Pemandangan apik terlihat dari sebuah sungai penuh tumpukan sampah yang secara bertahap kondisinya berubah menjadi bersih dan benar-benar terbebas dari sampah. Dalam mode video dipercepat (fast motion), aksi sekelompok aktivis pecinta lingkungan sungaiwatch menyerbu dan membersihkan setiap jengkal sampah yang menutup permukaan air sungai seakan ingin mengatakan pada kita bahwa hanya dengan kesigapan dan gerak cepatlah maka problematika lingkungan dapat teratasi.
Gerakan bersih-bersih sungai sebagaimana dilakukan oleh sungaiwatch, atau gaya hidup zero waste yang dijalankan sebagian orang sepertinya perlu kita apresiasi karena telah memberi keteladanan akan arti penting lingkungan berkelanjutan bagi masyarakat luas.
Kesadaran sejenis juga turut menular ke publik. Misalnya, kebijakan meniadakan plastik untuk kantong belanja di minimarket, penggunaan air secara bijak, membuat bank sampah, hingga gerakan menghemat listrik rumah tangga.
Meskipun beberapa tindakan tersebut tampak berkontribusi terhadap penciptaan kondisi lingkungan yang sustainable, tapi pada kenyataannya hal itu masih belum cukup.
Dibutuhkan lebih banyak lagi kesadaran dari masyarakat terhadap aksi pelestarian lingkungan ini, atau bisa jadi sebenarnya kita memerlukan tindakan yang sanggup menyasar langsung “pos-pos strategis” dimana sumber daya alam dikelola dan diberdayakan dalam jumlah besar di sana.
Nah, di era jejaring seperti sekarang, kita sebagai pribadi bisa dibilang lebih banyak berperan sebagai end user, atau ujung dari rantai pasokan dimana ada begitu banyak pihak terlibat namun terpisah-pisah satu dengan yang lain.
Sebesar-besarnya seorang konsumen yang mempergunakan jenis produk industri tertentu untuk kebutuhan rumah tangga, jumlahnya tidak akan bisa melampaui kemampuan sang produsen dalam menghasilkan produk tersebut.
Sederhananya begini, sumber daya yang dimiliki oleh industri manufaktur pastilah jauh lebih besar ketimbang kemampuan yang dimiliki setiap rumah tangga dalam mempergunakan produk dari industri tersebut.
Misalnya, pabrik mie instan bisa memproduksi jutaan bungkus mie instan setiap bulannya. Sementara itu kita selaku konsumen paling banyak hanya menghabiskan puluhan bungkus saja dalam kurun waktu yang sama.
Sehingga akan jauh lebih powerful dampaknya manakala prinsip-prinsip sustainable tersebut diarahkan langsung kepada pengelolaan operasional dari industri manufaktur daripada sekadar tindakan parsial yang dilakukan secara perorangan di lingkup rumah tangga atau pada tataran end user tersebut.
Andil Industri Manufaktur
Penggunaan sumber daya alam yang oleh industri pastilah jauh lebih besar dibanding kelas rumah tangga. Konsumsi air yang dipergunakan untuk skala industri tentu berlipat ganda. Demikian halnya dengan konsumsi listrik, pemakaian bahan baku, dan lain sebagainya.
Menilik kondisi tersebut maka hampir bisa dipastikan bahwa emisi yang dihasilkan oleh industri pun jauh melebihi kontribusi emisi rumah tangga kita.
Merujuk pada laporan Climate Transparancy yang dipublikasikan katadata[1] nih, emisi dari sektor industri pada tahun 2021 lalu berada pada posisi ketiga dengan kontribusi 23%. Atau hanya kalah dari sektor ketenagalistrikan (43%) dan transportasi (25%) saja.
Bahkan dari kedua sektor tersebut sebenarnya ada andil sektor industri juga, khususnya berkaitan dengan konsumsi listrik industri dan kegiatan transportasi menyangkut aktivitas rantai pasok industri.
Dengan kata lain, industri manufaktur memang memiliki peranan besar yang tidak boleh dikesampingkan demi upaya mewujudkan lingkungan sustainable. Yakni melalui tata kelola operasional industri manufaktur yang baik sehingga memberi dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap perbaikan lingkungan di sekitarnya.
Oleh karenanya, agar upaya tersebut bisa terlaksana maka kita membutuhkan peran orang dalam (ordal) untuk turut terlibat dalam gerakan atau aksi lingkungan ini.
Peran ‘Ordal’ di Industri Manufaktur
Sepuluh tahun lebih saya habiskan untuk menjalani karir sebagai pekerja di industri manufaktur. Sekitar 3,5 tahun saya bertugas sebagai inventory controller di perusahaan manufaktur kertas di Surabaya, dan selebihnya (sampai sekarang) saya jalani sebagai production planner di perusahaan manufaktur detergen di kawasan Tangerang.
Di dua perusahaan tersebut peran saya sebenarnya serupa. Inventory controller merupakan bagian dari fungsi production planner juga. Pada lingkungan industri peran ini biasanya masuk ke dalam divisi PPIC (Production Planning & Inventory Control).
Waktu sepuluh tahun yang saya untuk menjadi ordal di industri manufaktur ini membuat saya lebih memahami bahwa ada cukup banyak hal yang sekadar dpandang sebagai rutinitas dan prosedur formal namun sebenarnya memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan.
Ketika saya mulai bertugas sebagai inventory controller hampir sedekade lalu, salah satu tugas saya adalah melakukan pengondisian stok untuk “Pallet” kayu. Pallet kayu ini merupakan bahan pendukung untuk pengemasan produk di perusahaan kertas. Terbuat dari lembaran kayu yang dirakit sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk papan.
Jumlahnya bisa mencapai ratusan papan setiap bulannya. Dengan variasi ukuran yang beragam. Seiring jumlah permintaan produk yang sangat banyak dan bervariasi, terkadang ada produk ukuran tertentu yang tidak tersedia palletnya. Sehingga perlu melakukan pembelian. Di sisi lain, produksi terkadang tidak bisa ditunda sehingga pallet seadanya dipergunakan.
Tidak sinkronnya waktu antara kesanggupan vendor penyuplai pallet dengan kebutuhan pengiriman barang pada akhirnya melahirkan permasalahan baru dimana terdapat cukup banyak pallet yang nganggur, yang semakin menumpuk dan akhirnya berstatus slow moving atau death stock.
Bagi sebuah industri manufaktur, status slow moving atau death stock ini sangat dihindari karena hanya mengakibatkan berhentinya aliran modal. Apabila sampai hal itu terjadi maka sebenarnya ada modal yang mengendap. Uang yang tidak berputar.
Sehingga pada waktu itu saya membuat semacam rumusan perhitungan kombinasi ukuran yang paling mendekati untuk setiap kebutuhan produksi disandingkan dengan data stok pallet kayu slow moving / death stock yang tersedia di gudang. Misalnya, ketika ada produk yang membutuhkan pallet berukuran 80 x 120 cm, maka akan dilakukan search data stok dengan kombinasi ukuran +/- beberapa centimeter dari ukurang tersebut.
Biasanya saya membatasinya dengan ukuran sekitar 3 cm dari ukuran asli. Sehingga ada kombinasi ukuran pallet mulai dari (77 cm – 83 cm) x (117 – 123 cm) yang bisa dicari dari data stok yang tersimpan di gudang. Apabila dalam rentang toleransi 3 cm tersebut tidak ditemukan atau jumlah unitnya masih kurang, biasanya saya memberikan kelonggaran toleransi tambahan namun dengan melalui pertimbangan dengan tim di lapangan.
Alhamdulillah, berkat metode kombinasi ukuran pallet tersebut rencana pengadaan pallet baru kayu bisa ditekan seiring terjadi substitusi dengan stok yang tersedia di gudang. Dengan begitu maka kami bisa mengurasi pengadaan pallet kayu untuk setiap periodenya sehingga secara tidak langsung jumlah pohon yang ditebang pun bisa dikurangi.
Green Planning
Seorang production planner mampu memberikan pengaruh cukup besar dalam operasional sebuah industri. Saya mendapat kewenangan menginstruksikan sebuah produksi harus running atau berhenti. Tentu dalam beberapa kasus tertentu perlu konfirmasi dan persetujuan atasan.
Namun, input-an informasi selalu bermula dari saya selaku planner terkait urgensitas sebuah jadwal produksi.
Fungsi sebagai production planner sekaligus sebagai inventory controller yang saya jalani di perusahaan manufaktur detergen saat ini memberi saya keleluasaan untuk melakukan pengaturan jadwal produksi.
Secara umum, pertimbangan dalam menyusun perencanaan produksi ini adalah deadline atau tenggat waktu pengiriman atas order yang masuk ke perusahaan. Namun, terlepas dari hal itu sebenarnya setiap perencaan produksi yang dibuat memiliki konsekuensi terhadap produktivitas dan efisiensi sumber daya yang tersedia. Hal itu bisa terkait dengan energi ataupun material penunjang proses.
Apabila perencanaan dibuat serampangan maka beberapa risiko seperti defect produk, overproduction, waiting, inventory, loss transportation, motion, dan overprocessing akan terjadi. Beberapa jenis pemborosan tersebut biasanya dikenal dengan istilah 7 (seven) waste didalam konsep lean manufacturing .
Suatu ketika, saya sudah membuat rencana produksi untuk running dua hari kedepan. Sedangkan untuk hari ketiga seharusnya akan saya review keesokan harinya. Akan tetapi, ternyata esoknya saya jatuh sakit sehingga tidak bisa melakukan review.
Akibatnya, terdapat lini produksi yang menganggur dan harus menunggu selama beberapa waktu karena peran tersebut harus saya wakilkan pengelolaannya.
Padahal, mesin dalam kondisi stand by dan mengonsumsi listrik. Karena jikalau dimatikan risikonya lebih besar terkait waktu set up dan proses setting ulang. Sehingga, dengan keterlambatan perencaan produksi akan menimbulkan listrik terbuang percuma selama beberapa waktu.
Bayangkan jika hal ini terjadi berulang, maka pemborosanakan semakin besar.
Disamping itu, penyusunan jadwal produksi dengan frekuensi change over produk cukup tinggi juga akan meningkatkan potensi waste. Baik itu dari sisi waktu terbuang ataupun bertambahnya produk defect.
Meningkatnya pemborosan sama artinya dengan makin banyaknya sumber daya yang tersia-sia. Dalam hal inilah green planning menjadi sesuatu yang penting untuk mengefisiensikan sumber daya perusahaan.
Mekanisme Kontrol
Saya membuat alat bantu khusus dalam menjalankan mekanisme kontrol seluruh aspek perencanaan produksi dan pengendalian persediaan. Sebuah perencanaan produksi yang dibuat secara berkelanjutan untuk satu periode tertentu serta mekanisme evaluasi per jam, harian, dan seterusnya.
Pergerakan stok barang dipantau secara rutin untuk melihat tren pemakaian. Setiap penyimpangan akan segera ditndaklanjuti sehingga pada penghujung waktu tetap terkendali.
Beberapa perusahaan umumnya sudah mempergunakan pemrograman sistem berbasis ERP atau Enterprises Reasources Planning untuk mengakomodasi penyusunan rencana produksi. Tapi ada juga yang masih menggunakan cara semi manual dengan Ms. Excel.
Seiring mampu berjalannya peran PPIC secara optimal maka penggunaan sumber daya dalam tataran industri manufaktur akan lebih terkendali. Ketika langkah serupa juga dijalankan oleh perusahaan manufaktur lainnya maka hal itu akan memberi dampak signifikan terhadap upaya sustainable yang kita canangkan.
By the way, setidaknya itulah yang bisa saya lakukan sebagai orang dalam di industri manufaktur ini sekarang.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib
NB : Artikel ini sudah dipublikasikan juga di platform kompasiana.com sebagai materi blog competition