Siapa yang tidak senang melihat penjualan produknya meledak? Terutama para pelaku bisnis. Banjir omset dan profit bejibun akan segera masuk ke kantong. Bahkan kalaupun ledakan penjualan tersebut baru terjadi di akhir bulan atau pada detik-detik akhir menjelang tutup buku bulanan, hal itu tetaplah menggembirakan.
Bagi pebisnis, tidak masalah kapan saja ledakan penjualan terjadi asalkan produk selama mereka bisa mendatangkan pundi-pundi uang. Begitupun dengan tenaga penjualan, selama target omset mereka dari perusahaan bisa terpenuhi, maka penjualan di penghujung waktu pun tetap akan diburu.
Akan tetapi, lain halnya dengan rekan-rekan yang bertugas di bagian operasional atau penyedia produk yang hendak dijual tersebut. Mereka bisa jadi akan pontang-panting untuk memenuhi permintaan ini dan itu.
Disatu sisi mereka harus memastikan semua permintaan barang untuk dijual bisa dipenuhi, namun disisi lain mereka juga dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan efisiensi.
Ledakan penjualan bak buah simalakama jika tidak disikapi secara tepat | Ilustrasi gambar : freepik.com / ilixe48
Menghadapi Ketidakseimbangan Produksi dan Penjualan
Ketika ledakan penjualan terjadi dengan jangka waktu yang cukup singkat, tentu hal itu akan mengganggu keseimbangan di lini produksi barang. Terlebih ketika volume penjualan lebih besar ketimbang volume produksinya.
Bukan tidak mungkin aspek efisiensi akan dikorbankan demi ambisi untuk meraup omset setinggi mungkin dari penjualan. Namun, apakah itu sepadan?
Bagaimanapun, sebuah bisnis adalah tentang profit. Bukan tentang omset, atau sekadar urusan efisiensi. Percuma saja omset besar tapi ternyata rugi. Percuma saja efisiensi tinggi tapi tidak membuahkan keuntungan.
Profit sendiri adalah tentang selisih antara omset penjualan dengan biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan barang atau produk yang dijual tersebut. Apabila omset penjualan tinggi dan biaya operasionalnya rendah maka otomatis margin keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Begitupun sebaliknya.
Dengan kata lain, perlu terjadi sinkronisasi antara memaksimalkan penjualan dan mengefisiensikan penyiapan barang. Sehingga keuntungan bisnis bisa dimaksimalkan.
Pentingnya ‘Feeling’ dalam Perencanaan Produksi untuk Menangani Penjualan Akhir Bulan
Penjualan memang seringkali sukar diprediksi. Namun, ketika ledakan penjualan “hanya” terjadi setiap kali akhir bulan datang tentu ada yang salah disana. Entah karena kurangnya effort untuk memasarkan produk, atau barangkali ada kendala teknis lain yang mesti diselesaikan seperti produk sering kosong diawal dan pertengahan bulan, ekspedisi pengiriman yang baru siap ketika akhir bulan menjelang, dan lain sebagainya.
Penuntasan masalah ini harus dilihat secara menyeluruh. Khususnya oleh tim Perencanaan Produksi dan Pengendalian Inventori (PPIC) yang harus lebih intensif memeriksa tren pergerakan barang, utamanya pengeluaran barang untuk penjualan, dan potensi peningkatan pesat beban produksi pada akhir periode.
Feeling perencanaan cukup berperan penting dalam menentukan strategi PPIC | Ilustrasi gambar : economictimes.indiatimes.com
PPIC tidak bisa mencampuri ranah penjualan. Paling banter mungkin hanya menggerutu atau mengkritik tim pelaksana yang bertugas disana. Dengan kata lain, PPIC harus fokus dengan cakupan tugas dan wewenangnya. Yakni mengelola persediaan dan mempersiapkan perencanaan produksi sehingga siap sedia kapanpun dibutuhkan.
Membaca tren terdahulu mungkin bisa menjadi referensi berharga, meskipun tidak bisa dijadikan sebagai pedoman utama. Terkadang ada feeling yang dimainkan disini. Prosedur perencanaan yang mungkin sudah dibakukan belum tentu mampu melihat dan memprediksi masa depan seakurat feeling tim PPIC yang memiliki pengalaman cukup panjang.
Bahkan seorang Waren Buffet pun mengandalkan nalurinya untuk menebak pergerakan investasi portofolio saham-sahamnya. Kapan ia harus mengambil, dan kapan harus melepasnya.
Sayangnya, untuk menjadi Warren Buffet butuh waktu lebih dari hitungan jam ataupun hari. Diperlukan masa pengalaman bertahun-tahun lamanya untuk mengasah feeling sehingga bisa memperkirakan keadaan yang terjadi berikutnya.
Tapi, bagaimanapun, setinggi apapun jam terbang tetaplah dimulai dari langkah pertama dan terus menerus diasah. Seperti kata Anthony Robbin, repetisi adalah ibu dari segala pengetahuan. Seorang Warren Buffet pasti sudah melalui beragam situasi dan kondisi di pasar saham sehingga menjadi seperti sekarang. Begitupun pakar keahlian yang lain pastilah melakukan hal serupa.
Dalam konteks mengelola perencanaan produksi, proses berulang yang terjadi dari waktu ke waktu dengan segala dinamikanya pasti akan memberikan peningkatan kemampuan bagi pelakunya. Tentu dengan catatan bahwa selalu ada mekanisme evaluasi, feedback, dan terus melakukan perbaikan berkelanjutan. Salah satunya dengan menambah referensi bacaan terkait ranah tugas yang dikerjakan.
Maksud dan tujuan utama dari dibuatnya perencanaan produksi (production planning) adalah untuk meningkatkan efisiensi serta produktivitas dari operasional sebuah bisnis.
Sebuah industri, khususnya manufaktur, mungkin masih bisa beroperasi meski tanpa adanya sistem perencanaan produksi didalamnya. Hanya saja, jalannya operasional akan kurang terkendali.
Produksi bisa berjalan. Pemenuhan permintaan pun bisa dilakukan. Akan tetapi, ada beberapa hal penting yang disadari atau tidak sebenarnya telah dikorbankan.
Perencanaan Produksi sangat penting perannya dalam sebuah aktivitas bisnis | Ilustrasi gambar : bmgtraining.co.id
Efek sampingnya, industri menjadi kurang kompetitif. Entah karena ongkos produksi yang mengalami pembengkakan, pemborosan sumber daya disana sini, hingga terjadi miskalkulasi pemenuhan permintaan pelanggan.
Ketika industri yang beroperasi masih dalam skala kecil, barangkali situasi tersebut cenderung terabaikan dan seringkali dianggap tidak ada atau bahkan tidak pernah terjadi.
Sayangnya, setiap pelaku Industri pastilah menginginkan bisnisnya terus bertumbuh dan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sehingga, secara tidak langsung, pembiaran atau pengabaian atas ketidakefisiensian tersebut akan menjadi bahaya laten yang membahayakan industri dalam jangka panjang.
Dengan kata lain, apabila sebuah industri berharap adanya perbaikan dalam dirinya maka aspek perencanaan produksi penting untuk diberikan porsi perhatian yang signifikan.
Prinsip Mencegah Pemborosan
Islam adalah solusi untuk segala hal. Meski mungkin dalam beberapa kajian disiplin ilmu tertentu yang tidak secara gamblang mendapatkan perhatian secara perspektif Islam, tidak berarti bahwa wawasan kearah sana tidak ada.
Kita hanya perlu mengulik lebih dalam dan menggali lebih detail untuk mencari keterkaitan antara ilmu-ilmu Islam tersebut dengan kajian yang sudah cukup banyak dibicarakan di berbagai mimbar akademik ataupun di beberapa diskusi publik.
Islam melarang umatnya untuk berperilaku boros | Ilustrasi gambar : thisiscolossal.com
Satu hal yang menarik untuk dibahas disini adalah terkait dengan pemborosan. Pemborosan adalah salah satu hal yang paling dihindari dalam berbagai pengajaran tentang Islam. Bahkan Al-Qur’an dan hadits pun secara jelas menerangkan hal itu.
Misalnya, pada Q.S. Al-An’am ayat 141 dimana Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berlaku boros, karena sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlaku boros.”
Mungkin selama ini kita cenderung memahami firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW tersebut dalam konteks menjalani kehidupan pribadi masing-masing. Padahal, konteks perilaku boros bisa jadi merupakan bagian dari “penyakit” organisasi atau dalam hal ini kita sematkan pada tata kelola industri yang tidak efisien.
Bahkan secara jelas ada ulasan khusus yang memfokuskan kajian industri dalam rangka menghindari praktik pemborosan tersebut. Yang dalam istilah industri lebih dikenal dengan sebutan waste.
Terminologi waste ini bisa diibaratkan sebagai “musuh bersama” yang perlu dieliminir semaksimal mungkin karena keberadaannya yang secara langsung maupun tidak langsung telah menggerus capaian produktivitas dari sebuah industri.
Efektivitas dan efisiensi aktivitas operasional berbanding terbalik dengan tingkat waste yang terjadi didalamnya.
Perencanaan Produksi untuk Efisiensi
Membuat perencanaan produksi adalah upaya preventif paling awal yang bisa dilakukan dalam mencegah inefisiensi sebuah proses. Karena bagaimanapun juga perencanaan produksi adalah titik start dalam keberlangsungan kegiatan operasional sebuah industri.
Pemborosan bisa dicegah atau setidaknya diminimalkan agar tidak sampai membuat sumber daya yang dipergunakan terbuang sia-sia.
Dengan kata lain, membuat perencanaan produksi yang baik merupakan penerapan dari prinsip mencegah pemborosan sekaligus implementasi nyata dari bagaimana ketakwaan itu diwujudkan dalam realitas kehidupan yang lebih luas, dalam hal ini adalah di lingkungan industri atau dunia usaha.
Pengaturan produksi yang baik akan mencegah pemborosan | Ilustrasi gambar : usnewsper.com
Untuk melihat korelasi langsung dari penyusunan rencana produksi dan efek yang ditimbulkannya terhadap laju pemborosan maka perlu ada klasifikasi terkait jenis-jenis waste yang terjadi pada keseluruhan aktivitas produksi tersebut.
Yang paling umum dari klasifikasi ini adalah seven waste dan meliputi over production atau produksi berlebih, waiting atau menunggu, transportation atau transportasi, unnecessary processing atau proses yang tidak perlu, inventory atau persediaan, motion atau gerakan, dan defect atau cacat.
Over Production
Kita mulai dari over production atau produksi berlebih. Mungkin ada yang bertanya-tanya, produksi berlebih memang apa ruginya? Kan masih bisa dijual? Itu betul, memang bisa dijual. Tapi, berapa lama? Apakah akan terjual cepat atau butuh waktu cukup lama?
Ini bukan persoalan bisa dijual atau tidak. Namun, menyangkut efisiensi persediaan barang. Produk atau barang yang diproduksi dalam jumlah berlebih akan menjadi beban penyimpanan. Apalagi ketika untuk menghabiskannya membutuhkan waktu lama.
Space gudang yang harusnya bisa dipergunakan untuk menyimpan barang lain (yang berpotensi lebih cepat dijual) menjadi terkendala. Belum lagi diperlukan alokasi biaya khusus untuk perawatan barang selama penyimpanan (misal barang dengan treatment ruang pendingin, dan sejenisnya).
Semakin besar jumlah produksi berlebih terjadi maka akan semakin mengurangi tingkat efisiensi dari operasional sebuah industri. Jelas ini merupakan tindakan pemborosan yang tidak layak dilakukan.
Waiting
Apa imbasnya jika sampai terjadi situasi dan kondisi ini ? Khususnya di lingkungan operasional sebuah unit bisnis. Kesia-siaan waktu? Iya, akan ada waktu yang terbuang percuma tanpa hasil yang produktif.
Padahal, waktu merupakan modal yang sangat berharga bagi dunia usaha. Time is money. Ajaran Islam sendiri memberi penegasan secara gamblang mengenai pentingnya waktu. Sampai-sampai Allah SWT sendiri bersumpah atas nama waktu. Demi masa.
Ketika sebuah proses industri sampai membiarkan terjadinya pemborosan waktu maka ongkos yang harus ditanggung akan sangat besar. Industri harus membayar upah lembur. Atau menambah sumber daya baru untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
Karena bagaimanapun juga waktu tidak bisa diulang.
Satu hari akan selalu sama sebanyak 24 jam. Tidak kurang, tidak lebih. Saat ada target produksi untuk memenuhi permintaan yang harus rampung dalam kurun waktu tersebut maka kita harus seoptimal mungkin memberdayakan waktu tersisa.
Apabila pada sisa waktu yang ada semakin banyak dibiarkan dengan aktivitas menunggu atau waiting maka dampaknya akan panjang. Pemenuhan permintaan gagal memenuhi target delivery, keterlambatan pengiriman, pembengkakan biaya produksi, hingga kehilangan konsumen.
Perencanaan produksi memiliki peran krusial untuk mengeliminir waktu tunggu menjadi seminimal mungkin. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa planner hanyalah salah satu kepingan penunjang proses untuk membuat aktivitas operasional yang efektif dan efisien.
Biarpun begitu, planner harus melihat setiap celah pemborosan waktu yang mungkin terjadi sepanjang penjadwalan produksi dibuat.
Ketika menjadwalkan produk di sebuah mesin produksi, saya umumnya meletakkan setidaknya dua produk atau lebih dalam antrian. Sehingga ketika item pertama mengalami kendala teknis untuk dijalankan, tim produksi bisa “lompat” ke item berikutnya. Tentu melalui konfirmasi terlebih dahulu kepada planner.
Planner biasanya memiliki setumpuk antrian produk untuk dijalankan di suatu mesin. Dengan begitu seharusnya tidak ada alasan untuk membiarkan sebuah fasilitas berhenti beroperasi dan menunggu dalam waktu lama untuk beroperasi kembali.
Transportation
Transportasi, termasuk didalamnya adalah aktivitas material handling atau pemindahan material atau pemindahan barang. Aktivitas ini umumnya tidak memberikan nilai tambah secara langsung dalam penciptaan suatu produk. Akan tetapi perannya sangat krusial untuk memastikan produksi berjalan.
Saya ambil contoh, penggunakan mesin conveyor di sebuah proses produksi pada dasarnya hanya berperan mengalirkan barang dari satu lini produksi ke lini produksi yang lain. Atau dari lini produksi ke lini penyimpanan (gudang).
Dalam aktivitas tersebut, bisa dibilang conveyor tidak memberikan nilai tambah apapun. Hanya saja, tanpa keberadaannya maka rangkaian proses tidak akan bisa dituntaskan.
Selain itu, pemindahan barang menggunakan forklift atau kendaraan pengangkut lain juga tidak memberikan nilai tambah apapun pada produk. Hanya saja keberadaannya penting untuk menjembatani rangkaian proses.
Masalah yang berpotensi terjadi disini adalah terjadinya aktivitas transportasi tidak efisien. Misalnya, ketika forklift seharusnya bisa melakukan sekali tarikan tapi justru melakukan dua kali atau lebih tentu akan ada energi terbuang disana. Konsumsi solar akan lebih banyak. Atau tenaga listrik lebih besar. Ini tentu merupakan pemborosan.
Sekilas, planner sepertinya tidak memiliki peranan apapun untuk mempengaruhi situasi ini. Padahal planner juga bisa turut campur tangan. Seperti membuat pengaturan jadwal produksi dengan variasi produk yang minimal sehingga ketika transfer produk akhir dilakukan maka forklift tidak menempuh rute berlebihan.
Saya berikan simulasi begini. Planner membuat jadwal produksi untuk produk A dan produk B di mesin X. Lokasinya terletak di lantai produksiproduksi.
Hasil produk tersebut akan ditransfer ke gudang Y pada lokasi Y1 dan Y2. Sehingga forklift harus berpindah dari lokasi mesin X menuju gudang Y1 untuk menaruh produk A dan ke gudang Y2 untuk menaruh produk B.
Apabila saya sebagai planner menambahkan produk C yang lokasi penyimpanannya di gudang Y3 ke dalam jadwal antrian produksi, maka forklift harus menuju rute Y3 juga dalam perjalanannya.
Bagaimana seandainya planner menambah jadwal produksi untuk mesin M, N, dan produks D, E, F, dan seterusnya. Tentu aktivitas transportasi ikut bertambah.
Bukan hal yang dilarang juga bagi planner untuk menjadwalkan banyak produk sekaligus, terlebih ketika hal itu diperlukan. Hanya saja, dengan meminimalkan variasi produk dalam satu periode produksi maka hal itu akan sangat membantu mereduksi rute tempuh peralatan atau fasilitas transportasi kita.
Unnecessary Processing
Secara umum, aktivitas “proses” merupakan domain dari tim produksi. Khususnya yang berhubungan dengan proses menciptakan sebuah produk. Dengan demikian maka wajar kiranya apabila waste yang terkait dengan proses-proses tidak perlu (unnecessary processing) lebih patut diwaspadai terjadinya disana.
Namun, anggapan itu sebenarnya tidak sepenuhnya tepat. Perencanaan produksi yang bermasalah bisa ikut andil dalam terjadinya waste ini. Meski mungkin tidak menjadi penyebab langsungnya.
Dalam beberapa kesempatan membuat perencanaan produksi, saya pernah memberikan informasi yang kurang lengkap untuk pengerjaan suatu jenis produk. Kebetulan terdapat dua jenis produk yang secara deskripsi mirip. Keduanya hanya berbeda jumlah isi dalam satu kemasan karton saja.
Contohnya, produk A adalah detergen cuci kemasan botol varian warna pink dengan isi 8 pieces botol per karton. Sedangkan ada produk B dengan varian serupa cuma isinya adalah 12 pieces botol dalam satu karton.
Nah, waktu itu saya tidak secara spesifik menyebutkan isi dari jadwal produksi yang saya sampaikan kepada tim produksi. Dalam lembar rencana produksi harian hanya tertera nama detergen botol varian warna pink dengan berat 1,5 liter. Tanpa saya sadari ternyata ada kekurangan pencantuman informasi perihal isi botol dalam satu kartonnya.
Alhasil, supervisor produksi yang bertugas waktu itu (yang memang orang baru) salah menafsirkan bahwa produk yang saya jadwalkan sebagai detergen warna pink isi 12 pieces per karton. Sementara yang saya maksudkan sebenarnya adalah detergen botol warna pink 1,5 liter isi 8 pieces.
Peristiwa itu baru ketahuan keesokan harinya saat produksi sudah mencapai beberapa ratus karton produk.
Padahal untuk produk varian isi 12 tersebut sedang tidak ada permintaan. Disisi lain, ada keterbatasan jumlah stok material untuk memproduksi produk tersebut kembali.
Pada akhirnya saya pun harus meminta maaf atas peristiwa miskomunikasi yang terjadi. Produk yang kadung jadi terpaksa harus diproses ulang dengan melakukan penggantian karton box dari isi 12 ke isi 8.
Inilah aktivitas proses yang semestinya bisa dihindari. Terlebih sebab terjadinya bermula dari perkara sepele yakni tidak lengkapnya planner menyampaikan informasi dalam jadwal rencana produksi terkait dengan spesifikasi produk.
Inventory
Persediaan atau inventory yang menumpuk di gudang penyimpanan suatu perusahaan adalah salah satu musuh terbesar dan sebisa mungkin dihindari. Khususnya bagi perusahaan yang menerapkan model bisnis TOP atau Term Of Payment.
Model bisnis TOP ini mengharuskan pembayaran dilakukan oleh perusahaan penerima barang terhitung sejak beberapa waktu setelah barang tersebut diterima. Dengan kata lain, semakin banyak barang yang diterima maka kalkulasi tagihan akan menumpuk.
Lantas masalahnya dimana ?
Jikalau barang tersebut adalah jenis material yang kita terima dari suplier, maka terhitung waktu setelah kita menerima barang tersebut (misalnya satu hari kemudian) argo tagihan mulai dihitung.
Model bisnis semacam ini terbilang menguntungkan bagi perusahaan apabila siklus pengeluaran produknya terjadi cukup cepat.
Sehingga material yang sudah masuk bisa terus diproses hingga menjadi produk siap jual untuk kemudian dibayarkan pada tagihan TOP material.
Semakin cepat perputaran penjualan produk, sedangkan tagihan TOP sudah terjadwal rutin tenggat waktunya maka keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut akan semakin besar.
Bisa dibilang juga bahwa pengusaha dengan model bisnis tersebut sebenarnya tidak mempergunakan modal samasekali (untuk pembelian material) dalam menjalankan bisnisnya. Itu dengan catatan ritme penjualan produk dan penggunaan material terjadi secara berkesinambungan.
Setiap kali ada material yang mengendap tidak terpakai atau jeda waktu penyimpanan dan pemakaiannya cukup lama, maka perusahaan harus tetap membayar TOP sedangkan untuk penjualan produk tersebtu sendiri lebih lambat dari TOPnya. Efeknya adalah kas perusahaan akan terkuras.
Lalu apa kaitannya dengan inventori ?
Ketika sebuah produk hendak dijadwalkan untuk produksi, ada konsekuensi dimana planner atau melalui tim inventory controller untuk menjadwal masuk material-material pendukungnya. Yang mana dalam beberapa kasus terdapat kesepakatan antar perusahaan dimana ada batas minimal pengiriman untuk produk tersebut.
Saat planner gagal memperkirakan rencana produksi yang berdampak adanya produk tertentu yang tidak perlu diproduksikan pada periode tersebut, maka material yang kadung dijadwalkan akan menimbulkan beban persediaan.
Dalam hal ini, mau tidak mau kalkulasi TOP akan terjadi tanpa adanya perimbangan bahwa produk akhir dari material tersebut akan terjual.
Selain itu, kesalahan perencanaan produksi (misalnya kelebihan menginformasikan jumlah unit yang harus diproduksi) berisiko menciptakan biaya tambahan untuk perawatan produk yang dihasilkan.
Ini tentu juga merupakan bagian dari pemborosan itu sendiri. Andaikan tidak terjadi kelebihan jumlah produk saat produksi, maka tidak perlu ada biaya dikeluarkan untuk merawat produk tersebut.
Motion
Terkait dengan waste ini mungkin planner tidak memberi andil, karena menyangkut aktivitas teknis yang bersentuhan langsung dalam penciptaan suatu produk.
Defect
Untuk produksi defect atau rusak memang sangat ditentukan oleh seberapa baik proses penciptaan produk dijalankan. Perencanaan produksi maksimalnya hanya nggupuhi atau membuat pihak produksi menjadi terburu-buru untuk menuntaskan produksinya.
Sebenarnya, apabila kontrol terhadap proses dijalankan secara tepat maka perencanaan produksi tidak bisa disebut ikut ambil bagian.
Pada dasarnya nilai-nilai Islam memang ada dimana-mana, termasuk perihal pekerjaan dan fungsi perencanaan produksi. Dengan adanya hal itu seharusnya kita bisa menjadi lebih paham bahwasanya pekerjaan akan benar-benak bernilai ibadah manakala kita menjalankan sesuai dengan tuntunan nilai tersebut.
Kepunahan massal selanjutnya berawal dari lautan. Ini bukan gurauan, melainkan sebuah kekhawatiran yang selama beberapa tahun belakangan semakin mendekati kenyataan. Terlepas kita menyadarinya atau tidak, pada kenyataannya situasi iklim memang terus memburuk dari waktu ke waktu. Emisi karbon dan polutan berbahaya lainnya terus mengepung penjuru bumi tanpa adanya penyeimbang sepadan yang mampu menangkal.
Jikalau selama ini kita sering hanya berbicara perihal kemungkinan suhu bumi yang memanas, bongkahan es kutub mencair, permukaan air laut meninggi, dan tenggelamnya daratan oleh luberan air laut maka sebenarnya ancaman yang muncul dari lautan lebih daripada itu.
Lautan sedang menuju “pengasaman” yang semakin tidak bersahabat bagi kehidupan. Karbon yang menumpuk perlahan bereaksi dengan air laut sehingga menjadikan tingkat keasaman (pH) semakin rendah.
Sejak revolusi industri bergulir hingga saat ini, pH lautan global telah turun menjadi sekitar 8,07 dari idealnya 8,1 – 8,4 (dw.com). Diperkirakan pada tahun 2100 mendatang akan terus turun hingga mencapai pH 7,67 (mongabay.co.id).
Situasi tersebut menjadikan terumbu karang terancam rusak sehingga keanekaragaman hayati yang hidup dan tinggal bergantung padanya pasti akan turut terdampak. Para penghuni lautan perlahan tapi pasti mengalami ancaman kepunahan.
Disamping itu, paparan luberan air laut dengan keasaman rendah pada lahan pertanian di pinggir lautan akan menurunkan kualitas tanah hingga akhirnya tidak bisa dipergunakan samasekali untuk bercocok tanam. Semakin banyak tanah yang terendam maka situasi pangan akan semakin terancam.
Untuk kelanjutan ceritanya saya kira Anda sudah bisa menebak akan seperti apa jikalau situasi yang ada saat ini tidak segera diperbaiki.
Butuh lebih dari sekadar doa untuk memulihkan situasi. Emisi karbon harus sesegera mungkin direduksi pasokannya. Bukan menunggu tahun 2060 mendatang, tapi harus mulai dari sekarang.
Dalih ekonomi seringkali dijadikan alasan untuk menunda langkah antisipasi. Tidak jarang komitmen yang sudah dibuat berulang kali dilanggar dengan alasan situasi genting dan mendesak. Padahal adakah yang lebih mendesak ketimbang ancaman kepunahan terhadap seluruh makhluk hidup penghuni bumi itu sendiri?
Peran Industri
Sektor Industri berkontribusi cukup besar dalam memasok emisi karbon di bumi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekitar 60,2 juta ton karbon dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2019 yang lalu. Untuk kontributor tertinggi masih ditempati oleh sektor energi dengan 638,8 juta ton emisi karbon pada tahun yang sama (katadata.co.id).
Sedangkan hampir semua sektor industri juga sangat bergantung pada energi, yang artinya industri memiliki pengaruh cukup besar terhadap jumlah emisi karbon saat ini.
Oleh karena itu, segenap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan industri hendaknya turut mengambil peran dalam upaya reduksi emisi. Mulai dari pucuk pimpinan perusahaan sampai dengan karyawan pelaksana di lini paling depan.
Kalau boleh dibilang sebenarnya setiap aktivitas pada proses bisnis suatu industri memiliki pengaruh terhadap jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Hanya saja jumlahnya beragam antara satu dengan yang lain. Ada yang secara langsung menjadi penyebab dihasilkannya emisi karbon, ada juga yang menjadi sebab tidak langsung.
Di industri manufaktur misalnya, aktivitas operasional dimana mesin-mesin beroperasi untuk menghasilkan produk tertentu biasanya akan bersentuhan langsung sebagai produsen emisi. Apalagi ketika mesin tersebut menggunakan bahan bakar fosil dan menghasilkan gas buang sebagai imbas aktivitasnya. Ataupun ketika mesin dijalankan oleh tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil semisal PLTU Batubara.
Aktivitas pendukung lain seperti perencanaan produksi sepintas mungkin tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pasokan emisi. Padahal, kekacauan dalam menentukan jadwal produksi bisa sangat merugikan secara efisiensi dan produktivitas sebuah industri. Sumber daya yang dipergunakan bisa jadi melebihi taksiran yang seharusnya.
Waktu produksi bisa menjadi lebih panjang. Potensi produk rusak pun meningkat. Aktivitas produksi ulang bisa bertambah intensitasnya seiring tuntutan pasar yang selalu harus bisa dipenuhi terlepas apapun masalah yang melanda lini produksi. Limbah produksi pun semakin besar.
Hal ini mungkin terlupakan. Atau sebatas dinilai sebagai penyebab tingginya ongkos produksi saja. Atau sekadar sebagai penyebab berkurangnya nilai keuntungan sebuah korporasi saja. Padahal efek yang ditimbulkannya juga menyangkut nasib bumi.
Semakin bermasalah perencanaan produksi (production planning) yang dirancang maka semakin besar pula efek emisi yang ditimbulkan.
Dengan kata lain, membuat perencanaan produksi yang seoptimal mungkin untuk mendukung proses yang efektif dan efisien akan sangat berperan dalam menekan laju emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas industri secara keseluruhan.
Menyusun perencanaan produksi hendaknya tidak sekadar berorientasi terhadap pemenuhan permintaan pelanggan, akan tetapi juga harus mengedepankan kepentingan lingkungan yang berkelanjutan. Dengan kata lain green production planning atau perencanaan produksi hijau atau perencanaan produksi yang berwawasan lingkungan harus menjadi acuan sebuah industri dalam beroperasi.
Selama ini mungkin kita menganggap kepentingan pelanggan adalah segalanya. Tapi untuk sekarang kita memiliki batasan lain yang juga penting untuk diperhatikan. Yakni bagaimana caranya agar kegiatan industri yang dilakukan itu juga mesti mengutamakan reduksi konsumsi energi agar tidak berlebihan.
Perencanaan produksi hijau mengemban peran strategis dalam mengupayakan keuntungan bagi pelaku industri sekaligus mengakomodasi upaya penyelamatan lingkungan melalui efisiensi sumber daya. Dengan kata lain, aspek lingkungan memiliki prioritas yang sama pentingnya dengan tujuan mengeruk profit bisnis.
Sepanjang pengalaman saya menggeluti profesi sebagai perencana produksi, deadline waktu pemenuhan permintaan merupakan prioritas utama. Dalam situasi yang sangat mendesak, tidak jarang pemborosan energi dikorbankan. Situasi semacam ini perlu dipertimbangkan ulang manakala prinsip perencanaan produksi hijau diimplementasikan.
Biasanya seorang perencana produksi akan mempertimbangkan beberapa aspek seperti Earliest Due Date atau tenggat waktu terpendek, Shortest Processing Time atau waktu proses terpendek, dan First Come First Serve atau yang pertama datang pertama dilayani.
Akan tetapi, faktor dampak lingkungan sangat mungkin mempengaruhi penentuan rencana produksi sehingga menjadikan hasil perencanaan produksi hijau sedikit berbeda dibandingkan perencanaan produksi pada umumnya.
Selama itu baik untuk keduanya, bisnis dan lingkungan, mengapa tidak?
“Halah… Paling-paling kerjaannya planner cuma bikin hitung-hitungan di depan komputer doang. Enak, gak perlu capek-capek ngeluarin keringat. Kerjaan santai, cuma duduk aja. Kerja jadi planner risikonya kecil, tidak seberapa dibandingkan orang lapangan.”
Kalau ada yang menganggap profesi planner tidak punya risiko berarti maka saya siap untuk beradu debat membantah hal itu. Karena sependek yang pernah saya alami semasa menggeluti profesi ini sudah beberapa kali saya merasakan situasi was-was dan penuh kekhawatiran.
Salah perencanaan merupakan risiko menjadi planner yang bisa sangat menjatuhkan psikis | Ilustrasi gambar : pixabay.com / geralt
Memang, risikonya tidak menyasar fisik secara langsung. Melainkan menginvasi psikis atau psikologis seorang planner manakala dalam menjalankan perannya secara langsung atau tidak langsung telah membuat rencana produksi yang salah.
Dalam situasi yang cukup ringan mungkin berhadapan dengan teguran dan amarah bos merupakan hal yang lumrah. Namun, bagaimana jika sudah berhadapan dengan ancaman harus membayar ganti rugi yang nominalnya mencapai jutaan rupiah?
Inilah yang pernah saya alami beberapa tahun lalu. Yakni ketika rencana produksi yang saya buat ternyata mengalami cacat informasi sehingga terpaksa menghasilkan eksekusi yang salah juga. Pada akhirnya, produk yang diselesaikan tidak sesuai dengan permintaan karena mengalami perbedaan spesifikasi dari yang seharusnya disiapkan.
Terjerumus Asumsi
Kepercayaan memang mahal harganya. Meskipun dalam pekerjaan menaruh kepercayaan kepada rekan kerja bisa jadi sangat membantu jalinan kerjasama kedua belah pihak yang terlibat.
Sayangnya, waktu itu kepercayaan yang saya gantungkan kepada rekan kerja di bagian lain justru membuat saya salah langkah. Saya yang kadung berasumsi bahwa informasi yang disajikan telah memenuhi syarat meskipun belum dibakukan dalam bentuk dokumen resmi, harus membayar mahal asumsi tersebut.
Dalam sebuah komunikasi lisan via telepon saya sempat mengonfirmasi bahwasanya jenis material tertentu akan dipergunakan untuk memproduksi suatu jenis produk. Sialnya, apa yang ada di benak saya terkait kriteria material tersebut sebenarnya berbeda dengan yang ada di benak rekan kerja saya (bagian marketing) tadi. Hanya saja ketika komunikasi itu dilakukan kami sama-sama belum menyadari.
Pada alur penciptaan sebuah produk, urut-urutannya adalah marketing berkomunikasi dengan RnD, untuk selanjutnya merilis requirement dari material apa saja yang diperlukan. Nah, di dalam list requirement tersebut sebenarnya sudah terjadi kesalahan data yang ironisnya tidak kami sadari satu sama lain. Karena kebetulan produk yang hendak diproduksi 90% mirip dengan produk sebelumnya. Sekadar berbeda isi saja.
Pada saat saya membuat rencana produksi dan menginformasikannya kepada tim lapangan untuk mengeksekusi ternyata baru disadari bahwasanya terdapat “keanehan” pada produk yang dihasilkan.
Kemasannya tampak lebih besar. Bahkan kemasan yang lainnya sudah memiliki identitas khusus yang mengarah spesifik untuk buyer tertentu. Alhasil, ketika jumlah yang diminta telah siap sesuai pesanandan hendak dimuat menuju container ternyata kubikasinya berlebih. Padahal secara teori harusnya jumlah pesanan tersebut muat untuk mengisi container.
Disinilah kemudian baru disadari bahwa kemasan yang dipakai ternyata salah. Mengetahui hal itu, tim pemasaran pun langsung menganulir pengiriman demi menghindari dampak yang lebih besar.
Namun, pembatalan itu sendiri juga sudah memicu kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Kalau diperkirakan jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta.
Siapa yang harus menanggung kerugian besar tersebut? Besar kemungkinan kamilah yang harus menerima akibatnya.
Pentingnya Berpedoman pada Informasi Resmi
Pada waktu itu akhirnya diketahui bahwa kesalahan memang terjadi secara berjamaah. Ada ketidaksinkronan informasi antara beberapa bagian yang terlibat untuk membidani sebuah produk.
Terlebih, sebagian atau semua pihak yang terlibat sama-sama terjebak asumsinya masing-masing. Saling menyepakati padahal memiliki interpretasi yang berbeda satu dengan yang lain.
Disinilah saya menyadari peran dokumentasi resmi begitu krusial. Adanya rujukan bersama yang dikeluarkan oleh satu bagian tertentu akan menjadi panduan untuk melangkah bagi bagian yang lain.
Saya tidak bisa membayangkan andaikata kesalahan waktu itu benar-benar hanya terjadi oleh peran saya sebagai planner seorang diri. Pasti akan sangat berat untuk menanggung akibat dari kesalahan perencanaan tersebut. Pemotongan gaji. Tercorengnya rekam kinerja.
Namun, saya bersyukur waktu itu perusahaan masih berkenan memberikan solusi yang lebih bersahabat. Kesalahan ditanggung bersama-sama dan tidak perlu membayar ganti rugi. Cukup dengan membantu menjadi “tim pemasar dadakan” untuk menjual “produk gagal” tersebut sehingga bisa meminimalisir kerugian yang ditimbulkan.
Padahal, pekerjaan planner hanya mengutak-atik data di depan layar komputer. Melakukan perhitungan tambah kurang bagi kali. Tapi, siapa sangka. Kesalahan informasi kecil bisa menjadi sebab kerugian yang sangat besar.