. Sehingga ketika item pertama mengalami kendala teknis untuk dijalankan, tim produksi bisa “lompat” ke item berikutnya. Tentu melalui konfirmasi terlebih dahulu kepada planner.

Planner biasanya memiliki setumpuk antrian produk untuk dijalankan di suatu mesin. Dengan begitu seharusnya tidak ada alasan untuk membiarkan sebuah fasilitas berhenti beroperasi dan menunggu dalam waktu lama untuk beroperasi kembali.

Transportation

Transportasi, termasuk didalamnya adalah aktivitas material handling atau pemindahan material atau pemindahan barang. Aktivitas ini umumnya tidak memberikan nilai tambah secara langsung dalam penciptaan suatu produk. Akan tetapi perannya sangat krusial untuk memastikan produksi berjalan.

Saya ambil contoh, penggunakan mesin conveyor di sebuah proses produksi pada dasarnya hanya berperan mengalirkan barang dari satu lini produksi ke lini produksi yang lain. Atau dari lini produksi ke lini penyimpanan (gudang).

Dalam aktivitas tersebut, bisa dibilang conveyor tidak memberikan nilai tambah apapun. Hanya saja, tanpa keberadaannya maka rangkaian proses tidak akan bisa dituntaskan.

Selain itu, pemindahan barang menggunakan forklift atau kendaraan pengangkut lain juga tidak memberikan nilai tambah apapun pada produk. Hanya saja keberadaannya penting untuk menjembatani rangkaian proses.

Masalah yang berpotensi terjadi disini adalah terjadinya aktivitas transportasi tidak efisien. Misalnya, ketika forklift seharusnya bisa melakukan sekali tarikan tapi justru melakukan dua kali atau lebih tentu akan ada energi terbuang disana. Konsumsi solar akan lebih banyak. Atau tenaga listrik lebih besar. Ini tentu merupakan pemborosan.

Sekilas, planner sepertinya tidak memiliki peranan apapun untuk mempengaruhi situasi ini. Padahal planner juga bisa turut campur tangan. Seperti membuat pengaturan jadwal produksi dengan variasi produk yang minimal sehingga ketika transfer produk akhir dilakukan maka forklift tidak menempuh rute berlebihan.

Saya berikan simulasi begini. Planner membuat jadwal produksi untuk produk A dan produk B di mesin X. Lokasinya terletak di lantai produksiproduksi.

Hasil produk tersebut akan ditransfer ke gudang Y pada lokasi Y1 dan Y2. Sehingga forklift harus berpindah dari lokasi mesin X menuju gudang Y1 untuk menaruh produk A dan ke gudang Y2 untuk menaruh produk B.

Apabila saya sebagai planner menambahkan produk C yang lokasi penyimpanannya di gudang Y3 ke dalam jadwal antrian produksi, maka forklift harus menuju rute Y3 juga dalam perjalanannya.

Bagaimana seandainya planner menambah jadwal produksi untuk mesin M, N, dan produks D, E, F, dan seterusnya. Tentu aktivitas transportasi ikut bertambah.

Bukan hal yang dilarang juga bagi planner untuk menjadwalkan banyak produk sekaligus, terlebih ketika hal itu diperlukan. Hanya saja, dengan meminimalkan variasi produk dalam satu periode produksi maka hal itu akan sangat membantu mereduksi rute tempuh peralatan atau fasilitas transportasi kita.

Unnecessary Processing

Secara umum, aktivitas “proses” merupakan domain dari tim produksi. Khususnya yang berhubungan dengan proses menciptakan sebuah produk. Dengan demikian maka wajar kiranya apabila waste yang terkait dengan proses-proses tidak perlu (unnecessary processing) lebih patut diwaspadai terjadinya disana.

Namun, anggapan itu sebenarnya tidak sepenuhnya tepat. Perencanaan produksi yang bermasalah bisa ikut andil dalam terjadinya waste ini. Meski mungkin tidak menjadi penyebab langsungnya.

Dalam beberapa kesempatan membuat perencanaan produksi, saya pernah memberikan informasi yang kurang lengkap untuk pengerjaan suatu jenis produk. Kebetulan terdapat dua jenis produk yang secara deskripsi mirip. Keduanya hanya berbeda jumlah isi dalam satu kemasan karton saja.

Contohnya, produk A adalah detergen cuci kemasan botol varian warna pink dengan isi 8 pieces botol per karton. Sedangkan ada produk B dengan varian serupa cuma isinya adalah 12 pieces botol dalam satu karton.

Nah, waktu itu saya tidak secara spesifik menyebutkan isi dari jadwal produksi yang saya sampaikan kepada tim produksi. Dalam lembar rencana produksi harian hanya tertera nama detergen botol varian warna pink dengan berat 1,5 liter. Tanpa saya sadari ternyata ada kekurangan pencantuman informasi perihal isi botol dalam satu kartonnya.

Alhasil, supervisor produksi yang bertugas waktu itu (yang memang orang baru) salah menafsirkan bahwa produk yang saya jadwalkan sebagai detergen warna pink isi 12 pieces per karton. Sementara yang saya maksudkan sebenarnya adalah detergen botol warna pink 1,5 liter isi 8 pieces.

Peristiwa itu baru ketahuan keesokan harinya saat produksi sudah mencapai beberapa ratus karton produk.

Padahal untuk produk varian isi 12 tersebut sedang tidak ada permintaan. Disisi lain, ada keterbatasan jumlah stok material untuk memproduksi produk tersebut kembali.

Pada akhirnya saya pun harus meminta maaf atas peristiwa miskomunikasi yang terjadi. Produk yang kadung jadi terpaksa harus diproses ulang dengan melakukan penggantian karton box dari isi 12 ke isi 8.

Inilah aktivitas proses yang semestinya bisa dihindari. Terlebih sebab terjadinya bermula dari perkara sepele yakni tidak lengkapnya planner menyampaikan informasi dalam jadwal rencana produksi terkait dengan spesifikasi produk.

Inventory

Persediaan atau inventory yang menumpuk di gudang penyimpanan suatu perusahaan adalah salah satu musuh terbesar dan sebisa mungkin dihindari. Khususnya bagi perusahaan yang menerapkan model bisnis TOP atau Term Of Payment.

Model bisnis TOP ini mengharuskan pembayaran dilakukan oleh perusahaan penerima barang terhitung sejak beberapa waktu setelah barang tersebut diterima. Dengan kata lain, semakin banyak barang yang diterima maka kalkulasi tagihan akan menumpuk.

Lantas masalahnya dimana ?

Jikalau barang tersebut adalah jenis material yang kita terima dari suplier, maka terhitung waktu setelah kita menerima barang tersebut (misalnya satu hari kemudian) argo tagihan mulai dihitung.

Model bisnis semacam ini terbilang menguntungkan bagi perusahaan apabila siklus pengeluaran produknya terjadi cukup cepat.

Sehingga material yang sudah masuk bisa terus diproses hingga menjadi produk siap jual untuk kemudian dibayarkan pada tagihan TOP material.

Semakin cepat perputaran penjualan produk, sedangkan tagihan TOP sudah terjadwal rutin tenggat waktunya maka keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut akan semakin besar.

Bisa dibilang juga bahwa pengusaha dengan model bisnis tersebut sebenarnya tidak mempergunakan modal samasekali (untuk pembelian material) dalam menjalankan bisnisnya. Itu dengan catatan ritme penjualan produk dan penggunaan material terjadi secara berkesinambungan.

Setiap kali ada material yang mengendap tidak terpakai atau jeda waktu penyimpanan dan pemakaiannya cukup lama, maka perusahaan harus tetap membayar TOP sedangkan untuk penjualan produk tersebtu sendiri lebih lambat dari TOPnya. Efeknya adalah kas perusahaan akan terkuras.

Lalu apa kaitannya dengan inventori ?

Ketika sebuah produk hendak dijadwalkan untuk produksi, ada konsekuensi dimana planner atau melalui tim inventory controller untuk menjadwal masuk material-material pendukungnya. Yang mana dalam beberapa kasus terdapat kesepakatan antar perusahaan dimana ada batas minimal pengiriman untuk produk tersebut.

Saat planner gagal memperkirakan rencana produksi yang berdampak adanya produk tertentu yang tidak perlu diproduksikan pada periode tersebut, maka material yang kadung dijadwalkan akan menimbulkan beban persediaan.

Dalam hal ini, mau tidak mau kalkulasi TOP akan terjadi tanpa adanya perimbangan bahwa produk akhir dari material tersebut akan terjual.

Selain itu, kesalahan perencanaan produksi (misalnya kelebihan menginformasikan jumlah unit yang harus diproduksi) berisiko menciptakan biaya tambahan untuk perawatan produk yang dihasilkan.

Ini tentu juga merupakan bagian dari pemborosan itu sendiri. Andaikan tidak terjadi kelebihan jumlah produk saat produksi, maka tidak perlu ada biaya dikeluarkan untuk merawat produk tersebut.

Motion

Terkait dengan waste ini mungkin planner tidak memberi andil, karena menyangkut aktivitas teknis yang bersentuhan langsung dalam penciptaan suatu produk.

Defect

Untuk produksi defect atau rusak memang sangat ditentukan oleh seberapa baik proses penciptaan produk dijalankan. Perencanaan produksi maksimalnya hanya nggupuhi atau membuat pihak produksi menjadi terburu-buru untuk menuntaskan produksinya.

Sebenarnya, apabila kontrol terhadap proses dijalankan secara tepat maka perencanaan produksi tidak bisa disebut ikut ambil bagian.

Pada dasarnya nilai-nilai Islam memang ada dimana-mana, termasuk perihal pekerjaan dan fungsi perencanaan produksi. Dengan adanya hal itu seharusnya kita bisa menjadi lebih paham bahwasanya pekerjaan akan benar-benak bernilai ibadah manakala kita menjalankan sesuai dengan tuntunan nilai tersebut.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib