Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat populasi kendaraan bermotor tertinggi di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada tahun 2022 terdapat sekitar 125,3 juta unit sepeda motor; 17,2 juta unit mobil; 241 ribu unit bus; dan 5,5 juta unit truk melaju di jalanan seluruh Indonesia.
Tingginya kepemilikan kendaraan bermotor tersebut sebenarnya merepresentasikan ekonomi yang bertumbuh. Angka kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi adalah cerminan daya beli masyarakat yang tinggi.
Jikalau ditarik garis lurus kondisi tersebut juga berpotensi meningkatkan pendapatan negara melalui pembayaran pajak kendaraan. Hanya saja masih belum optimal seiring masih rendahnya kepatuhan para pemilik kendaraan bermotor dalam menunaikan kewajiban membayar pajak kendaraan sebagaimana termaktub dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan pantauan Jasa Raharja pada bulan Desember tahun 2022, tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak kendaraan hanya 56,24% saja. Sedangkan 43,76% sisanya masih abai. Hal ini mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan pajak hingga mencapai 120 triliun rupiah.
Padahal, pajak kendaraan memiliki kontribusi signifikan dalam mengerek pendapatan pemerintah daerah yang terlihat dari data Badan Pendapatan Daerah Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia dimana Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) menyumbang sekitar 67,79 triliun rupiah atau 47,33% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2020, dan 77,91 triliun rupiah atau 47,39% PAD tahun 2021.
Rendahnya kepatuhan dalam membayar pajak ini menurut eks Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi, salah satunya disebabkan oleh ketidaktahuan (kurang tahu) masyarakat terhadap pengelolaan uang pajak akan dipakai untuk apa, dan diarahkan kemana.
Jika merujuk pada penjelasan laman web salah satu pemerintah provinsi, hasil penerimaan dari pajak kendaraan bermotor ini minimal 10% dialokasikan untuk pembangunan, pemeliharaan, dan peningkatan jalan, moda, serta sarana transportasi umum.
Sedangkan selebihnya akan menjadi sumber pendanaan untuk program lain seperti layanan kesehatan, sektor pendidikan, hingga program khusus mengenai pelestarian lingkungan.
Krisis Iklim dan Stabilitas Ekonomi
Realitas sebagai salah satu negara dengan jumlah kendaraan bermotor terbesar di dunia mengharuskan kita sadar bahwa ada konsekuensi yang kita tanggung.
Jumlah volume kendaraan yang cukup tinggi tidak dapat dipungkiri akan membuat jalanan makin padat. Jangankan kondisi macet, dalam situasi normal saja kendaraan bermotor sudah memproduksi emisi dalam jumlah besar mengingat ketergantungan kita yang cukup tinggi pada bahan bakar fosil.
Tahun 2022, emisi karbon global menjadi yang tertinggi sejak 1900-an, menurut International Energy Agency (IEA) jumlahnya sudah mencapai 36,8 gigaton.
Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang 23% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dimana kendaraan bermotor menyumbangkan 80% diantaranya.
Sementara itu, sudah bukan rahasia lagi bahwasanya perubahan iklim telah menjadi ancaman serius yang mengintai kita semua. Bahkan menurut daftar XDI atau Cross Dependency Initiative saat ini Indonesia menempati urutan 4 sebagai negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Kekhawatiran makin nyata apabila kita melihat rilis data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dimana telah terjadi kenaikan jumlah bencana alam sebesar 82% antara tahun 2010 sampai dengan 2022.
Padahal, perubahan iklim bukan semata tentang alam yang berubah karena hal itu juga berdampak pada sektor ekonomi. Krisis iklim akan menambah beban ekonomi kita. Sektor pertanian kacau, sektor perikanan terpuruk, logistik terganggu, dan lain sebagainya.
Selain itu, bencana kekeringan, banjir, dan sejenisnya juga bisa mengakibatkan kerugian finansial sangat besar sehingga perekonomian menjadi tidak stabil.
Diperkirakan pada tahun 2050 mendatang Indonesia akan kehilangan 30-40% PDB gegara perubahan iklim ini. Bahkan tahun 2023 ini menkeu Sri Mulyani memperkirakan Indonesia mengalami kerugian cukup besar akibat krisis iklim yaitu mencapai 12,2 trilun rupiah.
Dengan kata lain, permasalahan iklim akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi negara kita yang oleh karena itu perlu menjadi perhatian semua pihak.
Kesadaran Iklim Masyarakat
Peran serta masyarakat sangatlah krusial dalam upaya penanggulangan iklim yang belakangan semakin pelik ini. Pemerintah tidak akan mampu berbuat banyak apabila masyarakatnya tidak ikut andil melaksanakan upaya pelestarian lingkungan.
Sayangnya, kesadaran iklim orang Indonesia masih tergolong rendah. Ini terlihat dari hasil survei Remotivi pada Februari 2023 lalu dimana sekitar 63% responden menganggap bahwasanya krisis iklim tidaklah berbahaya. Sementara hanya 29% responden saja yang memiliki pengetahun cukup mengenai perubahan iklim.
Sangat ironis sebenarnya mengingat krisis iklim yang jelas-jelas menjadi kekhawatiran publik dunia ternyata justru kita pandang sebelah mata saja.
Kurangnya kesadaran terkait bahaya perubahan iklim yang berpadu dengan minimnya pengetahuan bahwasanya uang pajak kendaraan memiliki kontribusi terhadap upaya penanggulangan krisis iklim pada akhirnya membuat tingkat penerimaan pajak kendaraan bermotor di Indonesia rendah.
Kesadaran iklim yang rendah memantik minimnya kepatuhan pembayar pajak karena ketidakpahaman mengenai urgensi dari pengalokasian dana pajak tersebut.
Akibatnya, pelaksanaan program kerja seperti perawatan sarana moda transportasi menjadi kurang maksimal. Program-program lain yang berorientasi lingkungan pun jadi ikut dikesampingkan gegara minimnya dukungan anggaran.
Padahal, perbaikan sarana dan prasarana transportasi serta program –program pro lingkungan tersebut adalah bagian dari upaya mereduksi emisi.
Apabila seluruh pemilik kendaraan bermotor menganggap krisis iklim adalah isu yang krusial dan memerlukan partisipasi semua pihak, seharusnya kita sadar bahwa kontribusi tersebut bisa disalurkan melalui ketaatan dalam membayar pajak.
Memang, sudah bukan rahasia lagi bahwasanya penanggulangan krisis iklim masih banyak menemui kendala terkait pendanaan.
Wacana pemerintah untuk memungut pajak iklim secara khusus mungkin ide yang baik tetapi diragukan efektivitasnya. Resistensi masyarakat sangat mungkin terjadi seiring deretan kebutuhan hidup yang sudah menumpuk.
Toh, ketika penerimaan pajak kendaraan bermotor bisa dioptimalkan sebenarnya hal itu sudah cukup memberi kontribusi pengalokasian anggaran pemerintah terhadap pelestarian lingkungan dan lain sebagainya.
Ancaman besar yang mengintai terkait dengan krisis iklim memang begitu menakutkan sehingga segenap pemimpin dunia ikut urun rembuk memikirkan nasib bumi di masa depan. Padahal kita yang sebagian besar adalah rakyat jelata ini sebenarnya juga mampu berkontribusi melalui hal kecil dan sederhana.
Kesadaran dan kepatuhan kita dalam membayar pajak kendaraan bermotor adalah langkah awal untuk ikut membantu merawat bumi yang kita tinggali ini. Dengan begitu bukan hanya bumi bisa diselamatkan, tetapi juga stabilitas ekonomi dapat terjaga.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib