Efek Kelelahan Membuat Keputusan dan Cara Mengelolanya

Pernahkah kamu merasa sulit menentukan makan malam setelah seharian penuh bekerja dan menghadapi berbagai pengambilan keputusan? Jika iya, maka kamu tidak sendirian. Fenomena inilah dikenal dengan sebutan “decision fatigue” atau kelelahan membuat keputusan.

Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Roy F. Baumeister, dan semakin relevan dalam dunia modern yang penuh dengan kompleksitas pilihan. Dengan kata lain, “decision fatigue” adalah kondisi di mana kualitas keputusan seseorang menurun setelah harus membuat banyak pilihan dalam waktu singkat.

Membuat keputusan yang buruk bisa berawal dari kelelahan mental akibat terlalu banyak pilihan. | Ilustrasi gambar: freepik.com/freepik

Berdasarkan penelitian J. A. Baumeister & D. G. Vohs (2021), “decision fatigue” bukan sekadar masalah sehari-hari yang bisa diabaikan. Dampaknya dapat sangat merugikan produktivitas, kualitas hidup, bahkan hubungan interpersonal.

Penelitian lain oleh T. L. Roberts et al. (2020) juga mengungkap bahwa kelelahan kognitif akibat keputusan yang berulang-ulang dapat menyebabkan keputusan yang impulsif atau bahkan menghindari keputusan sama sekali.

Apakah ini terdengar familiar? Saat otak kita lelah, hal sederhana seperti memilih menu makan malam saja bisa berubah menjadi dilema besar.

Namun, bagaimana sebenarnya mekanisme decision fatigue ini bekerja, dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengelolanya? Sebelum menjawabnya, mari kita pahami lebih dalam lagi terkait fenomena ini.

Mengapa Otak Kita Mengalami Kelalahan Membuat Keputusan?

Setiap keputusan, besar atau kecil, membutuhkan energi mental. Otak manusia memiliki sumber daya kognitif yang terbatas. Ketika sumber daya ini digunakan terus-menerus tanpa jeda, otak pun akan mulai “melemah”. Dalam bahasa psikologi, kondisi ini dikenal sebagai cognitive depletion.

Menurut Roberts et al. (2020), ketika seseorang berada dalam kondisi deplesi kognitif, mereka cenderung mencari jalan pintas dalam berpikir, seperti membuat keputusan impulsif atau memilih opsi yang paling mudah tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

Bayangkan jikalau kamu harus memilih di antara 20 jenis pasta di supermarket setelah seharian rapat. Alih-alih mempertimbangkan mana yang lebih sehat atau hemat, kamu bisa jadi hanya mengambil yang terdekat. Hal ini bukan karena kamu tidak peduli, tetapi karena otakmu sudah lelah berpikir.

Ironisnya, dunia modern yang penuh pilihan justru memperburuk situasi ini. Setiap hari, kita dihadapkan pada ratusan, bahkan ribuan keputusan kecil. Dari apa yang harus dikenakan, rute mana yang akan diambil ke kantor, makan apa untuk sarapan, sampai dengan mengirim email balasan seperti apa yang tepat.

Semua itu menambah beban kognitif yang dapat memicu kelelahan.

Dampak Keputusan yang Buruk pada Kehidupan Sehari-Hari

Akumulasi decision fatigue dapat membawa dampak nyata pada berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia kerja, misalnya, seorang pemimpin yang mengalami decision fatigue mungkin menjadi terlalu berhati-hati atau sebaliknya, terlalu ceroboh dalam mengambil langkah strategis.

Dalam kehidupan pribadi, hal ini dapat memengaruhi hubungan karena seseorang cenderung menjadi lebih mudah marah atau enggan berkomunikasi ketika mentalnya terkuras.

Kelelahan dalam membuat keputusan sering berujung pada pilihan yang merugikan. | Ilustrasi gambar: freepik.com/jcomp

Sebuah studi kasus yang diungkap oleh Baumeister & Vohs (2021) menunjukkan bahwa hakim yang membuat keputusan terkait pembebasan bersyarat cenderung lebih keras saat mendekati akhir hari kerja mereka.

Kualitas keputusan mereka menurun drastis karena kelelahan. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menjaga daya pikir tetap optimal, terutama dalam situasi yang memengaruhi kehidupan orang lain.

Menghadapi decision fatigue bukan berarti kita harus menyerah pada kualitas hidup. Sebaliknya, ada beberapa strategi yang dapat membantu:

  1. Prioritaskan Keputusan Penting di Pagi Hari: Penelitian menunjukkan bahwa energi mental berada pada puncaknya di pagi hari. Jadikan waktu ini untuk keputusan penting, seperti perencanaan pekerjaan atau diskusi strategis.
  2. Kurangi Pilihan yang Tidak Perlu: Steve Jobs dikenal karena mengenakan pakaian serupa setiap hari. Tujuannya adalah mengurangi beban keputusan kecil sehingga energi mental dapat diarahkan pada hal yang lebih penting.
  3. Gunakan Teknik ‘Batching’: Kelompokkan tugas serupa dalam satu waktu untuk mengurangi jumlah keputusan yang harus dibuat. Misalnya, merencanakan menu mingguan di awal pekan.
  4. Istirahat Secara Berkala: Istirahat singkat dapat membantu memulihkan energi mental dan mencegah deplesi kognitif. Teknik seperti meditasi atau sekadar berjalan-jalan singkat bisa sangat bermanfaat.

Membangun Kebiasaan yang Mendukung Keputusan Berkualitas

Kunci utama dalam menghadapi decision fatigue adalah membangun kebiasaan. Dengan menjadikan keputusan rutin sebagai kebiasaan, kamu mengurangi beban kognitif yang tidak perlu.

Sebagai contoh, menetapkan jadwal olahraga yang sama setiap minggu mengurangi dilema kapan harus berolahraga.

Kebiasaan yang baik tidak hanya mengurangi stres tetapi juga meningkatkan produktivitas. Dalam jangka panjang, ini membantu menciptakan pola pikir yang lebih terstruktur dan stabil, memungkinkanmu untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting.

Seperti yang dikatakan oleh Jim Rohn, “Motivation is what gets you started. Habit is what keeps you going.” (Motivasi adalah apa yang membuat Anda memulai. Kebiasaan adalah apa yang membuat Anda terus berjalan.) Dalam konteks ini, kebiasaan adalah senjata ampuh melawan decision fatigue.

***

Decision fatigue adalah ancaman nyata dalam kehidupan modern, tetapi bukan sesuatu yang tidak dapat diatasi.

Dengan memahami mekanismenya dan menerapkan strategi sederhana seperti mengurangi pilihan dan mengatur waktu, kita dapat meningkatkan kualitas keputusan sehari-hari.

Ingatlah bahwa setiap keputusan kecil yang kamu buat adalah investasi untuk masa depanmu. Kelolalah energi mentalmu dengan bijak agar setiap pilihan, besar atau kecil, memberikan hasil yang positif.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

NB : Temukan juga artikel psikologi kecerdasan lainnya disini.

Daftar Pustaka            

  1. Baumeister, J. A., & Vohs, D. G. (2021). Decision Fatigue: The Science Behind Poor Choices in Overworked Minds. Annual Review of Psychology.
  2. Roberts, T. L., et al. (2020). Cognitive Depletion and Its Impact on Decision-Making: Insights from Behavioral Science. Journal of Behavioral Decision Making.

5 Strategi Pengembangan Diri Berdasarkan Riset Kebahagiaan

Siapa yang tidak ingin bahagia? Banyak orang bermimpi tentang kebahagiaan sejati, tapi tidak semua tahu langkah konkret untuk mencapainya. Di era sekarang, pengembangan diri telah menjadi bagian penting dalam pencarian kebahagiaan. Lantas, bagaimana caranya?

Dalam bukunya yang terkenal, The Geography of Bliss, Eric Weiner mengeksplorasi kebahagiaan di lintas negara. Salah satu temuannya? Bahagia itu bukan sekadar kondisi; ia adalah hasil dari pola pikir, kebiasaan, dan lingkungan yang kita bentuk. Dan berdasarkan riset, pengembangan diri dengan pendekatan ilmiah bisa menjadi salah satu langkah efektif menuju hidup yang lebih bahagia.

Seperti kata Albert Einstein, “Insanity is doing the same thing over and over and expecting different results.” Artinya? Kalau mau bahagia, saatnya mencoba strategi baru yang didasarkan pada riset, bukan sekadar asumsi.

#1. Menumbuhkan Otonomi: Menjadi Sutradara dalam Hidup Sendiri

Otonomi adalah kunci meraih kepuasan hidup lebih besar | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Kebebasan untuk menentukan arah hidup sendiri ternyata adalah salah satu faktor kunci kebahagiaan. Menurut Self-Determination Theory (SDT) oleh Deci & Ryan (2000), otonomi atau kemampuan mengarahkan hidup sesuai nilai pribadi mempengaruhi tingkat kepuasan seseorang. Orang dengan otonomi tinggi merasa lebih puas dengan hidupnya, karena mereka merasa terlibat dalam pengambilan keputusan penting.

Namun, otonomi bukan berarti serba bebas tanpa batas. Hal ini tentang memiliki kontrol yang sehat, di mana keputusan yang kita ambil selaras dengan tujuan dan nilai hidup kita sendiri. Ingat pepatah, “Bebas bukan berarti liar, tapi bijak dalam memilih,” kan? Jadi, biarkan otonomi menuntunmu menjadi aktor utama dalam kisah hidupmu!

#2. Bangun Kompetensi: Mengasah Diri untuk Rasa Percaya Diri

Kompetensi yang kita bangun adalah investasi dalam kebahagiaan | Ilustrasi gambar: freepik.com / snowing

Rasa kompeten dalam menghadapi tantangan hidup ternyata erat kaitannya dengan kebahagiaan. Menurut riset yang sama dari Deci & Ryan (2000), kebahagiaan muncul ketika kita merasa mampu dan memiliki keahlian yang berguna.

Cara paling efektif untuk meningkatkan kompetensi adalah dengan menetapkan target realistis, belajar keterampilan baru, dan menerima tantangan. Contohnya, jika kamu ingin belajar bermain gitar, mulailah dari satu kunci dasar dan konsisten. Dalam bahasa populer, “Jangan pernah menyerah di tahap sulit, siapa tahu itu titik balik menuju sukses!” ujar seorang ahli yang tak pernah gagal (kecuali di tahap awal).

#3. Hubungan Sosial yang Bermakna: Kebahagiaan Melalui Koneksi

Koneksi sosial yang bermakna menguatkan fondasi kebahagiaan | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Kebahagiaan juga dipengaruhi oleh kualitas hubungan sosial yang kita miliki. Menurut riset Chesney et al. (2006), koneksi sosial yang baik berdampak positif terhadap kesejahteraan mental, terutama ketika berhadapan dengan situasi stres.

Hubungan yang bermakna adalah hubungan di mana kita merasa didukung, diterima, dan terhubung dengan orang lain. Bisa jadi, dalam sebuah hubungan yang sehat kita menemukan ‘kebahagiaan sosial’ yang menjadi pelengkap dari kebahagiaan pribadi kita.

Jangan ragu berinvestasi pada teman atau komunitas positif karena “teman baik itu lebih berharga daripada saldo rekening bank.

#4. Mengelola Stres: Kunci untuk Menikmati Setiap Momen

Pengelolaan stres adalah salah satu kunci keseimbangan hidup | Ilustrasi gambar: freepik.com / jcomp

Stres adalah bagian dari hidup. Namun, cara kita menanggapinya menentukan dampaknya pada kesehatan mental kita. Menurut riset oleh Gustems-Carnicer & Calderón (2013), coping strategy atau strategi mengatasi stres secara efektif sangat memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang.

Manajemen stres bisa berupa perencanaan, refleksi, atau bahkan mencari dukungan sosial. Seperti kata pepatah, “Stres itu pilihan, bahagia itu keputusan.” Pilih untuk tetap tenang dan berpikir jernih saat stres melanda. Lagi pula, hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan cemberut, bukan?

#5. Berpikir Positif: Fondasi Menuju Kebahagiaan Jangka Panjang

Pola pikir positif adalah fondasi kebahagiaan jangka panjang | Ilustrasi gambar: freepik.com / rawpixel.com

Tetapi yang tidak kalah penting adalah berpikir positif. Riset menunjukkan bahwa optimisme dan mindfulness membawa kita pada kebahagiaan yang lebih langgeng. Berpikir positif bukan sekadar senyum-senyum sendiri, tapi tentang bagaimana melihat sisi terang dalam setiap situasi, tanpa mengabaikan realitas.

Sebuah pepatah kuno berkata, “Kebahagiaan adalah kemampuan untuk melihat peluang di balik setiap tantangan.” Bahkan jika sedang dalam kondisi kurang menyenangkan, carilah sisi positif dari situasi tersebut. Seperti kata pepatah modern, “Kalau bisa bahagia, kenapa memilih susah?”

***

Meraih kebahagiaan sejati memang butuh usaha dan strategi. Dari otonomi, kompetensi, hingga koneksi sosial yang bermakna, setiap elemen yang kita bangun adalah langkah maju menuju kebahagiaan yang lebih kokoh. Dan seperti kata Lao Tzu, “A journey of a thousand miles begins with a single step.” Mulailah dengan langkah-langkah kecil dalam pengembangan diri yang didasari riset.

Bersabarlah dengan prosesnya, karena kebahagiaan tidak bisa dicapai dalam satu malam. Dengan melakukan perubahan kecil setiap hari, kita bisa menciptakan kebahagiaan yang tahan lama. Jadi, kenapa tidak mulai hari ini?

Selamat mencoba, dan nikmati prosesnya!

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

NB : Temukan juga artikel cerdas pengembangan diri lainnya disini.

Daftar Pustaka:

Weiner, E. (2008). The Geography of Bliss: One Grump’s Search for the Happiest Places in the World. New York: Grand Central Publishing.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68

Gustems-Carnicer, J., & Calderón, C. (2013). Coping strategies and psychological well-being among teacher education students: Coping and well-being. European Journal of Psychology of Education, 28(4), 1127–1140. https://doi.org/10.1007/s10212-012-0155-9