5 Strategi Pengembangan Diri Berdasarkan Riset Kebahagiaan

Siapa yang tidak ingin bahagia? Banyak orang bermimpi tentang kebahagiaan sejati, tapi tidak semua tahu langkah konkret untuk mencapainya. Di era sekarang, pengembangan diri telah menjadi bagian penting dalam pencarian kebahagiaan. Lantas, bagaimana caranya?

Dalam bukunya yang terkenal, The Geography of Bliss, Eric Weiner mengeksplorasi kebahagiaan di lintas negara. Salah satu temuannya? Bahagia itu bukan sekadar kondisi; ia adalah hasil dari pola pikir, kebiasaan, dan lingkungan yang kita bentuk. Dan berdasarkan riset, pengembangan diri dengan pendekatan ilmiah bisa menjadi salah satu langkah efektif menuju hidup yang lebih bahagia.

Seperti kata Albert Einstein, “Insanity is doing the same thing over and over and expecting different results.” Artinya? Kalau mau bahagia, saatnya mencoba strategi baru yang didasarkan pada riset, bukan sekadar asumsi.

#1. Menumbuhkan Otonomi: Menjadi Sutradara dalam Hidup Sendiri

Otonomi adalah kunci meraih kepuasan hidup lebih besar | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Kebebasan untuk menentukan arah hidup sendiri ternyata adalah salah satu faktor kunci kebahagiaan. Menurut Self-Determination Theory (SDT) oleh Deci & Ryan (2000), otonomi atau kemampuan mengarahkan hidup sesuai nilai pribadi mempengaruhi tingkat kepuasan seseorang. Orang dengan otonomi tinggi merasa lebih puas dengan hidupnya, karena mereka merasa terlibat dalam pengambilan keputusan penting.

Namun, otonomi bukan berarti serba bebas tanpa batas. Hal ini tentang memiliki kontrol yang sehat, di mana keputusan yang kita ambil selaras dengan tujuan dan nilai hidup kita sendiri. Ingat pepatah, “Bebas bukan berarti liar, tapi bijak dalam memilih,” kan? Jadi, biarkan otonomi menuntunmu menjadi aktor utama dalam kisah hidupmu!

#2. Bangun Kompetensi: Mengasah Diri untuk Rasa Percaya Diri

Kompetensi yang kita bangun adalah investasi dalam kebahagiaan | Ilustrasi gambar: freepik.com / snowing

Rasa kompeten dalam menghadapi tantangan hidup ternyata erat kaitannya dengan kebahagiaan. Menurut riset yang sama dari Deci & Ryan (2000), kebahagiaan muncul ketika kita merasa mampu dan memiliki keahlian yang berguna.

Cara paling efektif untuk meningkatkan kompetensi adalah dengan menetapkan target realistis, belajar keterampilan baru, dan menerima tantangan. Contohnya, jika kamu ingin belajar bermain gitar, mulailah dari satu kunci dasar dan konsisten. Dalam bahasa populer, “Jangan pernah menyerah di tahap sulit, siapa tahu itu titik balik menuju sukses!” ujar seorang ahli yang tak pernah gagal (kecuali di tahap awal).

#3. Hubungan Sosial yang Bermakna: Kebahagiaan Melalui Koneksi

Koneksi sosial yang bermakna menguatkan fondasi kebahagiaan | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Kebahagiaan juga dipengaruhi oleh kualitas hubungan sosial yang kita miliki. Menurut riset Chesney et al. (2006), koneksi sosial yang baik berdampak positif terhadap kesejahteraan mental, terutama ketika berhadapan dengan situasi stres.

Hubungan yang bermakna adalah hubungan di mana kita merasa didukung, diterima, dan terhubung dengan orang lain. Bisa jadi, dalam sebuah hubungan yang sehat kita menemukan ‘kebahagiaan sosial’ yang menjadi pelengkap dari kebahagiaan pribadi kita.

Jangan ragu berinvestasi pada teman atau komunitas positif karena “teman baik itu lebih berharga daripada saldo rekening bank.

#4. Mengelola Stres: Kunci untuk Menikmati Setiap Momen

Pengelolaan stres adalah salah satu kunci keseimbangan hidup | Ilustrasi gambar: freepik.com / jcomp

Stres adalah bagian dari hidup. Namun, cara kita menanggapinya menentukan dampaknya pada kesehatan mental kita. Menurut riset oleh Gustems-Carnicer & Calderón (2013), coping strategy atau strategi mengatasi stres secara efektif sangat memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang.

Manajemen stres bisa berupa perencanaan, refleksi, atau bahkan mencari dukungan sosial. Seperti kata pepatah, “Stres itu pilihan, bahagia itu keputusan.” Pilih untuk tetap tenang dan berpikir jernih saat stres melanda. Lagi pula, hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan cemberut, bukan?

#5. Berpikir Positif: Fondasi Menuju Kebahagiaan Jangka Panjang

Pola pikir positif adalah fondasi kebahagiaan jangka panjang | Ilustrasi gambar: freepik.com / rawpixel.com

Tetapi yang tidak kalah penting adalah berpikir positif. Riset menunjukkan bahwa optimisme dan mindfulness membawa kita pada kebahagiaan yang lebih langgeng. Berpikir positif bukan sekadar senyum-senyum sendiri, tapi tentang bagaimana melihat sisi terang dalam setiap situasi, tanpa mengabaikan realitas.

Sebuah pepatah kuno berkata, “Kebahagiaan adalah kemampuan untuk melihat peluang di balik setiap tantangan.” Bahkan jika sedang dalam kondisi kurang menyenangkan, carilah sisi positif dari situasi tersebut. Seperti kata pepatah modern, “Kalau bisa bahagia, kenapa memilih susah?”

***

Meraih kebahagiaan sejati memang butuh usaha dan strategi. Dari otonomi, kompetensi, hingga koneksi sosial yang bermakna, setiap elemen yang kita bangun adalah langkah maju menuju kebahagiaan yang lebih kokoh. Dan seperti kata Lao Tzu, “A journey of a thousand miles begins with a single step.” Mulailah dengan langkah-langkah kecil dalam pengembangan diri yang didasari riset.

Bersabarlah dengan prosesnya, karena kebahagiaan tidak bisa dicapai dalam satu malam. Dengan melakukan perubahan kecil setiap hari, kita bisa menciptakan kebahagiaan yang tahan lama. Jadi, kenapa tidak mulai hari ini?

Selamat mencoba, dan nikmati prosesnya!

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

NB : Temukan juga artikel cerdas pengembangan diri lainnya disini.

Daftar Pustaka:

Weiner, E. (2008). The Geography of Bliss: One Grump’s Search for the Happiest Places in the World. New York: Grand Central Publishing.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68

Gustems-Carnicer, J., & Calderón, C. (2013). Coping strategies and psychological well-being among teacher education students: Coping and well-being. European Journal of Psychology of Education, 28(4), 1127–1140. https://doi.org/10.1007/s10212-012-0155-9